ArtikelCatatan Advokat PapuaHijau Segar Pohon Sawit Tumbuh di atas Kisah Pilu Buruh Sawit

Hijau Segar Pohon Sawit Tumbuh di atas Kisah Pilu Buruh Sawit

Oleh: Emanuel Gobay, SH, MH*
*) Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua

Memilah Derita Buruh Sawit dari Buah Sawit Segar

Akhir pekan ini kami memilih rute bertamasya ke kebun sawit milik Rajawali Group dan Kebun Jagung Negara (Program Food Estate) yang ditanam pada bekas lahan BUMN PT Perkebunan Nusantara (PN) II yang terletak di wilayah kabupaten Keerom, provinsi Papua.

Awalnya kami melihat tanaman jagung yang mulai berdiri kehijauan pada lokasi yang diberi kode nomor 1 hingga kode nomor 3. Sementara dari lokasi yang diberi kode 4 sampai dengan kode 6 terlihat tanaman jagung yang sudah mulai tumbuh dengan ukuran masih satu meter.

Selain terlihat tanaman jagung, di beberapa titik ada beberapa bulldozer mini yang diparkir di sana. Serta ada pula beberapa anak-anak yang berkejaran di atas ladang jagung baru itu. Mungkin karena hari minggu, sehingga para penggarap kebun jagung negara tidak melakukan aktivitas cangkul dan menanam.

Kebun jagung itu bersebelahan langsung dengan lahan sawit yang dikelola PT PN II yang dikelola sejak tahun 1980-an. Jalan yang kami lintas itulah yang membatasi antara lahan sawit dengan lahan jagung negara yang dikembangkan dalam Proyek Food Estate yang digalakkan pada periode kedua presiden Joko Widodo. Sebagai pertanda dibukanya proyek ini, presiden Jokowi sendiri yang resmikan beberapa waktu lalu.

Dari rumor yang berkembang, lahan jagung negara itu berdiri di atas tanah yang bukan saja bekas kebun sawit PT PN II, namun ada juga sebagian miliki warga negara berdasarkan sertifikat hak milik, hak pakai dan hak milik tanah serta hutan adat. Kendati begitu rumornya, yang kami lihat sudah ada jagung yang bertumbuh dan yang baru bertunas serta ada pula bagian yang sedang maupun belum digemburkan.

Sehabis melihat itu semua, kami kembali ke lahan sawit tua milik PT PN yang masih terlihat pohon sawitnya. Tampak sudah tidak terawat lagi, tetapi masih sering diambil buah sawitnya sebab di beberapa titik jalan ada bekas-bekas gundukan buah sawit yang dibiarkan begitu saja.

Depan lahan kebun Jagung Negara (Program Food Estate) yang ditanami di bekas lahan BUMN PT PN II di wilayah kabupaten Keerom, Papua. (Ist)

Kami selanjutnya terus melintasi jalan itu hingga di ujung sana kami bertemu dengan sebuah perkampungan yang dihuni oleh penduduknya bercampur antara Papua dan non Papua. Di situ juga ada sebuah pos keamanan negara dan lain sebagainya.

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Sampai pertigaan kami terus menyusuri jalan itu hingga terlihat ada tanaman pohon sawit yang terlihat segar yang jelas-jelas bentuknya sangat berbeda dengan pohon sawit yang sebelumnya kami lihat pada lahan sawit tua milik PT PN II.

Di depan pertigaan sebelum memasuki hamparan lahan pohon sawit segar itu terlihat tulisan “PT Tandan Sawit Papua” di sebuah tembok yang dicat berwarna putih menyala di mana tulisannya diberi warna hijau dan warna hitam.

Melalui nama perusahaan itu, menunjukkan bahwa pohon sawit segar itu milik PT Tandan Sawit Papua (TSP). Dari hasil pantau kami seperti menemukan fakta bahwa “Pohon sawit segar itu tumbuh di atas belasan kisah pilu buruh sawit yang layu”.

Informasi yang kami peroleh, PT TSP memiliki lima kebun sawit. Secara umum buruh di dalamnya berjumlah 1.600-an lebih orang. Jumlah buruh terbagi dalam lima kebun. Untuk diketahui, status buruh di sana ada dua bentuk yaitu Buruh Tetap (BT), dan Buruh Harian Lepas (BHL). Berdasarkan perbedaan status buruh sawit tersebut tentunya secara langsung sudah menunjukkan perbedaan pemenuhan hak-hak normatif buruh sawit.

Salah satu perbedaan yang mencolok adalah upah buruh sawit antara keduanya jelas sangat berbeda. Untuk BHL menerima Rp151.000 per hari. Dalam satu bulan ada 26 hari kerja, sehingga dapat dipastikan bahwa rumusan upah seorang buruh sawit dengan status BHL adalah 26 × Rp151.000 = … (Totalnya bisa diketahui sendiri). Sementara, seorang buruh sawit dengan status BT belum diketahui jumlahnya. Ini akan dipastikan lagi.

Lokasi kebun sawit di Arso, distrik Arso Timur, kabupaten Keerom, Papua. (Ist)

Untuk diketahui, mayoritas buruh sawit memiliki keluarga dan tinggal di mes buruh sawit yang dibangun oleh perusahaan pada lima kebunnya masing-masing. Kondisi itu tentunya menunjukan bahwa di mes buruh sawit ada banyak anak-anak buruh sawit usia sekolahan yang tinggal di situ. Mereka jelas sangat membutuhkan perhatian mulai dari pemenuhan kebutuhan peralatan sekolah, beasiswa hingga fasilitas antar jemput dari mes buruh menuju sekolahnya masing-masing yang sewajibnya dipenuhi oleh perusahaan melalui program tanggung jawab sosial (CSR) sebagai wujud nyata pemenuhan hak atas kesejahteraan keluarga buruh yang merupakan hak asasi manusia.

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Di atas kondisi itu, menurut cerita beberapa BHL bahwa diatas upah buruh harian yang mereka terima seperti dalam jumlah tadi, ada diantara mereka yang harus menerima kenyataan dalam absen dinyatakan tidak hadir, padahal mereka telah mengisi absen di mandor lapangan, selanjutnya setiap masuk dan pulang kerja mereka sudah sering absen pada mesin absensi yang disediakan perusahaan. Keanehan itu sempat menuai kritik dari buruh pada saat penghitungan hari kerja setiap bulannya.

Kritik dari buruh terkait upah tadi tentunya sangat tidak logis, sebab upah dengan ukuran 26 hari kerja × Rp151.000 saja sangat sedikit jumlahnya untuk biaya sandan dan pangan bagi keluarga buruh sawit dalam per bulan diatas biaya hidup di Papua khususnya di kabupaten Kerom yang melebihi jumlah upah bulanan diatas, belum terhitung biaya sekolah anak-anak serta jajan tentunya akan semakin menunjukkan ketidakpasan upah diatas memenuhinya.

Dengan fakta itu, sangat logis jika buruh sawit kritik ketika menemukan kasus pengurangan hari kerja, padahal di atas kenyataan buruhnya telah absen pada mandor di setiap kebun dan juga telah absen pada mesin absensi.

Terlepas dari kisah keanehan itu, ada cerita lain yang disampaikan yaitu soal beberapa buruh sawit yang meninggal dunia di kebun sawit akibat kecelakaan kerja, tetapi tidak diperlakukan dengan baik mulai dari penyediaan peti mayat hingga penyediaan biaya transportasi mayat dibawa ke tempat asalnya. Bahkan anehnya lagi adalah hak-hak dari buruh sawit yang meninggal dunia tidak diberikan seperti hak pesangon, penghargan masa kerja, dan jaminan kematian.

Dari berbagai fakta demikian, para buruh sawit sendiri mengambil kesimpulan bahwa kondisi mereka sama seperti pepatah: “Habis manis sepah dibuang”. Hal itu tentunya sangat menganjal dalam diri para buruh Sawit yang masih hidup.

Kelapa sawit milik PT PN II di Arso, kabupaten Keerom, Papua. (Ist)

Buruh sawit di perusahaan ini berasal dari berbagai daerah, baik dari daerah-daerah di dalam wilayah Papua maupun dari luar wilayah Papua. Jelas adanya beragam etnis di sana.

Berdasarkan cerita para buruh sawit, kehadiran mereka di kebun sawit bervariasi. Salah satunya melalui perusahaan jasa outsourcing yang didatangkan sesuai dengan mekanisme yang sah, namun ada pula yang didatangkan dengan mekanisme yang tidak sah. Atas dasar itu tentunya memiliki cerita yang berbeda terkait kondisi yang dialami oleh buruh sawit.

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Selain itu, ada banyak persoalan terkait tidak dipenuhinya hak-hak buruh yang terjadi di dalam kebun sawit yang diceritakan. Dari berbagai persoalan itu jika dikontekstualkan dengan dasar hukum yang menjamin dan melindungi hak buruh di Indonesia, maka dari semua jenis hak memiliki kasusnya, sehingga sudah dapat disimpulkan bahwa buruh sawit mengalami praktek pelanggaran secara sistematik dan struktur yang terjadi di depan mata negara melalui pemerintah yang memiliki kewajiban untuk lindungi, penuhi, hormati dan tegakkan hak buruk sesuai perintah Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 junto Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Sekalipun para buruh sawit menceritakan banyak kisah pilu yang mereka hadapi, namun yang sungguh sangat jelas di luar logika sehat yaitu sampai saat ini belum pernah ada berita tentang tindakan pengawasan oleh petugas pengawas ketenagakerjaan dari dinas provinsi Papua yang memeriksa kepatuhan PT TSP implementasikan UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam lima kebun sawit miliknya. Selain itu, belum juga terlihat berita tentang DPRP melakukan pengawasan di kebun sawit milik PT TSP. Bahkan berita tentang Komnas HAM RI dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua memeriksa pemenuhan hak buruh oleh PT TSP.

Perkebunan kelapa sawit di Arso, kabupaten Keerom, Papua. (Ist)

Semua fakta tiadanya sikap pengawas ketenagakerjaan, DPRP dan Komnas HAM RI maupun Komnas HAM RI Perwakilan Papua menunjukkan pembiaran terhadap kondisi pilu buruh sawit dalam kebun sawit PT TSP. Hal tersebut juga memperlihatkan bukti bahwa ketiga institusi negara itu tidak memiliki misi untuk menyelamatkan hak buruh sawit dalam kebun sawit di Papua.

Akhirnya, dari semua kisah pilu buruh sawit tersebut menunjukkan bahwa hijau segar pohon sawit itu hidup di atas kisah pelanggaran hak buruh sawit di depan mata pengawas ketenagakerjaan, DPRP serta Komnas HAM RI dan Komnas HAM RI Perwakilan Papua.

Save buruh sawit Papua!

Justice for buruh sawit Papua! (*)

Kebun Sawit Rajawali, 11 Juni 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.