PolhukamHAMPemerintah Indonesia Tidak Punya Komitmen Lindungi Buruh di Papua

Pemerintah Indonesia Tidak Punya Komitmen Lindungi Buruh di Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua selaku kuasa hukum para buruh menyebut mogok kerja 8.300 orang buruh PT Freeport Indonesia yang dilakukan 1 Mei 2017 merupakan aksi yang legal di mata hukum.

Emanuel Gobay merujuk hal itu dari putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jayapura nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Jap atas nama Tri Puspital, putusan nomor 1095 K/Pdt.Sus-PHI/2021 atas nama Demianus Jonasen May, dan putusan nomor 1126 K/Pdt.Sus-PHI/2021 atas nama Muhammad Anwar.

Menurut Emanuel, pertimbangan hakim dalam ketiga perkara itu menyatakan mogok kerja 8.300 buruh PT Freeport sah di mata hukum.

“Atas dasar itulah kami menyimpulkan bahwa mogoknya sah, karena ada pengakuan dari pemerintah dan juga oleh hakim Mahkamah Agung. Jadi, mogok kerja yang dilakukan para buruh PT Freeport Indonesia sah,” ujarnya kepada suarapapua.com, Senin (1/5/2023).

Amnesty Chapter Uncen dan mahasiswa Papua di Jayapura saat diskusi publik dalam rangka peringati hari buruh, 1 Mei 2023. (Reiner Brabar – SP)

Emanuel menjelaskan, pada tahun 2018, Dinas Ketenagakerjaan provinsi Papua telah menyatakan mogok kerja 8.300 buruh itu sah. Tetapi, sejak 2017, manajemen PT Freeport tidak pernah memberikan jawaban menggembirakan.

Gubernur Lukas Enembe, kata Gobay, pada tahun 2018 mengeluarkan surat yang menegaskan tentang legalnya mogok kerja para buruh PT Freeport.

“Surat itu juga memerintahkan pihak PT Freeport untuk mempekerjakan para buruh yang dipecat gara-gara mogok kerja, dan membayar upah mereka.”

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Gobay menggarisbawahi mogok kerja adalah hak normatif yang wajib dihargai pemerintah maupun PT Freeport Indonesia.

“Mogok kerja merupakan sesuatu yang legal. Alibi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disebut manajemen PT Freeport terhadap 8.300 buruh itu patut dipertanyakan. Kapan surat PHK diberikan kepada klien kami? Sebab, sejak 1 Mei 2017 hingga hari ini 1 Mei 2023, 8.300 buruh tidak diberikan surat PHK,” tegasnya.

Para Buruh Mogok Kerja Mencari Keadilan

Dari fakta tersebut, Emanuel Gobay menilai tiadanya keseriusan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan buruh PT Freeport. Meski aksi mogok kerja dari para buruh tersebut sudah enam tahun berlangsung.

Diatur dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, agenda ketenagakerjaan merupakan bagian dari agenda pembangunan. Masalanya, sejak 2017 lalu, pemerintah tidak menyelesaikan persoalan PHK yang bahan dibiarkan berlarut-larut.

“Kalau memang pembangunan yang mau didorong di Papua, dan buruh masuk dalam agenda pembangunan, mengapa persoalan yang ini tidak diselesaikan? Meskipun berulang kali Komnas HAM memberikan rekomendasi yang ditujukan langsung ke presiden, tidak ada tindakan yang dilakukan sejak 2017. Ini menunjukan bahwa di Papua ini negara ataupun pemerintah tidak memiliki komitmen untuk melindungi para buruh, terlebih khusus 8.300 buruh PT Freeport yang sampai saat ini masih melakukan mogok kerja,” tandas Gobay.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program
Chapter Amnesty Uncen dan mahasiswa Papua di Jayapura, Minggu (30/4/2023) malam, mendesak manajemen PT Freeport Indonesia segera penuhi hak-hak ratusan buruh yang di-PHK tahun 2017. (Reiner Brabar – SP)

Menyikapi hal itu, pemerintah Indonesia melalui wakil presiden yang juga ketua pengarah pembangunan di Papua didesak agar segera membuka ruang perundingan antara 8.3000 buruh mogok kerja dengan manajemen PT Freeport untuk mengakhiri persoalannya.

“Dengan hormat, pemerintah dan manajemen PT Freeport jangan sibuk hanya bahas tentang hasil eksploitasi saja, tetapi bahas juga tentang buruh yang melakukan pekerjaan luar biasa sampai menghasilkan banyak emas, tembaga, sehingga saham-saham itu bisa dibahas saat ini. Apa artinya semua itu kalau kasus buruh ini tidak diselesaikan,” ujar Emanuel.

Enam tahun tanpa kejelasan, 8.300 buruh korban PHK sepihak manajemen PT Freeport Indonesia masih konsisten memperjuangkan keadilan. Perjuangannya belum usai untuk mendapatkan keadilan, meski sejauh ini tidak ada respons menggembirakan.

Demi mencari keadilan, kata Lukas Rumpaidus dan Antonius Awom, dua buruh mogok kerja, mengatakan, segala upaya sudah dan akan terus ditempuh ribuan buruh PHK.

“Kami 8.300 orang buruh masih berjuang dan akan terus berjuang untuk mencari keadilan di negeri ini,” ujar Lukas.

Setelah dua tahun aksi mogok kerja (moker), kata Rumpaidus, presiden Joko Widodo pernah berjanji kepada 8.300 buruh korban PHK akan menyelesaikan hal itu. Hingga enam tahun berlalu, tidak ada realisasinya.

Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

“Tanggal 13 Februari 2019, presiden Jokowi pernah menerima kami di istana kepresidenan dan beliau berjanji akan memfasilitasi kami untuk duduk bersama dengan manajemen PT Freeport agar bisa mencari solusi terbaik. Tetapi sampai saat ini belum terwujud. Silakan saja presiden datang ke Timika, tetapi janjinya sama kami sampai saat ini belum ditepati,” ujar Rumpaidus.

Perjuangan para buruh korban PHK sepihak PT FI, kata Anton, tidak akan berakhir. Untuk perjuangkan itu, ada tim yang terus bekerja di beberapa kota, seperti Jakarta, Jayapura, Timika dan kota lainnya.

“Sampai sekarang kami terus berjuang. Kalau bisa kami bisa duduk di satu meja untuk mencari solusi. Kami tetap saling support untuk mencari keadilan,” kata Awom.

Lukas Rumpaidus dan Antonius Awom, buruh korban PHK sepihak PT Freeport Indonesia. (Reiner Brabar – SP)

Sementara itu, Rutce Selviani Bosawer, divisi kampanye dan media Amnesty Chapter Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, menyatakan, karena belum memenuhi hak 8.300 buruh mogok kerja, PT Freeport harus bertanggungjawab atas meninggalnya 115 buruh pasca mogok kerja sejak 2017 lalu.

“Supaya masalah ini selesai, pemerintah harus segera buka ruang perundingan antara manajemen PT Freeport dengan 8.300 buruh mogok kerja,” kata Rutce.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.