PolhukamHAMPengungsi Maybrat Terabaikan, Indonesia Langgar DUHAM dalam Penanganan IDPs

Pengungsi Maybrat Terabaikan, Indonesia Langgar DUHAM dalam Penanganan IDPs

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Mengabaikan hak-hak orang yang harus mengungsi dalam negeri sendiri atau Internally Displaced Persons (IDPs), pemerintah Republik Indonesia dinilai telah melanggar hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasonal, Undang-Undang HAM Indonesia serta Undang-Undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Berbagai kebijakan yang dilakukan dalam menangani korban pengungsian pasca konflik bersenjata di Tanah Papua, khususnya di kabupaten Maybrat, tak sesuai dengan kewajiban negara atau pemerintah terhadap IDPs.

Hal ini diungkapkan Lamberti Faan, peserta Social Justice Leader Fellowship STH Indonesia Jentera dalam diskusi publik bertajuk “Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Pengungsi Internal” yang diselenggarakan 31 Maret 2023 secara online oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Sejak konflik bersenjata di kabupaten Maybrat pecah pasca penyerangan pos Koramil Kisor pada 2 September 2020, kata Faan, hingga kini banyak warga sipil meninggalkan kampung halaman mereka.

Kondisi warga pengungsi Maybrat di tengah hutan. (Ist – SP)

Lamberti menilai dengan pemberitaan media terkait pulangnya pengungsi, pemerintah kabupaten Maybrat berupaya untuk menutupi kondisi pengungsi seolah-olah Maybrat dalam baik-baik.

“Masih banyak masyarakat sipil asal kabupaten Maybrat yang berada di tempat-tempat pengungsian karena tidak ada jamin kepastian keamanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Dalam situasi begitu, pasukan TNI/Polri terus saja didatangkan dengan alasan keamanan,” kata Lami, sapaan akrabnya.

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

Lami yang juga korban pengungsi Maybrat menjelaskan, dengan melihat fakta kondisi pengungsian baik di Maybrat maupun Papua umumnya, berdasarkan hak-hak IDPs, maka pemerintah Republik Indonesia telah melanggar Kovenan Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), DUHAM Pasal 25 ayat 1, 2, Undang-Undang 1945 Pasal 28 A.

Karena itu, pemerintah pusat dan daerah diingatkan untuk terbuka dan transparan terhadap situasi sebenarnya yang terjadi di Tanah Papua.

“Pasca konflik bersenjata di Maybrat, sebanyak 17 anak telah meninggal dunia di tempat-tempat pengungsian karena kekurangan gizi. Banyak anak sekolah yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data ini belum termasuk keseluruhan data pengungsi di Tanah Papua. Berdasarkan data-data itu, pemerintah telah melanggar DUHAM, ICCPR maupun UUD 1945,” tandasnya.

Pertanyakan Kinerja Komnas HAM dan Perempuan

Lamberti Faan sudah beberapa kali bersama Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat membuat laporan, tetapi hingga kini belum terlihat langkah konkrit yang diambil Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun Komnas Perempuan.

Baca Juga:  Panglima TNI dan Negara Diminta Bertanggung Jawab Atas Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Ia mengaku kecewa dengan kinerja Komnas HAM yang dinilainya tak independen.

“Komnas HAM datang ke Maybrat saja dikawal militer. Dan, sampai hari ini hasilnya kita tidak tahu seperti apa. Kami juga telah membuat laporan ke Komnas Perempuan, tetapi sampai saat ini belum direspons,” ujarnya kecewa.

Flyer diskusi publik bertajuk “Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Pengungsi Internal”, Jumat (31/3/2023). (Ist)

Di kesempatan itu, Lami Faan menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah pusat maupun daerah:

Pertama: Memberikan jaminan keamanan dan keselamatan untuk masyarakat sipil.

Kedua, Memberikan bantuan kemanusian untuk IDPs Maybrat dengan segera.

Ketiga, Pemenuhan hak dasar IDPs Maybrat.

Keempat, Pemerintah Indonesai dan pemerintah kabupaten Maybrat segera menangani IDPs Maybrat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, diantaranya konstitusi UUD 1945, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta hukum HAM dan hukum humaniter internasional.

Kelima, TNI/Polri harus patuh pada peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan hukum-hukum HAM dan humaniter internasional.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

Sementara itu, Natalia Yewen, aktivis dari perempuan dan lingkungan menambahkan, negara belum mampu berikan solusi yang terbaik untuk selesaikan masalah di Papua.

Contohnya, Natalia sebutkan ketika kasus Maybrat pecah, negara lebih sibuk memikirkan solusi yang tak sesuai keinginan rakyat Papua seperti bicara DOB yang selalu mendapat penolakan hingga saat ini.

“Pemerintah lebih banyak berbicara soal DOB dan Pemilu 2024 dibandingkan mengurus pengungsi yang ada di seluruh Papua,” kata Yewen.

Diskusi publik bertajuk “Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Pengungsi Internal”, Jumat (31/3/2023). (Ist)

Natalia berharap, pemerintah tak membatasi bantuan kemanusian yang disalurkan oleh aktivis dan para pemerhati kemanusiaan.

“Melihat testimoni di beberapa daerah yang dilakukan oleh tim-tim kemanusiaan yang terus berupaya untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan, tetapi selalu dihalangi oleh aparat keamanan,” imbuhnya.

Yewen juga menyinggung kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua juga lebih banyak dialami aktivis ketika aksi demonstrasi, apalagi saat penolakan Otsus dan DOB.

Berdasarkan data Komnas HAM tentang konflik di Papua yang diterbitkan TEMPO.co, selama tahun 2018-2021 tercatat jumlah pengungsi sebanyak 60-100 ribu, dan korban jiwa 307 orang.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Hari Konsumen Nasional 2024, Pertamina PNR Papua Maluku Tebar Promo Istimewa...

0
“Kami coba terus untuk mengedukasi masyarakat, termasuk para konsumen setia SPBU agar mengenal Pertamina, salah satunya dengan menggunakan aplikasi MyPertamina sebagai alat pembayaran non tunai dalam setiap transaksi BBM,” jelas Edi Mangun.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.