ArtikelMenyoal Manfaat Kunjungan Komnas HAM ke Papua

Menyoal Manfaat Kunjungan Komnas HAM ke Papua

Sebuah Neraca Negatif

Oleh: Saul Paulo Wanimbo
*) Direktur Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika

Sesuai judulnya, catatan ini hendak menakar manfaat kunjungan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke Tanah Papua. Walau demikian, bukanlah tujuan penulis untuk menilainya secara positif. Perspektif negatif merupakan alternatif utama yang penulis pilih. Dan karenanya, tentu saja catatan ini sangat subyektif dan jauh dari sempurna, maka terbuka untuk didiskusikan agar pemahaman kolektif kita tidak tersandera oleh “politik wisata” yang gemar dipertontonkan oleh penguasa tanpa memperhitungkan kondisi riil masyarakat dan Orang Asli Papua di atas Tanah Papua ini.

Minggu terakhir dari bulan Oktober (22-28) 2023 ini, beberapa komisioner Komnas HAM sedang berada di Tanah Papua. Kehadiran mereka bertujuan untuk melakukan audiensi dan konsultasi publik dengan sejumlah kelompok masyarakat Papua, memantau keadaan pengungsi internal dan mencermati sengketa lokasi pembangunan kantor gubernur provinsi Papua Pegunungan. Sebaliknya, mereka mengharapkan agar masyarakat dapat menyampaikan pandangan terhadap Otsus dan DOB, permasalahan HAM, harapan terhadap pemerintah; khususnya kepada Komnas HAM untuk perlindungan dan penegakan HAM di Papua. Tentu saja kunjungan ini dan kunjungan semisal lainnya mesti diberi nilai plus dan disambut secara positif. Namun hingga tataran ini, masih ada pertanyaan yang harus dijawab yaitu: haruskah manfaatnya bagi Orang Asli Papua (OAP) juga diberi nilai positif?

Ada tiga contoh kasus yang hendak kami kemukakan sebagai bahan untuk menimbang manfaat kunjungan Komnas HAM di Tanah Papua.

1. Jeda Kemanusiaan Bersama

Belum ada setahun, yakni pada tanggal 11 November 2022, Tuan Taufan Damanik (ketua Komnas HAM periode 2017-2022) atas nama Negara Republik Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tentang Jeda Kemanusiaan Bersama (JKB) di Genewa, Swiss. Pihak lain yang juga menandatangani MoU tersebut adalah Dewan Gereja Papua (DGP), Tuan Timotius Murib (ketua MRP) dan perwakilan dari Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Hadir pula untuk menyaksikan, perwakilan koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, perwakilan Pengurus Besar Nadlatul Ulama dan perwakilan Badan Intelijen Keamanan Polri. Belum genap tiga bulan, yakni pada tanggal 9 Februari 2023, Komisioner Komnas HAM secara sepihak memutuskan untuk tidak melanjutkan kesepakatan dalam MoU tersebut. Komnas HAM mengundurkan diri. Alasannya, MoU tersebut lebih tepat ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Juga, proses inisiatif MoU tidak selaras dengan prosedur dan mekanisme pengambilan keputusan di Komnas HAM.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Penandatanganan MoU JKB seharusnya dihayati sebagai sebuah usaha bersama yang bermartabat, sebab isinya tentu merupakan kehendak bersama untuk menciptakan Papua sebagai tanah yang damai, tanah yang dihuni oleh semua orang sebagai manusia dan secara manusiawi. Dengan MoU itu diharapkan agar hak asasi masyarakat dan Orang Asli Papua untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan perbudakan, bebas memperoleh informasi, berpartisipasi dalam berpolitik, kepribadian hukum (legal personality) serta memperoleh akses keadilan dapat dipicu pertumbuhan dan pemenuhannya. MoU itu juga akan berdampak langsung pada penurunan tindak kekerasan terhadap kemanusiaan, seperti intimidasi, penangkapan semena-mena, pembunuhan serta pembunuhan kilat, dan lain-lain tindakan pelanggaran HAM yang biasa terjadi di luar prosedur hukum.

2. Pelanggaran HAM Berat

Semua orang yang hidup dan berada di Pulau Kasuari ini, tentu sadar dan tahu akan kondisi HAM yang dialami oleh masyarakat dan Orang Asli Papua tatkala berhadapan dengan kekuatan negara. Lantaran adanya stigma politik dan perbedaan ideologi, kepada kita senantiasa disajikan berita dan kenyataan akan kekerasan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Sebagai contoh, kita dapat menyusun daftar pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Tanah Papua. Sebut saja Biak Berdarah (1998), Tragedi Wasior (2001), Wamena Berdarah (2003), Kasus Paniai (2014) serta pembantaian Bilogai (2021) dan mutilasi Timika (2022). Selain yang disebutkan ini, masih ada banyak catatan tentang pelanggaran HAM maupun kekerasan terhadap kemanusiaan.

Catatan tentang sejumlah pelanggaran HAM Berat ini dan atau pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya sudah ada di meja komisioner Komnas HAM RI. Laporannya dibuat oleh lembaga keagamaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di Papua. Selain dalam bentuk laporan, dilakukan juga demonstrasi damai oleh banyak kelompok masyarakat sipil di seantero nusantara, guna mendorong Komnas HAM agar mengungkap identitas pelaku dan motif kejahatan. Para demonstran selalu mendesak Komnas HAM agar menggunakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk mengungkap dan memejahijaukan para pelaku. Namun hingga saat ini, hampir semua kasus tersebut tidak selesai tertangani. Kecuali penuntasan Kasus Paniai yang penuh drama dan kebohongan, pelanggaran HAM Berat lainnya dipetieskan. Komnas HAM dan undang-undang kehilangan taji di hadapan para jenderal.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

3. Kesehatan dan Proses Hukum Gubernur Non Aktif Papua

Pada 5 September 2022, Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi untuk dugaan penerimaan gratifikasi sebesar Rp. 1 miliar. Gubernur Enembe baru ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 10 Januari 2023. Beliau ditangkap dan dipaksa terbang ke Jakarta untuk menjalani proses hukum pada saat kondisi tubuhnya lagi sakit.

Terlepas dari kasus hukum yang menjeratnya, Gubernur Papua nonaktif tersebut beberapa kali berada dalam kondisi kritis. Sebagai contoh, tanggal 26 Juni-9 Juli 2023 dan 16-31 Juli 2023, beliau harus dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta atas izin majelis hakim. Bahkan sepanjang proses persidangan, dia selalu hadir untuk mendengarkan dakwaan yang dialamatkan kepadanya, walaupun kondisi kesehatannya semakin parah.

Hal ini berbanding terbalik dengan kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat di republik ini. Mereka dengan mudahnya memperoleh akses keadilan untuk ditunda proses hukumnya dengan alasan kesehatan. Bahkan kejadian seperti ini bisa terjadi beberapa kali untuk orang yang sama. Sebut saja mantan ketua DPR RI, Setya Novanto sebagai contohnya. Kendati warga sipil mempertanyakan kebenarannya, alasan kesehatan selalu dapat dimaklumi oleh penegak hukum. Pengabaian terhadap kesehatan pesakitan dan pemaksaan menjalankan proses hukum selalu menjadi pelanggaran serius terhadap HAM.

Meneraca Kehadiran Komnas HAM

Bercermin kepada ketiga contoh kasus sebagaimana sudah disebutkan, penulis hendak mengajak Anda untuk meneropong manfaat kehadiran Komnas HAM di Tanah Papua. Namun untuk memulainya, catatan kecil ini akan diawali dengan sedikit perkenalan tentang Komnas HAM.

Komnas HAM adalah sebuah lembaga negara mandiri yang memiliki mandat seperti tercantum dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, UU nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan ras dan diskriminasi serta UU nomor 7 tahun 2012 tentang konflik sosial.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Komnas HAM mempunyai kedudukan yang setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi untuk melakukan pengkajian, penelitian penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia.

Dalam konteks pemantauan, sebagaimana diatur dalam pasal 89 UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM mempunyai delapan fungsi. Salah satu diantaranya adalah melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan menyusun laporan dari hasil pengamatan tersebut. Itu perkenalan singkat tentang Komnas HAM dan fungsinya.

Sejauh ini, pertanyaan yang belum terjawab masih tetap sama: Apa manfaat kunjungan Komnas HAM kali ini untuk masyarakat dan Orang Asli Papua? Dari perspektif penulis, minimal ada tiga hal yang bisa diandaikan sebagai jawabannya.

1. Memenuhi perintah UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya
dalam menjalankan fungsi pemantauan demi pembuatan sebuah laporan. Pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan pelaksanaan UU nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua tidaklah mendesak untuk dijadikan sebagai obyek pemantauan.

2. Pemantauan kondisi HAM di Tanah Papua yang dijalankan oleh Komnas HAM kali ini, mesti dikatakan sebagai bentuk nyata dari pengabaian dan ketidakpercayaan negara terhadap lembaga keagamaan dan LSM yang bekerja untuk menegakkan HAM di Tanah Papua. “Timbunan” laporan dari lembaga-lembaga sipil ini, hampir pasti sudah dipetieskan dan atau disampahkan.

3. Berkaca pada tiga contoh kasus yang sudah penulis sebutkan di atas serta keengganan Komnas HAM untuk “melacak” dokumen-dokumen laporan pelanggaran HAM di Tanah Papua, mesti dikatakan bahwa Komnas HAM tidak sedang berdiri bersama masyarakat dan Orang Asli Papua. Komisi ini tidak sedang bersama kita untuk melawan tirani kekuasaan yang hendak merampok hidup dan segala yang kita punyai.

Demikian catatan singkat kami. Semoga kita semua terbantu untuk tidak terpesona dan melek terhadap politik wisata dalam balutan busana Hak Asasi Manusia. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

0
"Sampai saat ini belum ada ketegasan terkait pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sana. Tidak ada ketegasan dari pemerintah daerah Yahukimo. Kami minta untuk segera tangani.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.