JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Deforestasi saat wabah Covid-19 di melanda Papua. Yayasan Pusaka memperkirakan 1.488 hektar hilang dalam kurun waktu Januari – Mei 2020. Deforestasi terjadi karena aktifitas penggundulan hutan untuk bisnis perkebunan kelapa sawit yang semakin meluas di Papua.
Berdasarkan pantauan Pusaka menggunakan peta citra satelit dan laporan lapangan, ditemukan luas kawasan hutan yang hilang sepanjang periode Januari – Mei 2020, diperkirakan mencapai 1.488 hektar atau lebih dari 2084 kali luas lapangan bola. Angka luasan deforestasi ini diperkirakan akan terus bertambah.
Angka deforestasi terluas berada pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Medcopapua Hijau Selaras di Kabupaten Manokwari, seluas 372 hektar; PT. Internusa Jaya Sejahtera di Distrik Ulilin dan Eligobel, Kabupaten Merauke, seluas 372 hektar; PT. Megakarya Jaya Raya di Distrik Jair, Boven Digoel seluas 222 hektar; dan PT. Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni, seluas 110 hektar.
Beberapa perusahaan tersebut sedang menjadi sorotan publik karena masalah perolehan izin dengan cara melawan hukum, pengalihan hak atas tanah dan pemberian kompensasi yang tidak adil, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.
“Kami belum menemukan dokumen dan komitmen perusahaan-perusahaan tersebut tentang pengelolaan perkebunan secara berkelanjutan sebagaimana diatur dalam berbagai kebijakan internasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta standar-standar sukarela, yakni: menghormati Hak Asasi Manusia, melindungi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan mempunyai persediaan karbon tinggi, dan produksi berkelanjutan. Perusahaan-perusahaan ini berpotensi melanggar HAM dan mengancam kelestarian lingkungan hidup,” tulis Pusaka.
Pemusnahan hutan ini terjadi ditengah masa pandemi Covid19 dan menyerang banyak orang, hingga ke pemukiman penduduk di dalam kawasan hutan. Di Boven Digoel, ditemukan pasien terinfeksi Covid19 adalah penambang tanpa izin yang beroperasi di pedalaman Kawe.
Diduga penetrasi penyakit virus Corona ini dihantarkan oleh pekerja yang baru datang dari luar untuk meraup laba dari bisnis gelap dan beresiko. Hal ini akan beresiko mengancam keselamatan Orang Asli Papua yang berdiam pada kampung-kampung disekitar areal konsesi dan di kawasan hutan yang jauh dari akses kesehatan memadai.
Media theguardian.com (Juni 2020) mengutip laporan WWF yang mengatakan 60-70% penyakit baru yang muncul pada manusia sejak 1990 berasal dari satwa liar. Selama periode yang sama, 178 juta hektar hutan telah ditebang, setara dengan lebih dari tujuh kali luas wilayah Inggris.
Para ahli memberikan sinyal peringatan bahaya Covid19 dan sumber penyebab struktural penyakit virus ini berasal dari sistem agroindustri yang berlangsung dalam skala luas untuk akumulasi modal. Investasi ini mendorong deforestasi dan menyebabkan munculnya penyakit. (Wallace, 2020).
Hutan yang memiliki keragaman fungsi dibabat sedemikian rupa sehingga patogen-patogen yang tersimpan dalam hutan menular dan menyebar keseluruh dunia. Kegiatan ekonomi perdagangan dan ekspansi kapital dalam berbagai bentuk menjadi media transmisi penyakit ini, dari manusia ke manusia secara cepat dan meluas.
Dalam kasus ‘Penambangan Rakyat’ tanpa izin, Gubernur Papua telah menerbitkan surat kepada bupati agar menghentikan aktifitas penambangan tersebut selama masa pandemi Covid19 dan melakukan pemeriksaan rapid test kepada penambang.
Namun yang sangat diperlukan adalah bagaimana negara dapat menyelamatkan rakyat dan lingkungan dengan melakukan perubahan dan koreksi secara sistematik terhadap sistem agroindustri agar terhindar dari ancaman malapetaka sosial dan lingkungan.
REDAKSI