ArtikelTemuan Komnas HAM RI di Wamena Membuka Mata Semua Pihak

Temuan Komnas HAM RI di Wamena Membuka Mata Semua Pihak

Oleh: Benyamin Lagowan
*) Aktivis dan salah satu pemilik tanah adat Wouma dari klan Lagowan Matuan dan Lagowan Ikinia

Terima kasih kepada Allah, moyang leluhur orang Balim, khususnya leluhur kami yang darah, roh dan tulang belulang mereka masih berserahkan di sepanjang Pekumo, Isuagech, Minuwa, Siekelek, Poroyek, Molama hingga Etageima, serta semua pihak yang telah menyatakan keprihatinannya melalui cara dan gaya masing-masing.

Terutama atas kedatangan Komnas HAM RI ke Wamena dalam rangka mendalami polemik penolakan penempatan (bukan pembangunan) pusat pemerintahan provinsi Papua Pegunungan di tanah adat kami orang Wouma dan Welesi.

Akhirnya, hasil rilis resmi, meski baru awal bukan secara utuh dan komprehensif sebagai laporan, tetapi paling tidak telah menunjukkan dan mengungkap beberapa hal fakta berikut:

1. Secara de facto ada aktivitas perkebunan, pertanian dan perekonomian di atas lahan milik masyarakat adat Wouma-Welesi yang secara ambisius, mafia, paksa, sepihak, militeristik, represif, arogan, intimidatif hendak dicaplok oleh para oknum pejabat negara lokal berkedok demi pembangunan seperti kultur mereka memprivatisasi aset-aset publik di Wamena selama ini. Komnas HAM telah melihat, menemukan dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa ternyata di lahan tersebbut ada 70% aktivitas perkebunan warga yang menjadi harapan dan ruang hidup kehidupan mereka. Artinya, Komnas HAM mendapatkan fakta yang sesuai dengan laporan kajian yang sudah kami serahkan. Ada kesesuaian!.

2. Pihak Komnas HAM RI menemukan ada potensi konflik laten horizontal yang bisa kembali terjadi di antar masyarakat Wouma dan Welesi atau diinternal mereka. Bahkan melibatkan teman-teman suku kerabat seperti Lanny, Yali, Nduga, Walak, dan lainnya.

Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

3. Komnas HAM RI dan Perwakilan Papua telah menemukan bahwa laporan kami yang menyatakan bahwa ada permainan oknum pejabat negara tertentu dalam kasus ini menjadi jelas. Karena mereka telah melihat langsung bukti-bukti dan laporan lapangan dari masyarakat.

4. Komnas HAM juga menyaksikan sendiri struktur adat kebudayaan masyarakat Wamena. Dalam kasus ini di Wouma dari 8 klan Wita Waya kebanyakan menolak. Hanya segelintir klen yang menerima. Dengan demikian, upaya akal-akalan busuk perampok agraria yang berupaya memunculkan kepala suku gadungan di kedua suku akhirnya terbongkar. Skenario habis akal dungu.

5. Komnas HAM juga publik akhirnya melihat dan sadar bahwa tim yang menolak penempatan lahan masing-masing di bawah pimpinan Bonny Lanny, Manu Ikinia, Benyamin Lagowan, Meki Wetipo dan kawan-kawan bukan antek JRB. Karena terbukti dari ketidakhadiran pemerintah kabupaten Jayawijaya saat dipanggil Komnas HAM. Sama dengan upaya menghindar Pemprov Papua Pegunungan dan pihak aparat keamanan. Padahal selama ini kelompok itu selalu berkoar-koar di media seolah-olah sesuai prosedur dan regulasi. Ini semua akhirnya menampar wajah mereka sendiri karena selama ini menuduh upaya penolakan kami diboncengi pihak tertentu. Padahal justru upaya penempatan kantor pusat pemerintahan tersebut hanya jadi modus mereka untuk pencaplokan tanah adat strategis tersebut untuk kepentingan investasi pribadi para oknum yang terlibat.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

6. Dari kunjungan Komnas HAM ini menunjukkan bahwa Pemprov Papua Pegunungan dan pihak Wamendagri, Kodim 1702 Jayawijaya, dan lain-lain, sebagai pihak yang tidak memiliki nurani. Padahal yang dihadapi adalah masyarakat sendiri. Komnas HAM yang tidak ada relasi sosial, budaya, genealogis dan etnis saja punya hati bisa masuk hingga ke Silimo di kelompok kontra di Wouma dan Yagara dan mendapat sambutan ratapan dan makan hidangan khas bakar batu dari hasil olah tanah kebun di lokasi lahan yang mau diserahkan. Mereka menerima dan diterima oleh roh, moyang, alam dengan sambutan riang gembira. Sementara gerombolan pencuri dan penjahat agraria berupaya giring opini publik sana sini di media sosial, ancam mengancam, dan bahkan memata-matai pergerakan rombongan Komnas HAM. Miris. Memang, belum menjadi pejabat publik saja sudah begini, bagaimana kalau jadi kepala daerah dan wakil rakyat ya?.

7. Kunjungan Komnas HAM pusat dan Papua telah mematahkan stigma, bahwa kami yang menolak bukan orang asli, kami segelintir, kami tidak punya dukungan massa akar rumput dan lain-lain. Kami ini dan itu, dan lain-lain.

8. Kunjungan Komnas HAM juga telah menyaksikan bahwa ada opsi wilayah lain yang lebih strategis untuk penempatan lokasi pembangunan pusat pemerintahan kantor provinsi Papua Pegunungan. Sebab prinsipnya kami tidak pernah menolak pembangunan, yang kami tolak adalah lokasinya jangan di atas lahan kami. Silahkan bangun di tempat lain. Komnas HAM telah melihat ada lahan lain yang lebih strategis karena tidak ada aktivitas apapun dan pemukiman warga.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Masih banyak hal, fakta, data, bukti yang telah Komnas HAM RI dan Papua sudah pegang, kantongi dan bawa. Tinggal kita, masyarakat Wouma, Welesi dan seluruh elemen masyarakat adat Lapago akan tunggu tindaklanjut atas temuan yang akan menjadi rekomendasi ke para pihak terkait.

Sembari menyampaikan terima kasih pada semua pihak, kami masih membutuhkan dukungan, doa dan bantuan semua untuk terus mengawal masalah ini hingga tuntas. Tanah Wouma Welesi itu adalah perut kita semua. Rumah kita semua. Sejarah dan bukti sudah sangat jelas dan nyata.

Bagi para penjahat agraria yang berwatak mafia tanah, investor, oligarki, elit birokrat penguasa, pengusaha serakah yang mau merampas tanah adat komunal untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi, privilig pribadi, saku pribadi dan dalam upaya memuluskan niat menjadi pejabat dan lain-lain, mari kita tunduk dan refleksi sebentar agar semua kerusakan otak saraf karena jadi hipersombong itu bisa sedikit menurun.

Mau kaya sampai bagaimanapun anda akan kembali ke tanah mama! Jangan bikin diri seperti manusia yang selalu melayang-layang tanpa injak kaki di bumi. (*)

Jayapura, 6 Oktober 2023

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.