Nasional & DuniaTim Advokasi Untuk Demokrasi Kecam Tindakan Represif Aparat Dalam Aksi AMuKK

Tim Advokasi Untuk Demokrasi Kecam Tindakan Represif Aparat Dalam Aksi AMuKK

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tim Advokasi untuk Demokrasi mengecam tindakan aparat kepolisian secara sewenang-wenang membubarkan paksa aksi damai AMuKK ke Kantor DPR RI dengan cara represif pada tanggal 30 September 2019.

Termasuk ketika melakukan penyisiran secara brutal di ruang-ruang publik dan penembakan gas airmata secara terus menerus sehingga menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Baca juga: Politik Wiranto Adu Domba Antara Jakarta dan Papua

Tim advokasi juga melalui release yang dikirim ke redaksi suarapapua.com pada 1 Oktober 2019 mengecam pemukulan terhadap jurnalis yang bertugas, dimana tercatat setidaknya dua jurnalis mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Kronologis Tim Advokasi untuk Demokrasi

Pada 30 September 2019, Tim Advokasi untuk Demokrasi menyusun kronologi kejadian:

  1. Bahwa aksi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan dan Demokrasi (AMuKK) berjalan damai sejak awal kedatangan massa aksi mendekati gedung DPR sekitar pukul 11:00 WIB.
  2. Pukul 15.40, kepolisian mulai melemparkan gas airmata ke arah massa aksi tanpa alasan yang jelas. Beberapa orator aksi dari berbagai mokom memberi peringatan agar kepolisian tidak memprovokasi massa, akhirnya polisi menghentikan lemparan gas airmata.
  3. Sekitar pukul 16:28 WIB, sejumlah elemen mahasiswa berangsur-angsur mundur.
  4. Sekitar pukul 16:30 – 16.43 WIB, lontaran gas air mata kembali dilemparkan oleh kepolisian di area depan Manggala Wana Bakti/Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) dengan alasan adanya provokasi. Tercatat setidaknya 10 kali lemparan gas air mata dilontarkan oleh kepolisian di area depan Manggala Wana Bakti/KLKH.
  5. Sekitar pukul 17:45 WIB, AMuKK memberitahukan kondisi terkini dari rapat paripurna di DPR kepada masa aksi, kemudian hendak menutup aksi dengan memberikan pernyataan pers. Konferensi pers yang dilakukan oleh perwakilan berbagai organisasi yang terlibat dalam aksi sempat terhenti sejenak untuk mendengar adzan maghrib. Namun pukul 17:55 WIB kepolisian kembali lagi menembakkan gas air mata ke arah massa AMuKK di depan gedung DPR, dan mendorong mundur massa aksi.
  6. Sejak pukul 18:00 WIB, kepolisian terus mendesak massa mundur dengan berkali-kali menembakkan gas air mata.
  7. Kepolisian terus menekan mundur massa aksi sampai ke taman segitiga Semanggi/Atmajaya yang sesungguhnya berfungsi sebagai posko medis bagi peserta aksi yang sakit/cidera.
  8. Sekitar pukul 18.45 WIB, massa aksi yang sudah mundur beserta tim medis diburu oleh kepolisian, dilempari gas air mata, ditangkap bahkan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
  9. Antara pukul 20:21 s/d 21:10 WIB kepolisian beberapa kali melontarkan gas air mata di sekitar lingkungan kampus Atmajaya yang merupakan area evakuasi medis. Akibatnya sejumlah massa aksi yang terluka dan mengalami sesak nafas terjebak di dalam kampus Atmajaya.
Baca Juga:  PBB Memperingatkan Dunia yang Sedang Melupakan Konflik Meningkat di RDK dan Rwanda

Baca juga: Kronologis Penangkapan Dua Mahasiswa Papua di Jakarta

Dengan demikian, Tim Advokasi untuk Demokrasi mendesak kepolisian agar;

  1. Menghentikan segala tindakan kekerasan dalam penanganan aksi massa.
  2. Menindak tegas oknum kepolisian yang melakukan kekerasan, serta oknum kepolisian yang menyebarkan hoax sehingga menimbulkan kepanikan ditengah masyarakat serta ketidakpercayaan terhadap tim medis yang melakukan tugasnya.
Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Umat Keuskupan Timika Diajak Rayakan 130 Tahun Misi Katolik di Tanah...

0
"Oleh karena itu, melalui surat keputusan ini, saya, Administrator Diosesan Keuskupan Timika mengajak semua umat Katolik di Keuskupan Timika untuk mengadakan perayaan syukur pada tanggal 22 Mei yang akan datang," kata Pastor Kuayo.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.