Tanah PapuaAnim HaMarga Meanggi Dukung Perjuangan Marga Woro Melawan PT IAL

Marga Meanggi Dukung Perjuangan Marga Woro Melawan PT IAL

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat Awyu khususnya marga Meanggi dari kampung Anggai, distrik Jair, kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua Selatan, melakukan aksi mendukung perjuangan marga Woro dari suku Awyu asal kampung Yare, distrik Fofi.

Aksi spontanitas dilakukan dengan memajang sejumlah pamflet bertuliskan: “Tolak PT Indo Asiana Lestari”.

Roberth Meanggi mengatakan, aksi mereka lakukan pada Rabu (12/4/2023) lalu.

Aksi tersebut menurutnya sebagai bentuk dukungan kepada suku Awyu menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura atas keputusan kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.094,4 hektar PT Indo Asiana Lestari (IAL) yang diduga melakukan pelanggaran dan mengancam kelestarian lingkungan hidup.

“Kami mendukung perjuangan suku Awyu di kampung Yare distrik Fofi menggugat DPMPTSP Papua,” kata Roberth Meanggi dalam siaran pers yang diterima suarapapua.com, Sabtu (15/4/2023).

Aksi dukungan marga Meanggi terhadap marga Woro, jelas Roberth, didasari pengalaman kehidupan marga Meanggi yang juga tidak merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan kelapa sawit PT Megakarya Jaya Raya (MJR) yang beroperasi di kampung Anggai.

Baca Juga:  Tanah Papua dalam Bayang-bayang ‘Creeping Genocide’

“Pada faktanya yang masyarakat rasakan adalah PT Megakarya Jaya Raya tidak memberikan kesejahteraan. Terus, masyarakat juga telah kehilangan hutan dan tanah kami sebagai sumber penghidupan. Masyarakat telah sadar bahwa janji perusahaan untuk sekolahkan anak-anak dari SD, SMP dan SMA hingga perguruan tinggi, serta janji-janji lainnya semua tipu saja,” tegasnya.

Salah satu warga marga Meanggi memegang pamflet mendukung perjuangan marga Woro. (Ist)

PT MJR merupakan salah satu dari tujuh perusahaan yang berada dalam PT Menara Group. Perusahan itu mulai beroperasi sejak 2015 hingga 2019. PT MJR masih terus aktif, tetapi janji lahan plasma 20 persen kepada masyarakat adat pemilik belum terlaksana.

“Masyarakat adat Awyu khususnya marga Meanggi merasakan selama ini pihak perusahaan itu selalu tipu-tipu banyak, jadi kami melakukan aksi penolakan PT Mega Karya Jaya Raya di wilayah tanah adat kami,” kata Roberth.

Negara Wajib Melindungi dan Menghormati Masyarakat Adat

Selama ini negara tak serius menangani persoalan di Tanah Papua, terutama permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua.

Hal itu dikemukakan Franky Samperante, direktur eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, menanggapi maraknya perusahaan di berbagai bidang yang tak memberi manfaat bagi masyarakat adat di Tanah Papua.

Baca Juga:  Kasus Bom Molotov Kantor Redaksi Jubi Dilaporkan ke Komnas HAM RI

Franky membeberkan fakta selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum tercapainya kesejahteraan rakyat, belum mendukung terwujud penegakan hukum, dan belum menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di provinsi Papua, khususnya masyarakat adat Papua.

“Negara harus mengakui keberadaan masyarakat adat di Tanah Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan,” kata Franky.

Yayasan Pusaka meminta negara wajib melindungi menghormati dan memenuhi hak-hak masyarakat adat Papua.

Gugatan Hendrikus Woro, pembela hak masyarakat adat dan lingkungan hidup dari masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, terhadap keputusan kepala DPMPTSP provinsi Papua yang menerbitkan Surat Keputusan nomor 82 tahun 2021 tentang kelayakan lingkungan hidup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.094,4 hektar ke PT IAL di distrik Mandobo dan distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel, merupakan bagian dari upaya menuntut pemulihan hak atas tindakan negara yang abai menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

“Negara sebagai pemangku HAM (duty bearer) mempunyai kewajiban untuk menjamin pelaksanaan, pemajuan dan pemenuhan HAM di Tanah Papua dan wilayah lainnya. Negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to fulfill) dan memenuhi (to protect) hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak masyarakat adat. Pengakuan ini tertuang dalam ketentuan menimbang Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua, huruf f,” paparnya.

Baca Juga:  Tewasnya Tobias Silak Harus Diproses Hukum, Lawan Impunitas di Tanah Papua

Kata Franky, permohonan intervensi ini didasarkan misi kepentingan dan tujuan untuk mengupayakan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya, hak atas lingkungan hidup, adanya pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dan kelompok masyarakat miskin, adanya jaminan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.

“Permohonan intervensi yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup, telah terdapat berbagai preseden di dalam Putusan Perkara nomor 75/G.TUN/2003/PTUN-JKT/INTV, empat organisasi lingkungan hidup antara lain WALHI, ICEL, APHI, dan PBHI dapat diterima sebagai pihak intervensi dalam perkara reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta.”

Franky menambahkan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah mendampingi masyarakat adat Awyu di kampung Yare, distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.