PolhukamHAMPengungsi di Yahukimo Belum Pernah Terima Bantuan Bama dari Polres

Pengungsi di Yahukimo Belum Pernah Terima Bantuan Bama dari Polres

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masyarakat Yahukimo dari lokasi baru Muara Bonto yang sedang mengungsi ke Dekai sejak kejadian kontak tembak antara TPNPB dan TNI/Polri tanggal 21 Agustus lalu hingga sekarang belum menerima bantuan dari Polres Yahukimo sebagaimana diberitakan sejumlah media massa.

Wahyu Heluka, koordinator pengungsi di Dekai, Kamis (21/9/2023), menyatakan, tidak ada bantuan dari Polres Yahukimo yang diterima warga di lokasi pengungsian.

“Saya sebagai ketua koordinator umum peduli kemanusiaan ingin mengklarifikasi informasi yang beredar melalui media online tentang bantuan bama dari Polres Yahukimo di lokasi pengungsian pada tanggal 16 September 2023. Yang benar adalah pada tanggal 15 itu Kapolres datang untuk memberikan bama, tetapi kami menolaknya,” kata Heluka.

Baca Juga:  Badan Pelayan Baru Jemaat Gereja Baptis Subaga Wamena Terbentuk

Menurutnya, pemberitaan di media online tidak benar dengan situasi yang terjadi di lapangan. Kata dia, bantuan yang hendak diberikan itu telah ditolak warga pengungsi.

“Yang kami tidak terima lagi itu, dalam berita Kapolres katakan hanya 39 kepala keluarga yang mengungsi. Terus balita yang meninggal itu juga dibilang bukan pengungsi. Itu salah. Kenyataan di lapangan berbeda yang diberitakan. Selama ini data lapangan selalu kami sampaikan melalu media. Tapi ada media lain suka putar balik fakta. Jadi, saya perlu sampaikan kepada publik tidak usah percaya info hoaks,” ujarnya.

Heluka berharap, setiap titik pengungsian yang ada dalam kta Deka harus menghargai tim yang dipercayakan dan tidak ambil alih sendiri tanpa koordinasi dengan koordinator pengungsi.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

“Tanggal 15 itu kami sudah tolak bama karena sudah kesepakatan semua tokoh masyarakat. Bantuan bama yang bisa terima adalah dari gereja, LSM, pemerintah dan lain-lain. Bukan dari aparat keamanan. Kalau tanggal 15 itu kami terima itu bertentangan dengan budaya kami. Kejadian di lokasi jelas TNI/Polri dan TPNPB. Akibatnya, masyarakat sipil menjadi korban. Jadi, kalau masyarakat terima bantuan dari aparat itu bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan itu melanggar adat kami. Makanya saat itu kami tolak,” tuturnya menjelaskan.

Lanjut Heluka, situasi pengungsi dari Lokasi Baru sudah disampaikan saat berjumpa dengan Kapolres di ruang kerjannya. Tetapi informasi di media sangat berbeda.

“Kami tetap sampaikan data sesuai data awal bahwa 169 KK. Satu yang meninggal, ini murni data dari lapangan tidak rekayasa. Kami kecewa dengan informasi yang tidak benar itu.”

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

Sementara itu, Elius Matuan, aktivis Gereja, mengabarkan, beberapa titik yang menjadi tempat pengungsian, Gereja selalu hadir untuk mendoakan dan memberikan kekuatan iman sesuai ajarannya.

“Kami dari Gereja selalu jalan mendoakan. Hingga terakhir kami kaget kalau Kapolres bilang pengungsi akibat kontak tembak hanya 39 kepala keluarga. Padahal kami juga sudah mendata ada lebih dari itu,” kata Matuan.

Elius juga sepakat, setiap titik pengungsian di dalam kota Dekai harus satu komando.

“Kami dari pemuda Gereja juga berharap agar beberapa tempat pengungsi ikuti arahan dari koordinator,” imbuhnya. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.