ArtikelOpiniWamena Kami Telah Banyak Berubah (3)

Wamena Kami Telah Banyak Berubah (3)

Catatan 4 Hari di Wamena

Oleh: Benyamin Lagowan)*
)* Koordinator Forum Pemuda Anti Perang Suku dan Pro Perdamaian Wamena

Malam Pertama: Wamena Makin Tak Ramah

Sebelum mengakhiri rapat sore itu, ada beredar kabar angin soal ancam mengancam dan desas-desus yang kurang sedap. Ada beberapa orang pemuda kampumg kami yang sengaja dipasang oleh oknum tertentu untuk meneror salah seorang diantara kami-anggota tim Inisiator Peduli Tanah Adat Wouma.

Hari itu, suasana pertemuan perdana kami sempat agak tegang dan lalu cair kembali. Agak bersifat fluktuatif dan dinamikanya dinamis. Kami menyadari bahwa di tengah upaya membela hak-hak dasar masyarakat kami, sudah tentu akan ada konsekuensi dan ancaman atas pergerakan kami. Kami memaknai dan menempatkan isu itu pada pemahaman seperti itu.

Itu bisa kita lihat atau belajar sebelumnya dari kasus-kasus konflik serupa di Indonesia atau di Papua. Misalnya yang pernah heboh dan menyita perhatian publik nasional adalah kisruh antar pemerintah provinsi Jawa Tengah dengan masyarakat adat Wadas soal konflik lahan mereka yang hendak paksa digusur oleh pemerintah. Beberapa aktivis, tokoh masyarakat yang pimpin protes diteror, diancam dan dimata-matai. Itu sudah biasa. Bisa juga soal kasus sekarang di Keppi. Atau, perlawanan masyarakat adat suku Yerisiam Gua di Nabire yang menolak tanah adatnya dicaplok oleh pihak korporat perusahaan kelapa sawit.

Selanjutnya, meski ada upaya ancam mengancam, kami menyudahi isu itu dan tetap berkomitmen berdiri pada prinsip pendirian awal. Tidak lunturkan niat dan posisi kami. Kami tetap maju apapun konsekuensi yang akan kami hadapi ke depan.

Setelah bubar dari pertemuan saat itu, bersama seorang pemuda, kami bergerak menuju rumah di Tolmis.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Suasana kota Wamena memang selalu unik karena meskipun baru jam 07.00 WIT, jalanan selalu pada sepi. Ditambah tidak ada lampu penerangan jalan. Genap dan pantaslah sudah rasa takut masyarakat selama ini. Apalagi akhir-akhir ini terjadi kejadian pembunuhan, bahkan penikaman yang misterius.

Wouma adalah wilayah paling merah di Wamena, kabupaten Jayawijaya. Itu sejak lama. Hampir tiap tahun ada saja konflik sosial, kriminal, kasus penemuan mayat tanpa identitas atau kasus pembunuhan hingga konflik perang suku.

Itulah sebabnya, saat kami turun untuk balik ke kota, tak ada satu pun manusia yang lalu lalang di jalan raya sepanjang Wouma atas hingga bawah. Apalagi hari itu sudah pukul setengah 9 malam. Sudah tampak sepi, diiringi hujan-hujan gerimis. Lengkaplah sudah kesunyian saat itu.

Soal keamanan di daerah aliansi orang Wio ini, sebenarnya pada tahun 2020/2021 sudah dibangun sebuah posko Brimob di mata jalan pertigaan Wouma atas dan Wouma tengah. Hasil upaya lobi kepala distrik lama, yang sempat mengundurkan diri secara langsung di kantor Otonom Wamena ketika didemo oleh masyarakatnya karena dinilai gagal memimpin distrik berpenduduk 6 ribu orang lebih itu pada akhir 2021.

Meski telah ada posko Brimob Wouma, tetap saja daerah ini selalu agak menakutkan dan bahkan serasa penuh resiko. Apalagi melintas di malam hari. Padahal, penduduk tempatan aslinya, kami, tidak sejahat atau seburuk yang kerap dibayangkan orang lain.

Hanya dalam waktu kurang dari 2 menit, kami pun sudah tiba di rumah. Perjalanannya tidak lama karena hanya berjarak kurang dari 500-an meter.

Hari Kedua: Agenda Hari Pertama Batal

Karena malam kami tidak bisa tidur cepat, pagi itu, saya bangun agak telat. Pukul 09.00 WIT. Jam segitu kalau di Jayapura sudah di tempat kerja. Sudah ada di kampus, rumah sakit, dan lain-lain. Tetapi begitulah. Karena ini masih dalam rangka libur alias cuti, saya tidak bergegas bangun seperti biasanya. Karena itu juga hari pertama tidur dengan orang tua. Maka, saya bangun agak lama. Itupun dibangunkan oleh bapak. Maklum!

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Mungkin karena cuacanya dingin. Meski sudah jam segitu, saya sepertinya mau lanjut meneruskan tidur. Tetapi, tidak. Sabar. Ada yang terasa mengganjal, pikirku. Sehingga mengharuskan saya bangun segera dan bersiap pergi. Ya. Saya hampir lupa karena keasyikan tidur.

Hari itu, Senin, 13 Februari 2023. Ada kesepakatan kemarin untuk agenda kerja hari pertama dalam minggu baru bahwa kami akan berkumpul di Kapela. Saat jam handphone menunjukkan Pukul 09.30 WIT, saya bangun, siap-siap, lalu memutuskan pergi. Begitu sampai di Kapela, anak-anak masih kunjung belum datang. Masih sepi.

Saya memahami soal disiplin waktu. Kami masih sangat tidak disiplin. Ini titik kelemahan terbesar kami. Akhirnya, saya memutuskan kembali. Lalu, merencanakan berkendara mengelilingi kota Wamena dari pagi hingga siang jelang sore hari.

Berkeliling dari Wouma, Assolokobal, Welesi, Pugima, Pisugi hingga Gunung Susu.

Tidak puas bila tidak mengetahui situasi terkini kotaku, Wamena. Setelah lama tidak pulang. Apalagi terlalu banyak hal, peristiwa dan proses yang sudah terjadi. Yang kami dengar dari jauh ketika diceritakan oleh keluarga kami yang kebetulan mampir ke Jayapura. Juga, melalui berita media massa, media sosial, dan lain-lain.

Karena itu, biar puas dan lengkap, saya pikir baik bila hari kedua berada di mama kota ini, saya awali dengan pantau situasi dan keadaan kota dan pelosok-pelosok, juga tentunya langsung melihat sendiri lokasi yang diwacanakan akan dilakukan penempatan kantor Gubernur Papua Pegunungan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Sekitar Pukul 10.00 WIT, setelah saya mengisi bensin 2 liter seharga Rp40.000, saya mulai berangkat.

Pertama, saya putuskan menuju wilayah aliansi distrik Assolokobal. Daerah ini berada tepat di belakang Wouma. Di sebelah timur distrik Wouma juga kota Wamena. Saya menginjak gigi motor dan gas dari pasar Misi melewati kantor desa Wouma dan melalui kantor distrik Wouma.

Kurang dari 5 menit, saya telah sampai di Megapura, salah satu wilayah bekas milik aliansi kami yang telah jatuh ke tangan aliansi Assolokobal dan sub-sub suku kerabat kami oleh karena satu dan lain hal.

Di tengah perjalanan ke sana, saya menyaksikan bagaimana hamparan lahan luas bekas kebun tradisional milik suku kami telah ditumbuhi ilalang dan hutan disertai semak-semak pendek berumput tebal.

Area luas terbentang dari arah atas (Jagara dan Uelesi) ke bawah hingga kali Balim nampaknya selalu memantik tontonan elok setiap orang yang melewati daerah itu. Itulah yang barangkali membuat banyak orang terpikat dengan masih luas dan indahnya tanah warisan moyang kami tersebut. Sehingga selalu muncul niat jahat atasnya, pikirku singkat.

Tak lama saya sudah sampai di jembatan kali Etagenya. Sejenak melihat-lihat daerah sekitar yang makin lama ada saja penambahan rumah-rumah warga.

Setelah jelang beberapa menit, saya membelokkan stir motor saya, lalu menuju rute selanjutnya yakni Jagara, Uelesi, Logon Owa, Wesakin Wouma atas dan Wouma tengah.

Bagian 2: Wamena Kami Telah Banyak Berubah

Bagian 1: Wamena Kami Telah Banyak Berubah

(Bersambung)

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.