JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua) mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera buka ruang dialog Indonesia dan Papua untuk mengakhiri seluruh persoalan yang terjadi di Tanah Papua.
Aminus Balingga, ketua Nieuw Guinea Raad (NGR), mengatakan, secara politik, Nieuw Guinea Raad adalah induk dari semua proses kebangsaan Papua yang sengaja ditenggelamkan oleh kepentingan kolonialisme dan kapitalisme global.
Menurut Aminus, Nieuw Guinea Raad perlu dihidupkan kembali sebagai rumah bangsa Papua dan alat politik untuk mengawal semua proses politik sampai pada terpenuhinya penentuan nasib sendiri bangsa Papua.
“NGR adalah lembaga politik resmi bangsa Papua yang telah disiapkan Belanda pada tangal 5 April 1961 dan dideklarasikan pada 1 Desember 1961. Tetapi demi kepentingan kapitalis terhadap sumber daya alam Papua, selama 60 tahun, NGR disembunyikan. Namun kini generasi telah dihidupkan kembali pada tahun 2012, selanjutnya NGR melakukan kongres pada 2021,” jelasnya kepada suarapapua.com saat ditemui di kota Jayapura, Kamis (20/4/2023) sore.
Kata Balingga, semua organisasi pergerakan perjuangan pembebasan Papua baik di Tanah Papua, Indonesia maupun luar negeri merupakan aset bangsa yang bernaung di bawah NGR.
“Nieuw Guinea Raad ini ibarat rumah, jadi organ-organ pergerakan pembebasan Papua merupakan tunas-tunas dari NGR. Dan, semua itu milik NGR,” paparnya.
Menanggapi penyanderaan pilot Phillips Mark Mehrtens, dijelaskan, tidak terlepas dari permasalahan politik. Sejarah pelanggaran HAM di Papua sudah bertahun-tahun, tetapi dunia masih menutup mata.
“OPM, TPNPB dan seluruh rakyat bangsa Papua minta dialog. Begitupula NGR. Akar persoalan di Papua harus diselesaikan, itu tujuan dari penyanderaan pilot Phillips. Tidak perlu untuk cari pilot yang disandera TPNPB. Tuntutan dari Egianus Kogeya itu permintaan bangsa Papua. Dialog Indonesia-Papua harus dibuka, sehingga masalah Papua diselesaikan lewat jalur perundingan,” tegasnya.
Balingga mencatat rangkaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua dilakukan dibawah legitimasi Resolusi Majelis Umum PBB nomor 2504 (XXIV) 1969 tertanggal 19 November 1969.
Pemerintah Daerah Harus Terbuka
Situasi kurang baik di Tanah Papua masih berlanjut hingga sekarang. Bahkan terjadi pertumpahan darah. Dalam kondisi demikian, pemerintah di beberapa daerah konflik bersenjata seperti Ndugama, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Lanny Jaya, Puncak Papua, dan lainnya diharapkan agar segera menyampaikan kepada publik situasi yang sebernarnya terjadi.
Hal itu dikemukakan Hakim Bahabol, anggota NGR, menyikapi situasi terkini di Tanah Papua.
NGR menurutnya menyarankan kepada pemerintah daerah di wilayah konflik harus transparan dengan kondisi faktual yang dialami masyarakat sipil.
Bahabol menilai dampak dari pencarian pilot Phillips Mark Mehrtens, pemerintah Indonesia mengorbakan TNI/Polri dan masyarakat sipil di Papua.
Seharusnya, kata Bahabol, Indonesia tidak perlu mengejar asap.
“Indonesia tidak usah korbankan TNI/Polri dengan alasan mencari pilot asal Selandia Baru . Apa yang Egianus Kogeya minta itu yang diminta oleh bangsa Papua. Sehingga pemerintah tidak perlu melakukan operasi militer di Papua,” ujarnya.
Lanjut Bahabol, pemerintah Indonesia dalam hal ini bupati dan DPRD di daerah konflik bersenjata harus terbuka kepada publik menyampaikan kondisi masyarakat sipil.
“Para bupati, DPRD dan semua yang menjadi kaki tangan Indonesia harus terbuka ungkap kondisi lapangan. Tidak perlu menutupi fakta. Ingat, yang korban itu adik, kakak, bapak, mama, keluarga kita sendiri. Selain itu, pemerintah harus buka akses kemanuasiaan,” harapnya.
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You