PolhukamHukumMasyarakat Adat Awyu akan Banding Putusan PTUN Jayapura

Masyarakat Adat Awyu akan Banding Putusan PTUN Jayapura

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat suku Awyu dari kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, sudah sepantasnya melakukan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada 2 November 2023 yang jelas-jelas mengabaikan fakta persidangan dan prinsip hukum perlindungan lingkungan.

Penegasan itu disampaikan berbagai komunitas pendukung gugatan masyarakat adat Awyu saat mendatangi PTUN Jayapura, Kamis (9/11/2023).

Saat pembacaan putusan, majelis hakim PTUN Jayapura menyatakan menolak gugatan pemimpin Woro dari suku Awyu, Hendrikus Woro terkait pencabutan izin perkebunan kelapa sawit oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (PMPTSP) Papua kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) di hutan adat mereka seluas 39.000 hektare.

“Dari bulan Maret lalu sudah ajukan gugatan kepada Dinas Penanaman Modal terkait sengketa tanah adat di Boven Digoel. Tetapi tanggal 2 November kemarin, putusannya tidak adil yang diambil oleh majelis hakim PTUN dalam sidang perkara ini. Kami masyarakat Awyu besar yang ada di Boven Digoel sangat kecewa dengan putusan hakim,” kata Anastasya Manong, juru bicara Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Hutan dan Hak Masyarakat Adat (AMPERAMADA) Papua, kepada suarapapua.com usai aksi damai di halaman kantor PTUN Jayapura, Waena, Kamis (9/11/2023).

Kata Manong, dengan keluarnya putusan tersebut majelis hakim PTUN dinilai tidak mempunyai pengetahuan tentang lingkungan dan masyarakat adat di kabupaten Boven Digoel.

“Meskipun satu dari tiga majelis hakim mempunyai sertifikat hakim lingkungan, tetapi tidak teliti terhada banyak kejanggalan yang terungkap dalam fakta persidangan dan terakhir pengambilan keputusannya cacat hukum. Pertimbangan putusannya tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Padahal marga Woro telah membawa 100 bukti dokumen dan enam saksi fakta dan tiga saksi ahli yang menerangkan bahwa hutan itu penting dan hutan menyimpan sejuta sumber kehidupan bagi kami masyarakat suku Awyu,” tuturnya.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

Ditegaskan, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) kabupaten Boven Digoel turut digugat karena tidak memiliki hak untuk memberikan izin kepada perusahaan tanpa melibatkan masyarakat adat suku Awyu.

“LMA tidak punya hak memberikan tanah kepada orang lain. Di Boven Dogoel, yang punya kewenangan dalam memberikan tanah adat adalah pimpinan marga, contoh kakak Frengky Woro yang berhak melepaskan tanah,” ujar Manong.

Oleh karena putusannya tak adil, masyarakat adat Awyu meminta Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung segera memeriksa hakim yang menangani sidang perkara dari kasus marga Woro di PTUN Jayapura.

“Kami juga sampaikan kepada Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua selaku kuasa hukum dari marga Woro agar segera naik banding ke PTTUN Makassar,” pintanya.

Proses sidang telah dijalani selama 7 bulan lebih. Tanggal 20 Oktober 2023, pihak penggugat dan tergugat telah mengajukan kesimpulan akhir.

Saat pembacaan putusan, majelis hakim menyatakan menolak gugatan masyarakat adat Awyu atas izin kelayakan lingkungan PT IAL yang diterbitkan Dinas PMPTSP Papua.

Baca Juga:  PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap Mengikuti UKW

Dengan ditolaknya gugatan tersebut, tentu akan berakibat hilangnya hak atas tanah dan hutan adat dalam wilayah marga Woro yang seharusnya diwariskan dari generasi ke generasi yang akhirnya akan menyengsarakan komunitas marga Woro.

“Izin dari pemerintah jelas-jelas mengabaikan prinsip hukum lingkungan dan hak masyarakat adat Awyu. Ini akan memuluskan hilangnya tanah dan hutan adat di wilayah adat marga Woro dan memperburuk kondisi bumi yang sedang berada di tengah ancaman krisis iklim,” ujar Oktovianus Swo saat berorasi.

Seiring berjalannya waktu terjadi pembabatan hutan seluas 39.000 hektare, kata Swo, 23 juta ton karbon dioksida akan lepas.

“Dalam konteks litigasi iklim, masyarakat adat Awyu ingin menyelamatkan hutan karena berkontribusi pada keadilan iklim dunia. Menjaga hutan adat akan membantu menjaga iklim dunia tetap stabil dan tentu kita akan menjauh dari bencana hidrometeorologi basah dan kering,” tandasnya.

Kendati telah diingatkan, majelis hakim terbukti tak memegang teguh prinsip “in dubio pro natura” dalam mengambil putusan perkara demi kelanjutan hutan Papua sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Menyikapi putusan majelis hakim tersebut, AMPERAMADA Papua bersama Sahabat Kowaki, Volunteer Greenpeace, Ikatan Mahasiswa Pemuda Papua Selatan (IMPPAS), HMI Cabang Jayapura, PMKRI Cabang Jayapura, Unit Kegiatan Mahasiswa Demokrasi, HAM dan Lingkungan (UKM Dehaling) Uncen, dan Komunitas Mahasiswa Peduli Alam Papua (KOMPAP) menyampaikan tiga tuntutan saat aksi damai di halaman PTUN Jayapura.

Baca Juga:  Koalisi: Selidiki Penyiksaan Terhadap OAP dan Seret Pelakunya ke Pengadilan

Adapun tuntutannya:

  1. Mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk segera memeriksa Majelis Hakim PTUN yang menangai perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR tertanggal 13 Maret 2023.
  2. Mendesak Kuasa Hukum Selamatkan Hutan Papua untuk melakukan memori banding ke PTTUN Makassar.
  3. Mendesak DPR RI dan Presiden RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Saat menerima aspirasi mahasiswa untuk mendukung masyarakat Awyu melakukan banding, Jusak Sindar, ketua PTUN Jayapura, menilai wajar dengan pernyataan sikap yang diserahkan, hanya saja tidak bisa lagi diintervensi karena putusan sudah keluar.

“Kami menghargai saudara-saudari sekalian, sehingga kami menerima pernyataan sikap ini terkait perkara yang sudah diputuskan di pengadilan ini. Perkaranya sudah tahap putusan, sehingga saya tidak punya kewenangan untuk intervensi putusan ini,” kata Jusak.

Jika tak menerima putusan tersebut, Jusak menyarankan ikuti mekanisme untuk menempuh upaya hukum selanjutnya.

“Silakan tempuh prosedur legal. Itu bisa banding. Kan dari sini masih ada lagi PTTUN.”

Jusak menambahkan, “Untuk banding, ada PTTUN. Kemarin-kemarin di Makassar, tetapi sekarang sudah dipindahkan ke Manado. Jadi, bisa melakukan upaya banding di Manado.”

Selain bergantian berorasi, dalam aksi damai di halaman PTUN Jayapura, para mahasiswa juga meletakkan sepuluh karangan bunga pertanda matinya keadilan hukum bagi masyarakat adat Awyu. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.