ArtikelCatatan Aktivis PapuaJadi Tuan Puan di atas Negerinya Sendiri atau Jadi Budak Penjajah?

Jadi Tuan Puan di atas Negerinya Sendiri atau Jadi Budak Penjajah?

Oleh: Selpius Bobii*
*) Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua (JDRP2)

Dasar pemikiran pemberian Otonomi Khusus Papua oleh Negara Indonesia adalah untuk mempertahankan penjajahan di atas Tanah dan bangsa Papua. Untuk memuluskan rencana busuk itu, para pihak di Jakarta mendorong kaki tangan NKRI untuk mempengaruhi para tokoh Papua tertentu untuk menerima ide Otonomi Khusus (Otsus).

Rencana pemberian Otsus bagi Papua sudah terbaca ketika para tokoh Papua yang tergabung dalam Tim 100, yang diketuai almarhum Tom Beanal bertemu presiden BJ Habibie.

Ada tiga isu besar yang mengemuka saat itu adalah isu Papua merdeka berdaulat, isu pemerintahan transisi Papua, dan isu Otsus.

Di tengah hiruk-pikuk aspirasi Papua Merdeka, para tokoh Papua tertentu bersepakat untuk menggelar Musyawarah Besar Rakyat Papua (Mubes) sebagai wahana untuk menampung aspirasi politik yang mengemuka saat itu.

Dalam Mubes Papua pada tahun 2000 berhasil merumuskan arah dasar perjuangan bangsa Papua, yang kemudian diberi pembobotan dalam Forum Demokrasi Tertinggi bangsa Papua yaitu Kongres Papua II pada tahun 2000.

Isu pembentukan pemerintahan transisi ditolak oleh sebagian besar peserta Kongres Papua, sehingga isu itu dengan sendirinya gugur. Sedangkan isu proklamasi kemerdekaan secara sepihak untuk membentuk Negara Papua digugurkan secara sepihak oleh para tokoh tertentu di dalam Kepanitiaan Kongres Papua II.

Panitia Kongres Papua II hanya mencari formula khusus untuk meletakkan arah bagi perjuangan Papua Merdeka. Sikap politik bangsa Papua yang elegan dalam Forum Kongres ini memberikan ruang bagi Negara Indonesia untuk memuluskan rencana Jakarta untuk menerapkan Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.

Para tokoh Papua tertentu yang tergabung dalam Tim 100 ada yang melacurkan diri untuk mengawal rencana penerapan UU Otsus Papua yang digagas oleh Negara Indonesia.

Salah satu tokoh Papua yang tergabung dalam Tim 100 yang melenceng dari tujuan utama dibentuknya Tim 100 adalah almarhum JP Solossa. Bersama dengan para tokoh Papua tertentu, mereka menjadi Tim Sukses Otsus Papua.

Perjuangan almarhum Jaap Solossa bersama timnya berhasil diwujudkan di Tanah Papua, sehingga Jakarta mendukung JP Solossa menjadi gubernur pertama di era Otsus Papua.

Hasil perjuangan Jaap Solossa bersama timnya itu dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul: “Otonomi Khusus Papua Mengangkat Harkat Martabat Orang Asli Papua”. Buku ini menuai pro dan kontra di kalangan Papua dan Indonesia.

Orang asli Papua terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu: pro Otsus, kontra Otsus dan netral. Kelompok pro Otsus adalah orang Papua oportunis yang ingin memanfaatkan UU Otsus untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Sedangkan kontra Otsus adalah orang Papua yang konsisten dengan aspirasi murni Papua Merdeka; sementara kelompok netral adalah orang Papua yang menerima apa adanya. Kelompok netral ini menganut sikap politik “Papua merdeka atau tidak merdeka yang terpenting bisa bertahan hidup”.

Kelompok oportunis yang mendukung pemberlakuan Otsus bagi provinsi Papua terbagi ke dalam dua kategori, yaitu ada yang benar benar mendukung Papua tetap dalam bingkai NKRI, dan ada pula yang memanfaatkan UU Otsus untuk menuju Papua Merdeka.

Kebanyakan para intelektual Papua, baik yang ada di dalam sistem pemerintah maupun di luar sistem (swasta) telah memberikan kontribusi dalam melahirkan UU Otsus Papua. Para intelektual Papua oportunis ini menganggap bahwa Otsus adalah jalan menuju Papua Merdeka. Para intelektual tukang ini mengkampanyekan bahwa “Orang asli Papua menjadi tuan puan di atas negerinya sendiri”.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Tetapi apakah benar bahwa Otsus adalah jalan menuju Papua Merdeka? Ataukah Otsus adalah jalan menuju kehancuran dan penuhana? Apakah benar bahwa orang asli Papua sudah menjadi tuan puan di atas negerinya sendiri? Ataukah sudah menjadi budak Negara Indonesia dan para sekutunya?.

Sejak 21 Oktober 2001 UU Otsus Papua disahkan oleh DPR RI di Senayan Jakarta. Ketika UU Otsus Papua disahkan, Ketua Umum Presidium Dewan Papua (PDP), almarhum Dortheys Hiyo Eluay menolak dengan tegas UU Otsus Papua. Namun, sikap penolakan beliau ini justru membawanya ke penculikan dan pembunuhan sadis atas dirinya. Pada 10 November 2001, pemimpin besar bangsa Papua, tuan Theys Eluay diculik dan dibunuh oleh anggota Kopassus atas perintah presiden Megawati Soekarnoputri.

Penculikan dan pembunuhan Tuan Theys Hiyo Eluay mengawali malapetaka kehancuran tanah air dan kepunahan etnis Papua di era Otsus Papua. Pemimpin kharismatik Papua menjadi tumbal untuk memuluskan implementasi UU Otsus Papua.

Di dalam UU Otsus Papua memuat tiga hal penting dan mendasar, yaitu perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan orang asli Papua. Marilah kita lihat satu persatu ketiga unsur ini.

Di era Otsus Papua banyak orang asli Papua disiksa, diintimidasi, diperkosa, diculik dan dibunuh. Orang asli Papua dibasmi baik secara nyata maupun terselubung dengan rapi, sistematis dan terukur. Secara nyata melalui penculikan dan pembunuhan, serta tabrak lari. Sedangkan operasi senyap secara misterius melalui peracunan lewat makanan minuman, juga para medis, serta operasi senyap untuk menyebarkan virus melalui pekerja seks komersial, baik gelap maupun lokalisasi resmi.

Orang asli Papua sedang dimusnahkan (genosida) dan menjadi semakin minoritas karena beberapa faktor, yaitu: Pertama, orang asli Papua dibasmi secara nyata dan terselubung; Kedua, penerapan Keluarga Berencana (KB) dan kegagalan dalam operasi kandungan yang menyebabkan kematian, dan ada pula ibu ibu yang selamat dari operasi itu, tetapi ada yang tidak memiliki anak setelah operasi; Ketiga, arus migrasi yang semakin meningkat di era Otsus untuk memperbaiki taraf hidup (ekonomi) seiring pemekaran DOB provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua yang semakin marak.

Selain hak hidup orang asli Papua tidak dilindungi oleh negara di era Otsus, alam lingkungan Papua juga semakin dihancurkan (ekosida), baik secara legal maupun ilegal di era UU Otsus Papua. Penebangan hutan secara liar (illegal logging) dan penebangan hutan legal atas nama investasi, juga penangkapan ikan secara liar (illegal fishing), serta perampasan tambang, baik tanpa izin (illegal maining dan legal maining atas nama investasi) semakin meningkat di era Otsus Papua.

Budaya Papua juga tidak dilindungi di era Otsus Papua, justru sedang dihancurkan (etnosida). Misalnya budaya kritis warga semakin dibungkam di era Otsus Papua. Banyak aktivis Papua ditangkap dan dipenjara akibat penyampaian aspirasi politik secara damai. Ada pula buku tertentu karya orang Papua dilarang untuk dicetak dan dipublikasi. Situs-situs budaya Papua tidak lindungi, malah semakin dihancurkan atas nama pembangunan yang bias pendatang.

Juga nilai-nilai luhur dalam budaya Papua semakin hari semakin musnah (etnosida). Misalnya budaya kerja sudah semakin hilang. Dengan adanya program Raskin (beras miskin), bantuan tunai uang dari pemerintah, bantuan desa (Bandes) dan praktek Togel, Shio, Dadu, dan lain sebagainya telah menghancurkan budaya kerja, dan diganti dengan budaya ketergantungan kepada bantuan pemerintah dan permainan judi online maupun offline. Moral akhlak Papua pun semakin hari semakin rusak (spiritsida).

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Budaya kesatuan persatuan sebagai satu bangsa Papua juga semakin dihancurkan. Sentimen Papua gunung, Papua Pantai; sentimen dari wilayah ini, dari wilayah itu; sentimen dari propinsi ini, dari propinsi itu semakin kencang dihembuskan seiring dengan pemekaran DOB kabupaten/kota dan provinsi di Tanah Papua.

Dalam hal keberpihakan kepada orang asli Papua juga tidak ditegakkan di era Otsus. Misalnya pasar dunia ekonomi, politik, pendidikan dan kesehatan dikuasai oleh masyarakat migran dari luar Papua. Di sini terjadi banyak ketidakadilan alias terjadi diskriminasi.

Hal ini keterkaitan juga dengan unsur pemberdayaan orang asli Papua. Karena tidak ada pemberdayaan khusus kepada orang asli Papua, sehingga hampir semua bidang kehidupan didominasi oleh masyarakat migran yang datang dari luar Papua.

Dalam bidang politik misalnya kursi kursi DPRD baik ditingkat kabupaten/kota dan provinsi di Tanah Papua semakin didominasi oleh amber (warga migran). Selain itu, posisi terpenting dinas dinas terkait juga diisi oleh masyarakat amber karena dipercayakan oleh bupati/wali kota dan gubernur atas dasar janji politik (utang politik).

Politik demokrasi di Indonesia tidak memberikan ruang bagi etnis dan agama minoritas untuk mengisi pada posisi posisi terpenting. Posisi posisi terpenting di dunia politik dan dinas dinas pemerintahan serta bidang swasta diisi oleh etnis mayoritas dan agama mayoritas. Sehingga orang asli Papua dibuat tidak mampu untuk bersaing secara positif dengan masyarakat migran dari luar Papua.

Indeks SDM Papua semakin rendah, dan angka kemiskinan di Tanah Papua semakin tinggi dengan provinsi lain di Indonesia. Ini adalah bukti bahwa tidak adanya keberpihakan dan minimnya pemberdayaan terhadap orang asli Papua di segala bidang kehidupan.

Para pejabat tertentu di Tanah Papua tidak disiapkan dengan baik, sehingga banyak pejabat di Tanah Papua gagal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Para pejabat asli Papua ini adalah hasil didikan para pejabat dari luar Papua, sehingga budaya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi mata rantai warisan pejabat amber yang tak terputuskan. Sehingga para pejabat di Tanah Papua, baik amber (migran) maupun orang asli Papua menjadi raja-raja kecil yang mengabdi kepada raja raja besar di pusat kekuasaan NKRI di Jakarta.

Para pejabat Papua ini tidak diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Otsus Papua untuk menjalankan roda pemerintahan di kabupaten/kota dan provinsi di Tanah Papua. Para pejabat ini dikontrol dari pusat pemerintahan di Jakarta, sehingga mereka tidak berani mengambil kebijakan tertentu untuk perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan khusus orang asli Papua sesuai amanat UU Otsus Papua.

Ada pula Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) banyak dilahirkan oleh lembaga kultural orang asli Papua (MRP), juga oleh legislatif dan eksekutif di Tanah Papua, tetapi Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri menolak kebanyakan Perdasi dan Perdasus itu agar tidak diterapkan di Tanah Papua.

Para pejabat publik ini menari-nari di atas air mata darah warga asli Papua alias merasa nyaman, tetapi sesungguhnya mereka ini ada yang menderita secara psikis, karena mereka tidak diberikan kewenangan penuh oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya. Dengan demikian, para pejabat ini bukan menjadi “tuan” di atas negerinya sendiri untuk membangun negerinya sesuai amanat UU Otsus, tetapi dijadikan sebagai “budak” ataulebih tepat dijadikan seperti “boneka” oleh pemerintah pusat.

Selain itu, untuk mengisi kursi MRP, Dewan Perwakilan Rakyat baik di daerah kabupaten/kota maupun provinsi, yaitu alokasi khusus Otsus tidak luput dari intervensi pusat kekuasaan di Jakarta. Seleksi MRP dan DPR alokasi khusus di Tanah Papua juga diintervensi oleh BIN, BAIS, BAKIN, TNI, Polri dan pusat kekuasaan pemerintah di Jakarta dan juga adanya nepotisme dalam proses seleksi (ketidakadilan). Walaupun ada orang asli Papua tertentu yang kemampuannya dapat diandalkan, tetapi dengan alasan tertentu, mereka ini tidak mendapat tempat dalam lembaga lembaga terpenting ini.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Implementasi UU Otsus Papua dan pembentukan DOB provinsi dan kabupaten/kota, serta perebutan kekuasaan politik baik di eksekutif, legislatif dan lembaga kultural orang asli Papua (MRP) telah mencabik-cabik kesatuan persatuan kita sebagai keluarga besar bangsa Papua ras Melanesia. Harga diri bangsa Papua dipertaruhkan dan dijual oleh segelintir para oportunis ini hanya demi sesuap nasi, sebatang rokok, sebotol miras, sekumpulan harta, sebuah tahta dan wanita idaman atau pria idaman yang bertujuan hanya untuk memuaskan keinginan daging.

Para intelektual Papua tertentu yang berperan sebagai “Intelektual Tukang”, baik dalam sistem pemerintahan maupun di luar sistem (swasta) ini tidak sadar bahwa dengan sikap dan tindakan yang tamak (rakus) itu sedang membawa bangsa Papua pada kehancuran tanah air dan kepunahan etnis Papua.

Bagaimana pun pengorbanan para intelektual tukang untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI, tetapi pengorbanan Anda tidak akan pernah dihargai selamanya oleh Negara Indonesia. Sebagaimana almarhum Jaap Solossa yang sudah berjuang mati-matian untuk lahirnya UU Otsus bagi provinsi Papua, tetapi kini tinggallah nama; demikian pula intelektual tukang lainnya yang pernah mengabdi dalam sistem pemerintahan NKRI yang kini tinggallah nama.

Tak ada satu pun pengorbanan para intelektual tukang yang dipandang “berharga” di mata penjajah: “habis manis sampah dibuang”, begitulah pepatah Indonesia. Buatlah sesuatu bagi negerimu dan bangsamu yang sedang hancur dan musnah, agar karyamu dihargai serta namamu harum dan terukir abadi dalam sanubari bangsamu Papua yang sedang bergulat berjuang untuk meraih impiannya “Kebebasan Total”.

Dari uraian singkat ini, kita menarik kesimpulan bahwa implementasi UU Otsus Papua bukanlah jalan menuju Papua Merdeka, tetapi justru implementasi UU Otsus mempertahankan penjajahan karena di era Otsus sudah terbukti mengancam eksistensi alam lingkungan dan manusia Papua.

Jika demikian slogan: “Orang asli Papua jadi tuan puan di atas negerinya sendiri di era Otsus” adalah sebuah harapan palsu. Slogan itu menjadi sebuah harapan kosong karena Jakarta tipu Papua (Jatipa), Papua tipu Jakarta (Patija) dan Papua tipu Papua (Patipa). Sebuah buku karya almarhum Jaap Solossa yang berjudul: “Undang-Undang Otonomi ‘Khusus’ Bagi Provinsi Papua Mengangkat Harkat Martabat Orang Asli Papua”, berubah total menjadi “Undang-Undang Otonomi ‘Kasus’ bagi provinsi Papua ‘Menghancurkan’ Harkat Martabat Orang Asli Papua”.

Selama kita bangsa Papua masih di dalam bingkai NKRI, selama itu pula kita menjadi budah dari NKRI. Kita akan menjadi tuan puan di atas negeri sendiri setelah kita bebas merdeka berdaulat untuk menggenapi nubuatan Izaak Samuel Kijne: “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”, Miei – Automeri – Wondama, 25 Oktober 1925.

Akhirnya, marilah kita bangsa Papua bersatu untuk menyelamatkan Tanah dan bangsa Papua dari kehancuran alam lingkungan (ekosida), kehancuran budaya (etnosida), kehancuran moral akhlak (spiritsida) dan pemusnahan etnis Papua (genosida). (*)

Jayapura, Minggu, 4 Juni 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

0
"Sampai saat ini belum ada ketegasan terkait pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sana. Tidak ada ketegasan dari pemerintah daerah Yahukimo. Kami minta untuk segera tangani.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.