ArtikelWaspadai Sindrom Politik “Tiba-Tiba Baik” Jelang Pemilu 2024

Waspadai Sindrom Politik “Tiba-Tiba Baik” Jelang Pemilu 2024

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Penulis adalah anak kampung dari Lembah Balim

Tinggal menghitung waktu atau beberapa bulan lagi pesta Pemilihan Umum (Pemilu) serentak presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil walikota akan, digelar.

Begitupun pemilihan anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota, akan dilakukan secara bersamaan.

Untuk itulah beberapa partai politik di Indonesia telah ditetapkan dan diumumkan sebagai kontestan Pemilu. Meski adapula beberapa yang tidak lolos verifikasi. Contoh partai Prima, Berkarya dan lainnya.

Dari partai politik yang akan meramaikan Pemilu di Indonesia, ada banyak partai lama dan partai baru. Ada partai besar dan partai kecil. Ada juga partai koalisi pemerintah maupun partai oposisi pemerintah.

Ketika bicara Pemilu berarti kita bicara tentang sosok calon anggota legislatif (Caleg) dan sosok calon kepala daerah. Siapa yang akan terpilih menjadi wakil rakyat, juga kepala daerah untuk masa jabatan lima tahun mendatang.

Hari ini dengan melihat tingginya angka pengangguran produktif Papua memang telah banyak sarjana bahkan lulusan SMA yang nganggur dalam waktu cukup lama. Mereka terakumulasi karena minimnya lowongan kerja entah di sektor formil dan non formil.

Mereka terlihat sangat sigap dan antusias mencalonkan diri sebagai bakal calon peserta Pemilu pada pesta demokrasi 2024. Ada yang bakal maju sebagai caleg DPR pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Prinsip mereka ingin memperbaiki nasib.

Ada juga sebagai senator atau dewan perwakilan daerah (DPD). Dan tentu ada yang bakal maju sebagai kepala negara dan kepala daerah baik gubernur, bupati maupun walikota.

Dari mereka yang bakal maju di Pemilu 2024, tentu bakal ada wajah calon anggota legislatif baru dan calon anggota legislatif lama. Demikian pula calon kepala daerah. Mereka akan bertarung menggunakan semua kapasitas dan sumber daya.

Mereka bakal mengeluarkan seluruh jurus. Jurus baik maupun buruk. Jurus andalan maupun jurus terburuk mereka. Jurus konstitusional maupun inkonstitusional. Jurus munafik, jurus lama, jurus baku tipu, jurus baku jual beli suara. Juga, jurus ini dan itu.

Yang penting diwaspadai oleh rakyat Papua, khususnya masyarakat Wamena dan Lapago adalah politik cari muka yang paling senang dilakukan oleh elit politik, tetapi juga anggota legislatif saat ini.

Umumnya akan terjadi saat jelang Pemilu atau tahun politik ini. Waspada dan jangan tergoda pada politik “cari muka kebablasan” dan munafik mereka.

Caleg Muka Lama

Caleg mula (muka lama) lebih cenderung akan mulai muncul dengan “sindrom cari nama” dengan tiba-tiba mondar mandir kasih turun kaca mobil yang selama menjabat jarang dilakukan.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Tiba-tiba suka klakson tiap bertemu siapa saja, padahal sebelumnya tidak. Tiba-tiba suka berjalan kaki di komplek. Padahal sebelumnya saat menjabat tidak pernah. Kecuali sebelumnya.

Tiba-tiba suka sumbang ini dan itu dalam acara apapun di gereja, di komplek, di kampung, dan lain sebagainya. Padahal sebelumnya jarang. Suka beralasan lagi tidak di rumah. Lagi keluar daerah karena perjalanan dinas, dan lain-lain.

Tiba-tiba rajin masuk ibadah tiap minggu di gereja. Padahal, sebelumnya jarang masuk gereja dengan alasan masih di luar daerah, dan lain sebagainya.

Tiba-tiba sering cari anak-anak muda atau masyarakat untuk berdialog, berdiskusi dengan kasih bantuan apapun, padahal sebelumnya jarang sekali.

Tiba-tiba aktif berkomunikasi di media sosial dan berinteraksi dalam group, postingan pribadi, chating, dan lain-lain.

Tiba-tiba muncul dengan janji ini dan itu. Dan masih banyak lainnya.

Pokoknya para caleg lama untuk cari muka akan tiba-tiba macam baru ingat tanah setelah naik daun dalam waktu yang lama. Sehingga mereka akan banyak memberikan janji-janji, harapan-harapan palsu yang telah gagal.

Mencoba mengulangi narasi kampanye “basi” mereka yang sudah lewat atau dimodifikasi kontennya sedikit untuk mencari simpati publik.

Kelompok wajah lama ini perlu dihadapi dengan tenang.

Masyarakat cukup perlu mereview atau ingat kembali capaian kinerja mereka di periode berjalan. Apakah banyak program keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan yang sudah dilakukan? Apalah berhasil atau tidak?

Bila berhasil, dievaluasi seberapa persen. Kalau gagal, berapa persen. Apakah lebih dominan berhasil atau gagal? Bila gagal dari sedemikian rencana atau program/janjinya dulu yang tidak terpenuhi, maka sudah wajib hukumnya caleg tersebut tidak dipilih kembali. Ganti figur baru!

Rakyat memiliki hak dan kebebasan untuk menyatakan menolak, menyatakan mosi tidak percaya secara pribadi atau komunitas sosial untuk tidak mendukung satu sosok caleg/calon kepala daerah tertentu berdasarkan capaian kinerjanya, khususnya yang buruk sebelumnya.

Dalam konteks Wamena dan Papua, indikator sederhana untuk melihat figur-figur anggota legislatif lama dan pejabat publik adalah selama menjabat pernahkah tampil di media massa dan lapangan untuk berpihak pada masyarakat?

Misalnya dalam konflik horizontal atau vertikal antar masyarakat dengan masyarakat dan antara aparat keamanan dan masyarakat sebagai contoh kasus insiden Sinakma-Wamena Berdarah Jilid III, 23 Februari 2023 lalu. Adakah yang sudah berani bicara mendesak atau mengecam? Atau semua justru diam tak berkutik seperti “tikus basah”.

Untuk dewan perwakilan rakyat Jayawijaya hampir sebagian besar tidak pernah bersuara. Mereka lebih banyak 5D: datang, duduk, diam, dengar, dan duit. Sehingga bisa dikatakan 99% dari anggota legislatif hari ini patut dipertanyakan kinerja mereka dalam memihak secara langsung di depan publik.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Demikian halnya kabupaten lainnya.

Tugas fungsi dan kewenangan mereka sangat layak dipertanyakan. Apakah selama mereka menjadi wakil rakyat telah menjalankan amanatnya dengan benar tanpa neko-neko atau sebaliknya?

Caleg Muka Baru (Camuba)

Konstelasi Pemilu 2024 akan banyak memunculkan wajah figur politisi baru dari berbagai kelompok usia. Hal itu bukan saja oleh karena sudah banyak jumlah para pengangguran selama beberapa dekade ini, tetapi juga karena banyak terjadi penumpukan generasi.

Tetapi yang paling utama adalah karena banyak Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua. Demikian halnya, di wilayah Wamena dan Lapago umnya. Akan terdapat pos caleg untuk DPR Pusat, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota hingga DPD RI yang berasal dari delapan kabupaten dan satu kota.

Para caleg baru pun sudah kelihatan tidak mau kehilangan akal dan momentum. Mereka terlihat sedang berupaya juga mencari muka dengan semua strategi. Misalnya seperti para anggota legislatif lama.

Mereka ikut terserang sindrom tiba-tiba menjadi baik dan ringan tangan. Menjadi kaum sofis yang idealis yang banyak mengobral janji dan harapan.

Mengemukakan gagasan keberpihakan hingga protektif sambil kritik kinerja dewan atau pejabat publik saat ini.

Menyatakan bagaimana mereka mestinya bersikap, dan lainnya. Lebih banyak mempertimbangkan, mengkritik kinerja para anggota dewan saat ini sebagai para “anjing” yang hanya bisa datang duduk diam dengar dan duit (5D) tadi.

Padahal, kebanyakan wakil rakyat di Lapago memang paling identik bekerja dalam “kesenyapan”. Benar atau tidaknya masih misteri. Meski kesenyapan itu menjadi tanda tanya karena ambigu.

Dalam kesenyapan itu juga menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah mereka memahami tupoksinya sebagai wakil rakyat yang benar-benar sebagai penyambung aspirasi rakyat. Artikulator kepentingan rakyat.

Sejak lama DPRD Jayawijaya telah dikritik banyak kalangan karena lebih banyak bertingkah 5D. Banyak peristiwa kekerasan negara, kriminal, konflik antar suku, marginalisasi masyarakat adat dan sebagainya tak mampu dicarikan solusi.

Minimal mereka pasang badan. Tanpa melihat wilayah pemilihan, agama, kesukuan dan partai politik. Contoh konkret kasus rasisme 2019. Tak ada satupun anggota dewan yang berani mengecam atau menyatakan sikap di hadapan publik.

Demikian halnya dengan kasus Sinakma, 23 Februari lalu. Wakil rakyat seolah tidak ada. Sepi dari arena yang semestinya mereka berdayaguna bisa muncul, secara aktif menunjukkan taji tugasnya. Tetapi sayangnya, mereka membisu. Mereka ditanya sebenarnya wakil rakyat atau wakil uang? Wakil rakyat atau wakil elit?

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kesimpulan

Dari beberapa paparan di atas guna mewaspadai sindrom politik cari nama dan cari muka serta cari panggung para politisi musiman, masyarakat Jayawijaya dan Lapago mesti menghindari gelagat caleg lama dan caleg baru, calon kepala daerah baru dan lama yang mengidap sindrom tiba-tiba ini.

Yang mana terus terlihat tiba-tiba baik. Tiba-tiba sok dekat. Tiba-tiba jadi ringan tangan. Tiba-tiba jadi aktif di gereja atau organisasi dan komunitas sosial. Tiba-tiba inbox, mengirim pesan tanya kabar. Tanya posisi dan ingin jumpa.

Bila ada pemberian apapun (uang, sembako, bahan sandang dan papan serta material babi, dan lainnya) masyarakat tak perlu menganggapnya sebagai beban yang harus dibalas, dibayar dan ditebus dengan pemberian suara dalam Pemilu.

Tetapi, melihatnya sebagai bagian dari wujud nyata beban moril dan tanggung jawab para dewan yang inheren. Dan juga sebagai wujud nyata pemenuhan hak-hak masyarakat oleh wakilnya di parlemen (dan pemerintah).

Sedangkan menyikapi pendekatan yang bakal dilakukan oleh para caleg muka baru, masyarakat dapat melihatnya hanya sebatas pengejahwantahan firman Tuhan (kontekstualisasi teologis) soal perlunya hidup saling tolong menolong, bantu-membantu dan mengasihi sesama sebagaimana hukum cinta kasih yang utama dan terutama sesuai ajaran Yesus Kristus.

Bila sumbangannya bersifat pribadi, dapat diletakan pada kerangka berpikir budaya saling balas budi kebaikan sesuai prinsip hidup orang Hubula dengan mencatatnya dalam dokumen honai.

Pembalasannya tak perlu dengan memberi suara dengan mencoblos para caleg/calon kepala daerah. Tetapi, melalui momentum acara-acara lain. Hak suara harus diberikan pada figur yang tepat dan baik agar dalam perjalanan hidup 5 tahunan nantinya masyarakat tidak terjerumus dalam nuansa hidup yang sama. Seolah tanpa wakil rakyat.

Posisi dan sikap semacam ini penting guna melahirkan para wakil rakyat, kepala daerah yang benar-benar full lahir dan siap mati untuk 100% memelihara kepentingan publik. Mendahulukan kepentingan umum dibanding kelompok, partai dan golongan. Apalagi pribadi.

Sudah cukup memilih pemimpin yang mengutamakan politik transaksional atau money politics yang telah mengakibatkan kesengsaraan hidup dan penderitaan yang tak berkesudahan di tanah ini.

Sudah saatnya masyarakat lepas dari politik transaksional para caleg dan calon kepala daerah dari tebaran ranjau-ranjau kebaikannya – yang menyebabkan mereka kerap tidak pernah memiliki tanggung jawab moral karena menganggap jual-beli suara sudah lunas seketika suara rakyat dapat dibeli.

Mereka ini kerap menganggap suara rakyat sebagai komoditas transaksional seperti barang dagangan yang setelah dibeli selesai. Tanpa pernah berpikir untuk bekerja memihak rakyat.

Semoga!.

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.