Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Koordinator Forum Pemuda Anti Perang Suku dan Pro Perdamaian Wamena
Hari Pertama
Ada sekitar 5 orang yang jemput kami ketika sampai di airport Wamena, Minggu, 12 Februari 2023 siang itu. Kami tidak banyak bicara. Setelah saling bersalam-salaman, kami bergerak menuju rumah. Dikawal oleh seorang pemuda, saya pergi ke rumah menaruh tas dan beberapa barang lain yang sempat saya bawa.
Saat melewati jalan raya Trikora hingga jalan Sumatra, saya menyaksikan betapa sepi, kumuh dan berserahkannya sampah sana-sini di badan jalan maupun di pinggirnya.
Ketika hampir tiba di pasar Misi, saya menyaksikan dan melewati rumah Gabriel Lagowan, almarhum bapak saya yang pada masanya terkenal, disegani dan dihormati bukan hanya oleh keluarga, tetapi hampir oleh semua masyarakat Wamena kala itu.
Pak Gab, sapaannya, merupakan konco dari tokoh masyarakat suku Lanny, Budiman Kogoya yang sangat terkenal di Wamena. Utamanya lewat slogan khasnya. “Bikin! Bikin abu naik, Koteka picah Budiman tanggung jawab!,” begitulah Budiman Kogoya. Sementara, bapak Gab identik dengan syair lagu kesukaannya: “Haiwa hauwa Wamena yoma haiwa huga, hat tak tak e mirik-mirik ap nyaiwerek komalamo salek.”
Tetapi, kediamannya tidak ada lagi setelah dilahap si jago merah tahun 2006. Ia kemudian meninggal pada 2012 setelah mengalami gangguan kesehatan yang massif.
Tidak terasa sudah sampai di pasar Misi/pasar Wouma. Pasar ini oleh banyak orang dulu disebut pasar kaget Wouma. Tetapi, belakangan disebut pasar Misi atau pasar Wouma saja karena terletak di lingkungan perumahan yayasan misi Katolik dan ada di wilayah Wouma. Memang tidak salah bila sekarang pasar ini masuk di dalam wilayah administrasi distrik Wouma pasca distrik tersebut dimekarkan pemerintah daerah pada 2013 lalu.
Pasar itu telah mengalami dua kali kebakaran. Pertama, oleh karena gejolak politik Papua Merdeka 2001. Kedua, akibat amuk massa anti rasisme 2019. Dua-duanya ada kaitan dengan gejolak Papua Merdeka.
Pasar itu kini sudah dibangun kembali. Menurut beberapa orang tua yang berdagang di pasar itu, akhir-akhir ini jualan mereka kerap tidak laku karena para pembeli lebih banyak berbelanja di pasar Potikelek, pasar yang relatif baru dibuka belakangan.
Hanya dalam 1 menit saya sudah tiba di rumah. Istanaku. Tempat saya menghabiskan masa remaja dan dewasa awal dulu, tepatnya di komplek Tolikara Misi (Tolmis). Saya mengenang bagaimana dulu, kini kota Wamena dan penampakan sekitar pasar Misi yang masih acak-acakan. Bahkan sampai bertanya, apakah ini karena saya orang baru dan dari kota yang lebih besar, sehingga memiliki pandangan yang belum menyatu baik dengan kondisi Wamena hingga masih menganggap lebih baik dan maju kota Jayapura atau apa? Saya jadi kepikiran sendiri.
Seperti kebanyakan pemandangan di luar tadi, di rumah pun cukup banyak terjadi perubahan. Bapak telah membuat 3 petak bangunan tepat di depan rumah. Dari tampilannya sepertinya mau dibuat kios. Bangunan itu sudah dirintis sejak tahun 2018 silam. Tetapi, hingga masuk tahun kelima ini, belum juga kelar. Sayang! Saya melewati samping bangunan itu, lalu masuk ke rumah.
“Bapak! Bapak! Mama! Ma!,” kataku seraya memanggil orang di rumah. Tidak butuh lama, bapak menyahut karena beliau sudah tahu hari itu saya akan naik. Beliau membuka pintu dan kami pun masuk. Kami bersalaman, lalu menaruh barang bawaan. Kami duduk beberapa menit sambil berdiskusi. Tak terasa waktu pun sudah sekitar 1 jam berlalu. Kami sadar bahwa ada rencana duduk di Kapela Wouma. Kami mengakhiri diskusi bersama bapak, lalu bergegas ke Wouma. Begitu tiba, ternyata di Kapela sudah tidak ada anak-anak. Kami bergerak naik ke Wouma atas tepatnya kediaman (Silimo) bapak Filipus Ikinia.
Sebelum ke atas, kami sempat ke arah timur. Tepatnya menuju Megapura. Sepintas terlihat pemandangan lingkungan Wouma yang makin memprihatinkan. Bukan apa, tetapi karena hutan dan halaman belakang rumah telah dieksploitasi habis oleh oknum tertentu untuk kepentingan konsesi pengambilan material dan juga telah meninggalkan kolam raksasa bekas penggalian material. Padahal tepat di depannya berdiri fasilitas publik: SD YPPK St. Stevanus Wouma dan pos persalinan desa (Polindes) Wouma.
Belakangan ada keluhan dari warga karena dua fasilitas tersebut terdampak proses penggalian material, yakni keringnya sumur karena sudah tidak ada lagi air di dasar sumur seperti sebelumnya. Dampak lanjutannya baru-baru ini salah seorang orang tua murid di SD itu sempat memarahi para guru di sekolah swasta milik Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) itu karena kedapatan sering menyuruh siswa untuk menimba air untuk keperluan MCK sekolah.
Saya melewati kampung Silimo rumah saya dan melaju menuju arah timur. Tidak jauh dari kampung saya, ada bekas penggalian material yang konon katanya sempat dihentikan oleh warga karena akan merusak ekosistem alam. Terlihat ada bekas galian berdiameter puluhan meter dan lebar yang cukup luas.
Kami terus melaju dan tiba di kantor distrik Wouma yang sejak dibangun tahun 2015 silam entah kenapa, belum difungsikan sama sekali. Di sampingnya sudah ada beberapa unit rumah warga sekitar. Belakangan disebutkan bahwa rumah tersebut merupakan bantuan sosial dari pemerintah. Ada sekitar 6 rumah dengan tipe yang sama.
Di sepanjang ruas jalan itu telah dilakukan pelebaran jalan raya. Berdasarkan informasinya, proyek tersebut ditangani oleh Dinas PUPR Papua dan dikerjakan sendiri oleh masyarakat setempat. Badan jalan Wouma Megapura terlihat sudah cukup luas. Tinggal memfungsikan kantor administrasi distrik, apalagi kini telah ada kepala distrik baru.
Kami terus berjalan hingga tiba di kali Hetokoima. Kali ini adalah batas de facto wilayah kekuasaan aliansi kami. Meskipun secara de jure dan historinya hingga di kali Etagenya. Dari situ kami kemudian kembali.
Sekitar Pukul 14.30 WIT kami tiba di kampung Filipus Ikinia. Kami disambut hangat sejak dari jalan raya hingga tiba di Honai. Kami banyak berdiskusi sambil kunyah pinang, merokok dan makan sayur, wam dan hepiri. Sesekali cerita serius, dan sesekali cerita lelucon. Kami menikmati hidangan rusuk wam dan lemak yang disediakan tuan rumah yang kebetulan baru saja menggelar suatu pesta nikah adat dari ibu kepala distrik.
Dari cerita ke cerita tidak terasa waktu kami sudah menunjukkan Pukul 16.50 WIT.
Setelah dipastikan semua pemuda yang perlu diundang, sudah hadir, kami mulai rapat mengenai perkembangan tim inisiator peduli tanah adat yang dinamikanya sudah tinggi pada hari-hari itu. Kami saling update, menyamakan persepsi dan menunjuk tim yang akan menjadi motor penggerak, selanjutnya diselingi beberapa pokok pikiran tambahan serta agenda dan prinsip kerja ke depannya.
Pertemuan kami berakhir pada Pukul 20.30 WIT. Kami membubarkan diri dan berkomitmen berjumpa di hari-hari berikutnya sesuai planning yang sudah dicatat dan dirumuskan oleh tim penggerak inisiator peduli tanah adat Balim di Wouma.
Bagian 1: Wamena Kami Telah Banyak Berubah
(Bersambung)