PolhukamDemokrasiPasal Makar Dilekatkan Aparatus Negara ke OAP Buat Bungkam Hak Bicara

Pasal Makar Dilekatkan Aparatus Negara ke OAP Buat Bungkam Hak Bicara

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tidak sedikit aktivis Papua dikriminalisasi dengan Pasal Makar. Menyampaikan pendapat di muka umum dianggap melawan negara. Victor Yeimo protes ujaran rasisme di Surabaya, Jawa Timur, justru dijerat dengan Pasal Makar.

Victor Yeimo sejatinya korban rasisme seperti halnya orang Papua umumnya. Dalam kenyataannya, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang juga juru bicara Petisi Rakyat Papua (PRP) itu didakwa dengan Pasal Makar.

Orang Papua termasuk para aktivis cenderung dikriminalisasi negara melalui aparat penegak hukum. Ditahan hingga dijebloskan ke jeruji besi. Menjalani proses hukum hingga dijatuhi vonis kurungan badan. Seperti dialami Kamus Bayage dan Gerson Pigai, dua mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Papua.

Mengemuka dalam diskusi publik di aula Kabesma Uncen Jayapura, Kamis (20/4/2023) sore, sekalipun tidak terbukti melalui fakta persidangan, Pasal Makar selalu saja diterapkan aparat penegak hukum. Hal itu negara perlihatkan di publik bahwa dengan penerapan Pasal Makar terhadap orang Papua lantaran ada persoalan politik yang belum terungkap, belum diselesaikan.

“Orang mau bicara menyampaikan pendapat di depan publik itu hak setiap warga negara. Tidak bisa juga dikategorikan sebagai makar. Definisi mengenai makar itu kadang salah kaprah. Coba kita tinjau di Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 7 tahun 2017 tentang penggunaan Pasal Makar,” kata Helmi, anggota Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, saat diskusi publik bertajuk “Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan Negeri Klas 1A Abepura Jayapura”.

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

Advokat muda dari Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) itu tidak bisa bantah dengan fakta pembungkaman ruang demokrasi di Papua. Praktik penegakan hukum dengan Pasal Makar memperlihatkan pembungkaman ruang rakyat bicara di era reformasi makin masif.

Selain Victor Yeimo, Gerson Pigai, dan Kamus Bayage, hal sama dialami Devio Tekege, Yosep Ernesto Matuan, dan Ambros Fransiskus Elopere. Begitupun aktivis lain yang diproses karena mau atau telah melakukan aksi menyampaikan pendapat di muka umum.

Pembatasan ruang gerak mahasiswa Papua hendak menyampaikan aspirasi oleh karena dilarang bahkan dibubarkan paksa aparat kepolisian mendapat fokus diskusi lebih serius.

Sejumlah peserta mengungkapkan fakta itu selalu dialami setiap kali mau aksi unjuk rasa.
Bukan saja saat keluar ke jalan, dalam kampus pun mahasiswa mengaku pernah direpresif aparat keamanan.

Mahasiswa menilai hal itu sudah melanggar otonomi kampus. Aparat keamanan seharusnya tidak boleh masuk sampai ke dalam kampus.

Penerapan Pasal Makar, menurut catatan Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, hanya berlaku bagi orang Papua.

“Sudah bukan rahasia lagi bahwa selama ini orang Papua tidak luput dari Pasal Makar. Selalu ini diterapkan kepada aktivis Papua. Orang aksi menyampaikan pendapat selalu dihadang, direpresif, dibubarkan, ditahan, diproses dan dihukum. Kalau hanya bagi orang Papua, Pasal Makar ini pasal paling spesial di negara Indonesia. Pasal Makar berlaku bagi orang Papua berarti ada masalah politik di Tana Papua,” tutur Emanuel.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Ditahan dengan dugaan makar, masalah lebih diperparah lagi dengan dakwaan dan proses peradilan yang terkesan tidak memberikan rasa keadilan bagi orang Papua.

“Kita sampai pada tingkat itu, dan bisa dibenarkan dengan pernyataan dulu dari seorang ahli dari Indonesia bahwa orang Papua warga kelas dua di Indonesia. Orang Papua ini apakah bukan warga negara Indonesia?,” herannya.

Sebagai seorang pengacara muda dengan jam terbang tinggi yang rajin mendampingi perkaranya orang Papua, Emanuel menyebut fakta hingga kini orang Papua selal diperhadapkan dengan stigma politik dan pandangan rasialis yang mengakar dalam berbagai aspek. Dalam penerapan hukum, itu sudah dan masih berlanjut sampai sekarang.

Kata Gobay, itu juga yang dialami Victor Yeimo, termasuk aktivis dan mahasiswa Papua lainnya.

Dalam perkara Victor Yeimo, ia mencurigai adanya kesalahan dalam proses persidangan yang bahkan dua kali menunda persidangan.

“Sudah dua kali tunda sidang pembacaan putusan terhadap kasus Victor Yeimo. Hakim ketua yang menangani perkara ini akan pindah ke Makassar. Jaksa menunda pembacaan tunda, itu kami menilai skenarionya agar kasus klien kami ditangani oleh hakim baru yang sama sekali tidak tahu menahu kasusnya dan proses persidangannya yang sudah berlangsung selama ini,” tutu Emanuel.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Seperti usai persidangan terakhir di PN Jayapura, direktur LBH Papua kembali menyarankan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim yang dinilai tidak menjalankan kode etik, apalagi isu pindah tugas sempat dibuka dari ruang sidang.

Methodius Kossay, koordinator Penghubung Komisi Yudisial RI provinsi Papua, yang juga hadir berbicara di diskusi publik itu menyatakan siap menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi).

“Sebagai salah satu lembaga negara, sudah merupakan hal prioritas bagi Komisi Yudisial untuk patuhi amanat konstitusi dalam melakukan pemantauan ataupun pengawasan terhadap hakim di setiap persidangan,” ujarnya.

Kossay bahkan menyatakan telah mengawasi kinerja hakim, termasuk dalam perkara Victor Yeimo. Hanya saja, secara tertulis belum mendapat pengaduan dari pengacaranya.

“Jika masyarakat menemukan adanya kejanggalan dari hakim, silakan laporkan ke Komisi Yudisial. Selain berdasarkan pengaduan atau laporan masyarakat, kami secara inisiatif sendiri tetap awasi kode etik hakim apakah sudah sesuai atau mungkin melanggar dalam setiap persidangan. Dalam hal ini, tentu perlu dukungan masyarakat dan semua pihak agar proses persidangan memenuhi unsur keadilan,” tutur Metho, sapaan akrab pria asli Lembah Balim ini.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

0
“Kami bersama AMAN Sorong Raya akan melakukan upaya-upaya agar Perda PPMHA  yang telah diterbitkan oleh beberapa kabupaten ini dapat direvisi. Untuk itu, sangat penting semua pihak duduk bersama dan membicarakan agar Perda PPMHA bisa lebih terarah dan terfokus,” ujar Ayub Paa.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.