BeritaLingkunganSalju Abadi di Papua Diperkirakan akan Habis dalam Tiga Tahun

Salju Abadi di Papua Diperkirakan akan Habis dalam Tiga Tahun

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Fenomena El Niño tahun ini dapat mempercepat hilangnya salah satu gletser tropis terakhir yang tersisa di Papua Barat, dan menyebabkannya punah paling cepat pada tahun 2026, demikian peringatan badan meteorologi Indonesia.

Gletser di puncak Puncak Jaya telah mencair dengan cepat akibat pemanasan global, Benar News mengutip pernyataan kepala badan tersebut.

Pada Desember 2022, ketebalannya telah menyusut menjadi 6 meter, dari 8 meter pada tahun sebelumnya, dan 22 meter pada tahun 2016.

“Hilangnya lapisan es di Puncak Jaya akan berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan di kawasan itu,” kata Dwikorita Karnawati, direktur Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Nasional.

“Ekosistem di sekitar lapisan es permanen rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut,” tutur Dwikorita.

Menurutnya, perubahan iklim, yang menyebabkan pemanasan global, telah menyebabkan hilangnya es gletser dengan cepat.

Baca Juga:  Velix Vernando Wanggai Pimpin Asosiasi Kepala Daerah se-Tanah Papua

Dan fenomena El Niño yang terjadi secara berkala cenderung membawa kondisi Indonesia menjadi lebih hangat dan kering, sehingga mengurangi curah hujan dan meningkatkan penguapan. Pada gilirannya, hal ini semakin menyusutkan lapisan es.

“Gletser mungkin akan hilang sebelum tahun 2026, atau bahkan lebih cepat, dan El Niño dapat mempercepat proses pencairan,” kata Donaldi Sukma Permana, ahli iklim, kepada Reuters.

Badan meteorologi mengatakan El Niño terkuat yang pernah tercatat, pada tahun 2015 dan 2016, mempercepat penurunan gletser hingga 5 juta per tahun.

Dengan ketinggian 4884m, Puncak Jaya, juga dikenal sebagai Piramida Carstensz, adalah gunung tertinggi di Indonesia, dan bagian dari pegunungan yang membentang di Papua.

Gletser ini pertama kali didokumentasikan oleh penjelajah Eropa pada awal abad ke-20 dan sejak itu menarik banyak ilmuwan, peneliti, dan pecinta alam yang mengagumi keberadaannya di negara tropis.

Pada tahun 2010, tim ilmuwan dari Ohio State University bersama lembaga Indonesia mengebor inti es dari gletser dan menemukan bukti sejarah panjangnya, bahkan memperkirakan gletser tersebut telah ada setidaknya selama 5.000 tahun.

Baca Juga:  FIFA Akan Mempromosikan Hubungan 'non-partisan, non-politik' Antara Fiji dan Indonesia

Mereka juga menemukan bukti kepekaannya terhadap perubahan iklim.

Pemanasan global tidak hanya meningkatkan suhu, tetapi juga mengubah ketinggian hujan yang berubah menjadi salju, seperti dijelaskan dalam sebuah artikel di situs web universitas. Jadi, hujan kini turun pada ketinggian yang biasa menjadi tempat turunnya salju dan mengisi kembali es di gletser.

“Jika Anda ingin mematikan gletser, cukup beri air di atasnya,” kata Lonnie Thompson, profesor di Ohio State University pada tahun 2019.

“Air pada dasarnya menjadi seperti bor air panas. Ia mengalir menembus es hingga ke batuan dasar,” kata Thompson, penulis senior studi tentang gletser yang diterbitkan di National Academy of Sciences.

Tim Ohio State University pada tahun 2010 juga menemukan jejak polutan seperti timbal dan belerang di inti es, yang menunjukkan pengaruh manusia terhadap lingkungan.

Gletser tersebut terletak di dekat tambang besar tembaga dan emas yang dieksplorasi oleh PT Freeport Indonesia, anak perusahaan Amerika yang dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

Donaldi, dari Badan Meteorologi Indonesia, mengatakan es di gletser Puncak Jaya telah menipis sekitar 2,5 juta per tahun antara tahun 2016-2022.

Tahun lalu, kata Donaldi, lapisan es seluas sekitar 0,23 kilometer persegi dan terus mencair.

“Dampak nyata lain dari mencairnya es di gunung itu adalah kontribusinya terhadap kenaikan permukaan air laut global,” lanut Donaldi sembari menyebut hal tersebut dapat berdampak pada jutaan orang di wilayah pesisir dataran rendah.

Rizaldy Boer, pakar manajemen resiko iklim di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan, mencairnya es akan mengubah flora dan fauna di gunung tersebut.

“Beberapa spesies bisa punah. Yang terbaru, sejak pencairan es semakin parah dalam 10 tahun terakhir, adalah sejenis katak yang menghilang di sana,” katanya kepada Benar News.

Sumber: Radio New Zealand

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.