PolhukamDemokrasiPembungkaman Ruang Demokrasi Mencederai UUD 45

Pembungkaman Ruang Demokrasi Mencederai UUD 45

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Solidaritas Rakyat Papua Melawan Rasisme (SRPMR) mendesak aparat kepolisian untuk mematuhi dan menjalankan amanat konstitusi Republik Indonesia tahun 1945.

Sejak jatuhnya  pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia telah memasuki sebuah masa reformasi, masa di mana kebebasan mulai diakui. Sejarah panjang ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh dan Papua, yang menimbulkan keinginan memisahkan diri yang berujung pada pemberian Otonomi Khusus bagi kedua wilayah tersebut.

Menurut Wene Kilungga, penanggung jawab SRPMR, lahirnya reformasi juga kemudian memunculkan berbagai gerakan dan organisasi di Tanah Papua maupun di luar Papua yang menentang kedudukan kolonial serta menguatkan kembali tuntutan untuk merdeka sebagai bangsa berdaulat.

Baca Juga:  Empat Jurnalis di Nabire Dihadang Hingga Dikeroyok Polisi Saat Liput Aksi Demo

“Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan jaminan bagi kemerdekaan berpendapat dan berkumpul yang termuat di dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998, serta Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 dan pasal 28E ayat (3) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat,” tegas Kilungga dalam pernyataannya kepada suarapapua.com, Selasa (11/4/2023).

Menanggapi tuntutan terhadap gerakan yang dilakukan oleh para aktivis, mahasiswa, masyarakat adat, pembela HAM di Tanah Papua, pemerintah Indonesia justru menggunakan pendekatan keamanan dan militeristik. Sejak kala itu hingga hari ini, operasi militer terus saja dilakukan.

Baca Juga:  Pilot Selandia Baru Mengaku Terancam Dibom Militer Indonesia

“Selain pendekatan militer, negara juga menggunakan pendekatan hukum yang represif untuk membungkam gerakan perlawanan rakyat di Papua. Dimana kriminalisasi terhadap Victor Yeimo merupakan bentuk pembungkaman demokrasi. Victor Yeimo hadir dan berorasi dalam aksi 19 Agustus 2019 merupakan permintaan rakyat Papua. Victor Yeimo dan rakyat Papua adalah korban rasisme,” paparnya.

Sementara, Muli Kogoya dari SRPMR mempertegas yang telah disampaikan Kilungga, terutama soal kriminalisasi aktivis, baik di Tanah Papua maupun di Indonesia secara keseluruhan.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Katanya, negara terus berupaya membungkam ruang demokrasi dengan pembubaran paksa massa aksi hingga penangkapan.

Bahkan katanya, penegak hukum selalu menggunakan pasal makar dan penghasutan untuk menjerat aktivis di Papua.

“Penangkapan, kriminalisasi terhadap aktivis pro Papua baik di Tanah Papua maupun daerah lain di Indonesia terus terjadi, lagi-lagi soal DOB, Otsus serta melawan rasisme. Para pembela HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti pun dikriminalisasi negara,” ujarnya.

 

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.