ArtikelCatatan Aktivis PapuaGramci: Hegemoni dan Relevansi Marxisme di Papua

Gramci: Hegemoni dan Relevansi Marxisme di Papua

Oleh: Yason Ngelia)*

Antonio Gramci adalah seorang politikus asal Turin Italia yang ditangkap dan dihukum 20 tahun penjara oleh  kekuasaan fasis Benito Mussolini tahun 1926. Tetapi kebiasaannya menulis di media massa sebelum tertangkap membantunya untuk menghabiskan hari-harinya di berbagai penjara Italia. Sampai pada akhirnya dia meninggal dalam bilik penjara Formia pada 27 April 1937.

Beruntung semua naskah tulisan Gramci diseludupkan oleh sahabatnya Tatiana hingga diterjehmahkan dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Di Indonesia sendiri pemikiran Gramci tidak banyak diketahui walaupun terjemahan Inggris telah ada sejak 1970. Menurut Mansour Fakih baru setelah reformasi pemikiran Gramci merambat masuk kedalam telinga para akademisi, ilmuan sosial, bahkan mahasiswa di berbagai universitas di Indonesia. Itu wajar sebab ketidakdemokratisan Soeharto selama 32 tahun menjadi presiden.

Dari karya seorang narapidana Italia inilah, ilmu sosial menjadi semakin kaya, gerakan-gerakan sosial seperti mendapat “suntikan” gagasan, bahkan pemikiran marxisme seperti mendapat pembaharuan dari gagasan gramci tersebut. Banyak pemikiran gramsi yang menyempurnakan gagasan dari pendahulnya yaitu Karl Marx, juga pendiri Uni Soviet Vladimir Lenin. Di dalam buku Gagasan-gagasan Antonio Gramci, Roger Simon mengatakan, adalah sebuah penyempurnaan dari gagasan-gagasan besar seorang Karl Marx. Sebab Antonio Gramci dalam penulisanya tidak melupakan argumentasi Karl Marx dalam setiap perubahan sosial saat itu.

Gagasan sentral Gramci dalam Prison Notebook, lahir dari sebuah pengamatan dia terhadap kondisi shikologys rakyat di Italia maupun perubahan terhadap gerakan-gerakan rakyat ketika itu. Dimana mereka rela menerima penderiataan, bahkan mendukung keberadaaan rezim Mussolini. Yang dibaratkan Gramci sebagai penyerahan ideologi dari golongan tertindas kepada  golongan yang menindas. Roger Simon mengatakan hegemoni yang dimaksudkan Gramci berbedah dengan arti harafiah dalam sebutan Yunani yaitu penguasaan suatu bangsa terhadap bangsa lain, tetapi yang dimaksudkan Gramci dalam Prison Notebook adalah peguasaan antar bangsa, antar kota, dan desa.

Melengkapi pemikiran Lenin, dimana disebutkan hegemoni adalah stretegi revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan mayoritas. Gramci menambahkan dimensi baru dalam bagian ini dengan memperluas pengertian sehingga hegemoni juga mencangkup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang diperoleh (Roger Simon;21;2004).

Hegemoni Gramci tersebut diulas lengkap dan saling mempengaruhi, ada pembedahan Gramci terkait peran intelektual, peran kelas penguasa, peran  kelas-kelas tertindas, adanya upaya oleh kelas kapitalis terhadap kelas pekerja, strategi kaumborjuis untuk revolusi pasif atau kompromi kelas pekerja dan kapitalis, juga pemikirannya bahwa kebudayaan dapat menjadi senjata kapitalis, hingga kondisi gereja yang juga ikut memainkan peran sebagai alat penindasan. Yang secara tidak langsung saling berkesinambungan dengan keadaan dan realitas masyarakaat saat itu. Bahkan juga memiliki relevansi dengan bentuk dan keadaan banyak bangsa di belahan dunia lain. Sehingga tidak bisa dipungkiri semua negara dunia ketiga yang sedang berupaya mengejar pembangunan ekonomi, justru menjadi tergantung kepada negara-negara kapitalis dan imperialis yaitu Eropa dan Amerika.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Sehingga pisau analisis yang ditawarkan untuk melihat keadaan kompromi rakyat terhadap kolonialisme adalah hegemoni Gramci, dimana ada saling terkait dengan pemikiran marxisme dan berbagai variannya. Salah satu contoh yang pemikiran yang lahir setelah gagasan hegemoni Gramci adalah Franz Fanon dari Aljaiire yang banyak berbicara tentang ketidakpercayaan diri kaum pribumi kulit hitam dihadapan bangsa kulit putih karena praktek penjajahan yang lama dan ikut merubah pola pikir atau kesadaran bangsa kulit hitam secar tidak langsung (ditulis Franz Fanon dalam karyanya Black Skin White mask’s: Kolonialise, Rasialisme, dan Phisikologi Kulit Hitam). Keadaan yang sama pula dengan kompromi rakyat dengan kekuasaan Mussolini, dan perubahan pandangan revolusi menumbangkan kekuasaan melainkan menaikan derajat kehidupan mereka menjadi kelas borjuis berikutnya.

Sehingga untuk melihat perjuangan pembebasan rakyat tidak hanya melalui kacamata teori marxisme klasik. Seperti sebuah revolusi harus direbut dengan berdarah-darah, rakyat mengambil alih alat produksi, membangun negara proletariat, identik dengan partai tunggal (partai komunis), tetapi menyesuaikan pada setiap zaman dan praktek-praktek penindasan. Sehingga tidak dapat menyudutkan filsafat ilmiah Marxime (materialisme historis, materialisme dialitik, maupun ekonomi marxis). karena justru dengan kerangka dasar itu golongan tertindas bisa memposisikan diri dalam praktek perjuangannya. Sebagaimana penindasan juga mengalami perubahan dari kolonialisme menjadi neokolonialisme dengan praktek telah diidentifikasikan Marx dan Lenin yaitu kapitalisme dan imperialisme.

Marxisme di Papua

Dalam perkembangan marxisme tidak dipahami secara benar di Papua. Hal itu disebabkan dominasi negara Eropa yang telah terlebih dulu masuk ke Papua. Seperti Spanyol, Belanda, juga Jerman melalui penyebaran Injil. Sehingga walaupun dikenal sebagai metodelogi praksis untuk perjuangan melawan kolonialisme yang erat kaitanya dengan sejarah perebutan Papua untuk kepentingan SDA masa perang dingin (1947-1991). Para aktivis kemerdekaan generasi awal di Papua tidak mengenal gagasan marxisme sebagai ideologi perjuangan. Sebaliknya marxisme hanya diedentikan dengan sebuah negara sekuler bernama Uni Soviet dengan paham komunis. Negara yang telah menyuplai logistik militer kepada Indonesia untuk merebut Papua dari kekuasaan Pemerintah Belanda.

Sehingga jauh berbeda dengan banyak negara yang menjadikan marxisme sebagai metodologi praksis melawan penindasan di negaranya masing-masing. Seperti  negara-negara pada abad 19, seperti Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Rusia, Cina, Vietnam, hingga Indonesia. Bahkan sejarah pergerakan Indonesia sendiri tidak terpisahkan dengan marxisme, Tan Malaka, Soekarno, Syarir, hingga Sameun adalah tokoh sentral yang menjadikan marxisme sebagai “senjata” utama mereka. Bahkan berbagai organisasi yang secara langsung beridelogi marxisme ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yaitu Indische Partij, PKI, Masyumi, PSI,  dan sebagainya.

Baca Juga:  Hak Politik Bangsa Papua Dihancurkan Sistem Kolonial

Sedang untuk di Papua marxisme justru hadir setelah reformasi , dengan terlibatnya aktivis mahasiswa Papua yang melakukan studi di Jawa. Mereka melihat secara langsung praktek perlawanan mahasiswa Indonesia menumbangkan Soeharto. Bahkan beberapa catatan menyebutkan ada keterlibatan beberapa mahasiswa Papua mengikuti pendidikan politik (dikpol) bersama gerakan mahasiswa dengan paham marxisme seperti LMND, sayap mahasiswa dari Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sehingga menumbuhkan kesadaran individual tentang gagasan marxisme bagi perjuangan kemedekaan Papua. Namun kesadaran akan marxisme sebagai sebuah metodelogi perjuangan tidak terjadi secara merata, juga tidak dapat diterapkan secara umum kedalam organisasi-organisasi perjuangan yang telah subur dibentuk oleh mahasiswa di berbagai kota studi di Jawa hingga di Papua masa itu.

Sampai sejauh ini marxisme di Papua masih sebatas sebuah diskursus dikalangan aktivis kemerdekaan Papua. Sebatas sebagai pisau analisa untuk melihat perkembangan masyarakat, melihat bentuk-bentuk penindasan hari ini, perkembangan internal organisasi perjuangan yang ada, bahkan memudahkan para aktivis Papua untuk bersolidaritas dengan gerakan perlawanaan lain di Indonesia yang mendukung Self Determination untuk Papua. Apabila disebutkan marxisme dikalangan aktivis sebagai sebuah dogma adalah berlebihan. Marxisme di Papua adalah ilmu pengetahuan yang membantu aktivis kemerdekaan melihat penindasan lebih jerni. Sehingga apabila ketakutan beberapa kelompok elit politik (borjuis) tentang penyebarannya sama sekali tidak masuk di akal.

Hegemoni Indonesia di Papua

Legalitas Indonesia di Papua masih menjadi pro dan kontra hingga kini. Tidak hanya dikalangan aktivis, akademisi, pakar hukum, tetapi juga ditengah rakyat Papua. Ada yang mendukung serta ikut memperjuangan kebenaran sejarah itu, ada yang memilih untuk tidak memperdulikan semuanya. Mereka yang diam (apatis) terhadap kebenaran sejarah, pelanggaran HAM, hingga berbagai konflik yang dihadapi saat ini cenderung berusaha untuk hidup secara individual, maupun komonitas secara aman agar menghindari konfrontasi secara langsung dengan negara (Indonesia).

Itulah oleh gramci dikatan sebagai bentuk penyerahan ideologi golongan tertindas kepada golongan penindas. Menurutnya tidak terjadi melalui tindakan represif, dan hukuman fisik semata (penjarah hingga pembunuhan). Namun juga melalui praktek persuasi dan pengarahan-pengarah bersifat manipulatif. Keberhasilan hegemoni penguasa yang akhirnya mencitrakan bahwa rakyat Papua antipati terhadap perjuangan kemerdekaan adalah kemenangan hegemoni penjajah melalui media massa, kebijakan ekonomi pembangunan (Misalnya Otsus dan pemekaran), praktek politik pemerintahan berlangsung selama ini (sentralisasi, desentralisasi, hingga PILKADA, dll), hingga usaha terselubung badan Intelegen negara untuk mempengaruhi tokoh-tokoh politik di Papua (misalnya kehancuran PDP paskah kematian Theys). Itu telah dilakukan sejak menancapkan kekuasaanya di Papua sejak 1961. Bahkan bukan tidak mungkin ada usaha untuk mengaburkan konsep marxisme yang mulai marak diskusikan para aktivis kemerdekaan Papua beberapa tahun terakhir.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kondisi rakyat yang dibawah kontrol Indonesia semakin terdegradasi karena disuatu sisi terjadi depopulasi, sebagai persoalan utama yang dihadapi. Dengan semakin laju masuknya pendudukan dari luar Papua melalui program tranmigrasi maupun para pencari kerja. Yang secara tidak langsung mempengaruhi perilaku sosial, terkikisnya rasa bangga akan diri sebagai sebuah bangsa, karena kemampuannya diukur dengan orang luar selama ini. Ditambah dengan persoalan kesehatan, pendidikan, hingga kesejahteraan yang tidak kunjung diselesaiakan. Ruang disiapkan Indonesia kepada rakyat yaitu proses-proses politik, yang sebenarnya hanya untuk melegitimasi penguasaanya di Papua. Sekaligus sebagai sebuah klaim dan memperkuat argumentasi dimata dunia.

Kesimpulan

Sehingga kehadiran marxisme sebagai suatu ilmu pengetahuan yang masuk melalui bacaan (literasi), telah mendapat tempat dalam ruang-ruang diskusi di Papua, seharusnya disambut sebagai kemajuan dalam pergerakan di Papua. Karena telah memasuki fase baru, yang ternyata oleh banyak negara telah melaluinya. Gerakan perjuangan oleh para aktivis kemerdekaan di Papua terus dilakukan. Dimana marxisme tidak akan menjadi sebuah teori/dogma yang kaku sebab proses dialitika dalam perjuangan sedang berlangsung. Adanya sinergitas antara teori (marxisme) dan praktek perlawan hari ini, begitu sebaliknya ada perlawanan dengan menyesuaikan dengan teori revolusioner yang ada.

Sehingga apabila melihat marxisme dan perkembangannya di Papua sebatas sebuah dogma kaku diantara aktivis Perjuangan perlu dipahami proses masuknya ilmu pengetahuan tersebut, dampak yang akan terjadi secara individu maupun organisasi-organisasi yang bersentuhan dengan marxisme, tidak dengan melihat kondisi rill masyarakat yang telah jauh dalam pengarahan negara (terhegemoni) sebelum kehadiran marxisme di Papua. Sehingga apabila marxisme dikatakan tidak relevan dalam praktek perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme di Papua adalah suatu tuduhan serius dan tidak tepat.

Justru yang sekarang menjadi tantangan di Papua adalah sejauh mana kemajuan dari setiap diskursus tentang marxisme diantara kalangan aktivis kemerdekaan Papua. Apakah tetap terbatas sebagai bacaan, mengagumi pemikiran, sosok tokoh pejuang tertentu, atau menjadikannya sebagai sebuah metodelogi praksis perjuangan. Dengan menjadikannya sebagai ideologi organisasi, untuk membentuk kader-kader yang lebih maju dari waktu sebelumnya.

 

Waena 5 Juli 2018

 

)* Penulis adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.