JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Kehadiran Wakil Menteri Dalam Negeri RI Wempi Wetipo di lokasi pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan di Wilayah Welesi pada Jumat 26 Mei 2023 mendapat pengawalan ketat aparat gabungan TNI dan Polri dan dari Polda Papua.
Kehadiran Wamendagri itu untuk mengecek lokasi penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan yang ditolak masyarakat adat lintas aliansi Welesi, Wouma dan Assolokobal.
Wamendagri JWW berharap kantor Gubernur Papua Pegunungan segera dibangun agar aktivitas perkantoran bisa berjalan optimal.
Dalam tinjauan itu ia minta dalam waktu dekat dilakukan pembongkaran lokasi pembangunan yang dimulai dari jalan masuk lokasi.
Benyamin Lagowan, Koordinator Lintas Tiga Aliansi Distrik Wouma, Welesi, dan Assolokobal di Jayapura menegaskan masyarakat adat Wouma tetap menolak, karena secara de facto Wilayah di mana akan ditempatkannya Kantor Gubernur Papua Pegunungan masih merupakan wilayah pertanian dan perkebunan rakyat.
“Sudah 1 tahun polemik penempatan kantor gubernur ini ditolak oleh masyarakat setempat, sehingga harusnya pemerintah sadar diri untuk pindahkan lokasi pembangunan di tempat lain,” tukas Lagowan pada, Sabtu (27/5/2023).
Ia lalu mempertanyakan kepada pemerintah terkait pembangunan kantor gubernur itu di tempat lain.
Apakah tidak ada lokasi lain di Jayawijaya sehingga pihak pemerintah terus menerus memaksa masyarakat adat untuk melakukan pembangunan di daerah tersebut.
“Perlu digarisbawahi bahwa lokasi hari ini yang sedang dijadikan lokasi penempatan kantor gubernur adalah wilayah kekuasaan aliansi Wouma. Namun ada oknum-oknum pro yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat diserahkan sepihak dengan kepentingan jabatan politik sama seperti di Welesi.”
Oleh sebab itu, Lagowan mewakili masyarakat adat Wouma berharap adanya mediasi antara pihak pro dan kontra pembangunan kantor tersebut di Wouma. Selama mediasi ini tidak dilakukan, maka pihak kontra dari Wouma akan terus melakukan penolakan atas pencaplokan lokasi pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan itu.
“Kami pikir semua pihak di Wouma harus duduk sama-sama baru putuskan bersama. Tidak bisa sepihak dan penuh intrik kepentingan. Kasihan nasib ribuan masyarakat kecil yang kini masih bergantung pada hasil olahan tanah di Wouma,” ujarnya.
Sementara itu kepala suku Markus Lanni menegaskan bahwa lokasi pembangunan kantor gubernur merupakan lahan perkebunan dan pertanian masyarakat, sehingga pihaknya tidak mengizinkan lahan masyarakat dialihfungsikan menjadi pusat perkantoran.
“Ini tempat kami kerja kebun, karena kita hidup dari hasil kebun. Sehingga saya larang jangan jual tanah supaya orang harus berkebun. Tetapi saat ini banyak provokator yang datang menghasut, termasuk kepala desa mereka tidak mengajak masyarakat kerja sehingga masyarakat harus kembali kerja kebun,”ujarnya.
Kata Markus, lokasi yang diperdebatkan itu bernama Iluageyma, dan lokasi tersebut merupakan lahan perkebunan rakyat yang hendak diserahkan sepihak kepada pemerintah untuk membangun kantor gubernur.
“Sekarang banyak masyarakat yang kerja di lahan tersebut, baik masyarakat asli setempat dan juga warga pengungsi dari Nduga, Yahukimo, Lanny Jaya dan Tolikara. Semua bekerja bersama-sama di lokasi tersebut, tetapi saat ini kami mau di usir semua keluar karena pembangunan.”
Selaku kepala suku Markus meminta bantuan hukum dan advokasi ke semua pihak, karena lahan milik masyarakat adat ingin dirampas oleh negara melalui pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Wakil Menteri Dalam Negeri RI.