Usai mengikuti sidang pendapat ahli hukum lingkungan hidup di PTUN Jayapura, provinsi Papua, Kamis (5/10/2023). (Supplied for SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dr. Totok Dwi Diantoro, salah satu ahli hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan, kebijakan mengatasi krisis iklim seharusnya jadi instrumen penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Hal ini disampaikan pada sidang gugatan dari pejuang lingkungan hidup suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro terhadap izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua, Kamis (5/10/2023) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, provinsi Papua.

Sejak gugatan dilakukan hingga sekarang sudah tujuh bulan setelah Hendrikus ‘Franky’ Woro melayangkan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke PTUN Jayapura, kini memasuki fase mendengarkan pendapat ahli.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

Gugatan dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan DPMPTSP provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Hendrikus merupakan pemimpin marga Woro bagian dari suku Awyu, sebagai pemilik wilayah adat tidak mendapatkan informasi tentang rencana aktivitas perusahaan. Juga tidak dilibatkan saat penyusunan Amdal.

ads

Hutan dan tanah adat merupakan lebensraum atau ruang hidup bagi masyarakat adat. Oleh karenanya, partisipasi publik jadi penting untuk dipastikan dalam setiap proyek pembangunan. Sebelum menerbitkan keputusan, pejabat Tata Usaha Negara (TUN) harus menerapkan asas kehati-hatian dan partisipasi bermakna. Partisipasi tak hanya didengar, tetapi hingga dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Diantoro menjelaskan, Amdal merupakan kajian, studi ilmiah yang dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan. Amdal adalah bagian dari prosedur dalam perizinan. Sebagai dokumen ilmiah, maka diperlukan kejujuran dan objektivitas dalam proses penyusunan Amdal. Dapat terjadi peluang Amdal bermasalah jika dilakukan dengan manipulasi data, maka konsekuensinya legalitas Amdal tidak sah.

“Dalam prinsip kehati-hatian, pejabat TUN wajib dengan cermat dan bijaksana terhadap proses dan kajian Amdal yang telah dibuat karena dalam proses Amdal itu masih ada kemungkinan keliru,” ujarnya.

Ahli juga menjelaskan FPIC atau persetujuan awal tanpa paksaan merupakan hak asasi masyarakat adat yang berkaitan dengan masyarakat adat, sebelum izin diberikan, maka pemberian informasi hingga persetujuan harus didapatkan terlebih dahulu.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

“Jika hal ini tidak dilakukan, maka terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat adat. Termasuk memperhatikan kebijakan internasional yang telah diadopsi Indonesia dalam mengatasi krisis iklim. Pemerintah harusnya memasukan instrumen ini dalam Amdal,” ujar Diantoro.

Tigor Hutapea dari Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, menyatakan, keterangan ahli hari ini sesuai dengan argumentasi yang diajukan penggugat dalam gugatan. Oleh karenanya, majelis hakim harus terbuka memberikan putusan nantinya.

“Majelis hakim harus terbuka dan memberikan putusan bagi penggugat,” harapnya. []

Artikel sebelumnyaSeleksi KPU Tolikara dan Yahukimo Dibuka, Ini Syaratnya
Artikel berikutnyaPj Bupati dan Pj Walikota Lantik Komisaris PT Air Minum Robongholo Nanwani Jayapura