Tanah PapuaDomberai2020 Izin Dicabut, 2023 Sawit Kembali Ancam Masyarakat Moi di Empat Distrik

2020 Izin Dicabut, 2023 Sawit Kembali Ancam Masyarakat Moi di Empat Distrik

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — PT Sorong Global Lestari merencanakan untuk pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan memanfaatkan lahan seluas 16.305 ha yang tersebar di distrik Salawati, Klamono, Segun, dan Malabotom, kabupaten Sorong, propinsi Papua Barat Daya.

Perjuangan panjang masyarakat adat suku Moi di kabupaten Sorong untuk mendapatkan kembali tanah eks perusahaan kelapa sawit yang izinnya dicabut oleh mantan bupati Sorong pada 14 Agustus 2020, kini harus diperhadapkan lagi dengan perusahaan kelapa sawit.

Ayub Paa, koordinator advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, mengatakan, tak sedikit perusahaan terus berupaya menyingkirkan masyarakat adat suku Moi.

“Sekarang ada perusahaan kelapa sawit yang akan beroperasi lagi di wilayah bekas perusahaan yang izinnya sudah dicabut pemerintah kabupaten Sorong. Perjuangan orang Moi belum selesai,” ujar Ayub kepada suarapapua.com melalui telepon seluler, Sabtu (18/3/2023).

Baca Juga:  KPU dan Bawaslu PBD Akan Tindaklanjuti Aspirasi 12 Parpol

Rencana PT Sorong Global Lestari (SGL) untuk melakukan aktivitas perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit di atas lahan eks perusahaan yang izinnya telah dicabut, kata Ayub, sangat mengejutkan masyarakat adat suku Moi.

Karena itu, ia mempertanyakan komitmen Pemkab Sorong yang telah berjanji akan mengembalikan  kepada masyarakat adat.

“Kami tidak tahu perusahaan ini. Masyarakat hanya mendapatkan informasi kalau PT Sorong Global Lestari sudah melakukan pertemuan dengan KLHK Papua Barat Daya dan Dinas Pertanahan kabupaten Sorong terkait rencana penanaman kelapa sawit. Mana janji Pembak Sorong yang mau berikan tanah eks perusahaan sawit itu?,” ujarnya mempertanyakan.

Sebelumnya, manajemen PT SGL melakukan rapat konsultasi publik dengan Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) provinsi Papua Barat Daya, Dinas Perizinan provinsi Papua Barat Daya, Dinas Pertanahan kabupaten Sorong serta empat kepala distrik yakni Klamono, Malabotom, Segun dan Salawati, tentang studi analisa dampak lingkungan (Amdal) terkait lahan seluas 16 hektar lebih yang akan dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga:  Saksi Beda Pendapat, KPU PDB Sahkan Pleno Rekapitulasi KPU Tambrauw

Dalam rapat tersebut, Julian Kelly Kambu, pelaksana tugas kepala dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) provinsi Papua Barat Daya, mengatakan, sesuai peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 22 tahun 2021, proses Amdal dilakukan dengan tahapan konsultasi publik.

“Ini bagian dari koordinasi, tetapi kita juga ingin menangkap saran dan masukan dari pemerintah, terus masyarakat yang akan terdampak langsung maupun masyarakat sekitar serta para pemerhati  lingkungkan. Setelah itu dikaji baik sektor ekonomi, budaya dan lain-lain,” kata Kambu.

Baca Juga:  Pertamina Pastikan Stok Avtur Tersedia Selama Arus Balik Lebaran 2024

Selain itu, Kelly juga berharap pihak PT SGL menyelesaikan hak ulayat sebelum mulai kerja.

Diketahui, penggunaan lahan untuk kebun inti seluas 11.739.71 ha, kebun plasma seluas 2.934.34 ha, lahan pembibitan seluas 91.81 ha.

Pabrik penggolahan kelapa sawit dengan kapasitas 90 ton/jam akan dibangun di atas tanah dengan luasan 25 ha. Sedangkan untuk lokasi perumahan karyawan akan dibangun di atas lahan seluas 100 ha yang tersebar di 13 lokasi.

Sebagai upaya dari menjaga kelestarian lingkungan, PT SGL menyediakan lahan seluas 1.423.69 ha untuk kebutuhan buffer zone (hutan lindung) dan daerah sempadan sungai maupun jalan.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

0
Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal 1 Desember 1961.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.