Dianggap Tanah Adatnya Dirampas, Masyarakat Wamena Adukan Wamendagri Ke Komnas HAM RI

0
904
Bonny Lanni, perwakilan masyarakat adat ketika melaporkan soal perampasan lahan ke Komnas HAM RI. (Dok. Bonny Lanni - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Merasa lahan perkebunan masyarakat adat diambil alih pemerintah untuk pembangunan Kantor Gubernur provinsi Papua Pegunungan, perwakilan masyarakat adat tiga Aliansi Welesi, Wouma dan Assolokobal adukan Wakil Menteri Dalam Negeri ke Komnas HAM RI pada, Jumat (9/6/2023).

Pengaduan itu dilakukan Bonny Lanni, salah satu warga Welesi Kabupaten Jayawijaya di Kantor Komnas HAM RI di Jakarta.

“Saya dari Wamena datang ke Jakarta untuk mencari keadilan karena lahan atau kebun kami di rampas habis oleh Wempi Wetipo selaku Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri),” tegas Bonny dalam kesempatan itu.

Menurutnya, ada 4 masalah penting yang saat ini sedang terjadi di lokasi pembangunan kantor gubernur tersebut.

Pertama, kata Bonny, ada tanah sengketa antar suku Mukoko dengan Welesi yang menjadi tempat perang suku yang diambil alih Wamendagri untuk pembangunan kantor gubernur.

ads
Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

“Dalam proses penempatan, pak Wamen sendiri tidak pernah komunikasi baik dengan masyarakat asli di sekitar lokasi tersebut. Bahkan ke pemerintah daerah setempat sebagai pemerintah yang mengatur wilayah administratif di Jayawijaya, namun dia serobot masuk,” ujarnya.

Bonny juga menegaskan pemerintah sampai saat ini belum punya master plan pembangunan kantor Provinsi Papua Pegunungan, karena tidak ada anggaran dari pusat. Namun di Wamena sepertinya dipaksakan seperti membangun rumah pribadi.

“Akibat banyaknya protes dari masyarakat di lapangan, termasuk pencabutan patok di lokasi sehingga pak Wempi Wetipo selaku Wamendagri menurunkan aparat TNI dengan peralatan senjata lengkap untuk mengawasi pekerjaan pembongkaran lokasi tersebut,” kata Bonny.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Bonny juga menegaskan dari proses awal yang tidak berjalan demokratis oleh oknum-oknum kepala suku dan pemerintah, dalam pengalihfungsian lahan perkebunan warga ini berpotensi terciptanya konflik horizontal.

Masyarakat adat yang Kontra melihat pemerintah seakan sengaja ingin bangun konflik di tengah masyarakat.

“kita tahu sendiri lokasi lahan perkebunan selama ini dikelola baik oleh orang Welesi, Mukoko dan warga dari beberapa kabupaten lain yang bermukim di Jayawijaya, terutama warga pengungsi dari kabupaten tetangga seperti Nduga dan lainnya.”

“Sehingga kami laporkan ke Komnas HAM untuk melakukan investigasi dan menyurati, memanggil Wamendagri agar hentikan perampasan tanah adat masyarakat dengan kekuatan militer itu,” ujarnya.

Baca Juga:  Nomenklatur KKB Menjadi OPM, TNI Legitimasi Operasi Militer di Papua

Sementara, Sekjen Asosiasi Mahasiswa Pengunungan Tengah Indonesia (AMPTPI) Ambrosius Mulait menyatakan, pelepasan tanah adat di Welesi, pemerintah mestinya melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

“Pemerintah tidak boleh main seperti pencuri datang bawah alat berat bongkar lahan kebun suku Mukoko dan Welesi itu,” ujar Mulait.

Apalagi katanya hingga melibatkan aparat TNI dan Polri dengan kekuatan besar dan persenjataan lengkap.

Oleh sebab itu AMPTPI menyayangkan tindakan aparat yang dinilai berlebihan. Dimana dalam kasus ini, Dandim 1702 Jayawijaya sangat aktif di lokasi.

“Dandim itu tugasnya jaga keamanan negara, bukan ambil ahli tanah masyarakat adat. Selain itu, Dandim tidak boleh berpolitik dengan pemerintah untuk memuluskan niat buruk pemerintah,” tukas Mulait.

Artikel sebelumnyaTriwarno: Soal Sampah Harus Disosialisasikan
Artikel berikutnyaKowaki Ajak Generasi Muda Papua Lawan Krisis iklim