Ketika TNI Jadi PJS Gubernur Papua

0
2900

Oleh: Benyamin Lagowan)*

Prakata

Benarkah Mayjen TNI (Purn) Sudarmo yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan juga Direktur Harian, Dirjen Kesbangpol Kemendagri RI akan ditunjuk menjadi PJS Gubernur Papua?

Sepak terjang dan sejarah TNI menjadi Gubernur Papua bukanlah hal baru. Dalam sejarah pemerintahan provinsi Papua terdapat beberapa nama perwira tinggi (PATI) ABRI/TNI yang pernah menduduki jabatan Gubernur Papua. Ada nama Acub Zainal, Sutran (1973-1981) yang paling terakhir mengisi posisi gubernur Papua pada era orde baru; sesudahnya gubernur Papua diisi oleh kalangan sipil non militer, kecuali di Provinsi Papua Barat saat dijabat Abraham Atururi (sebelumnya juga pernah jadi Wagub Irian Jaya 1994-2000). Hal ini sebagai amanah reformasi, pasca tumbangnya orde baru dan penghapusan dwi fungsi ABRI.

Wajah orde baru yang militeristik dan otoriter akhirnya jatuh pasca pergerakan mahasiswa memprakarsai aksi turun jalan rakyat Indonesia pada 1998. Kendati demikian, nampaknya di Papua rakyat masih terpasung gaya orde baru. Rakyat Papua tidak menemukan suasana reformasi-demokrasi yang mengunggulkan kemerdekaan rakyat untuk berkumpul dan berpendapat di muka umum; melakukan ibadah sesuai keyakinan masing-masing; menuntut keadilan dan kebenaran atas sejarah kelam orde baru. Dampaknya banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan. Rakyat Papua masih menyimpan beragam kekecewaan, trauma yang mendalam atas perilaku kekerasan militer Indonesia.

ads

Maka, akan jadi apa atau bagaimana jika PJS Gubernur Papua dijabat oleh kalangan militer (TNI)? Mampukah aspirasi dan tuntutan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan institusi militer diselesaikan oleh pemerintah?

Impunitas dan Bangkitnya Orba

Berbagai kasus pelanggaran HAM berat maupun ringan di tanah Papua belum ada satupun diselesaikan oleh pemerintah Indonesia melalui lembaga KOMNAS HAM, kejaksaan maupun pengadilan HAM. Walaupun Komnas HAM RI sudah melakukan penyelidikan, namun kasus-kasus tersebut tetap saja menumpuk di laci-laci kantor kementerian-kepresidenan sebagai dokumen-dokumen usang. Hal ini lantas mengindikasikan bahwa impunitas itu sungguh nyata ada sebab keterlibatan dan penetrasi para eks petinggi-petinggi militer dan kroninya memiliki peran dan andil kuat dalam mengendalikan perpolitikan Indonesia hingga di lingkup 01-02 RI.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dalam beberapa tulisan, para pengamat militer, hukum dan demokrasi Indonesia menduga pemerintahan Jokowi masih distel oleh kalangan militer. Mereka meyakini Jokowi masih tunduk dan dengar para militer, pelanggar HAM di Indonesia. Jokowi masih dihantui bayangan ORBA sehingga ia tidak mampu menyeret para terduga pelanggar HAM ke pengadilan. Jika dugaan ini benar, artinya Presiden Jokowi hanyalah simbol, sementara penentu kebijakan dalam penegakan HAM masih menjadi domain militer.

Nasib Orang Papua yang Tentatif

Nama PJS Gubernur Papua dari kalangan militer sebagaimana sms yang beredar, yakni Mayjen TNI (Purn) Sudarmo yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan juga Direktur Harian, Dirjen Kesbangpol Kemendagri RI. Beliau akan mulai menjalan tugas dari tanggal 13 Februari sampai 9 April 2018. Jika informasi ini benar, maka akan bagaimana nasib dan perasaan orang Papua, terutama keluarga korban pelanggaran HAM di Papua. Dan bagaimana implikasinya terhadap upaya penegakan HAM dari sorotan dunia Internasional?

Kendati masa jabatan Sudarmo hanya dua bulan lebih, penunjukan ini memiliki makna besar yang memberikan gambaran bahwa sampai kapanpun tidak akan pernah ada niat serius pemerintah menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM selama ini. Penunjukan ini memiliki preseden buruk bagi keselamatan Orang Papua dikemudian hari. Bahwa nasib orang Papua dalam sistem NKRI sangat tentatif dan tidak akan pernah menemukan keadilan dan penghormatan hak asasi sebagai manusia seutuhnya. Lebih dikhawatirkan jika penunjukan ini menambah luka dan tangisan OAP terutama menyangkut keselamatan kalangan aktifis HAM dan pejuang politik di Papua. Tentu saja kita tidak akan sulit mendapatkan banyak orang Papua direpresi, ditangkap dan bahkan dianiaya pra dan post Pilkada dengan dalil mengganggu Pilkada, pengamanan Pilkada dsb. Bukan tidak mungkin banyak nyawa akan melayang sebagai konsekuensi demokrasi yang dibayang-bayangi militer.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Upaya Prakondisi dan Skenario Pemetaan Daerah Rawan Konflik

Penunjukan PJS Gubernur ini menurut saya bisa jadi telah disetting jauh sebelumnya. Sejak pertemuan LE bersama KAPOLRI, Ka BIN, dan Panglima TNI di Jakarta. Ini sebenarnya hanya prakondisi sebelum misi besar tertentu dijalankan. Ini bisa jadi terkait kepentingan pengamanan Pilpres 2019, Pilkada Gubenur sendiri maupun dalam kerangka kepentingan nasional Indonesia kontra Separatisme/Papua merdeka.

a) Kepentingan Pilpres

Penunjukan ini tentu atas petunjuk Jokowi, maka sudah tentu pula Sudarmo akan menjalankan misi Jokowi dalam pengamanan Pilpres 2019 mendatang untuk memenangkan Jokowi. Disini sebenarnya dapat mengindikasikan adanya aroma dualisme ditubuh militer Indonesia; atau sedang terjadi atas deal- deal militer dengan Jokowi di periode kedua maupun di 2024 mendatang. Tergantung pula pada prospek politik Prabowo di Pilpres 2019 mendatang.

b) Kontra Separatisme

Penunjukan PJS militer ini dapat menjadi upaya penetrasi militer ke dalam struktur pemerintahan sipil guna mengeliminir aroma-aroma separatisme di Papua melalui formulasi kebijakan dan regulasi berbasis kepentingan militer di Papua. Semuanya bertujuan menaklukan upaya-upaya pencarian hak-hak asasi orang Papua terutama menuntut kemerdekaannya.

c) Kepentingan Pilgub Sendiri

Maksudnya adalah bahwa penunjukan PJS ini hanya murni untuk kepentingan Pilkada. Termasuk mengamankan kepentingan salah satu pasangan yang didukung partai penguasa saat ini. Jadi ada kaitan secara vertikal untuk mengamankan kepentingan nasional yang berporos militer dan elit-elit Jakarta. Hal ini sebagai komparasi dari terlibatnya legislatif (DPRP) dalam Pilgub Papua yang inkonstitusional dan hanya berbau kepentingan dimata pihak lainnya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Penutup

Menempatkan keadilan dan penghargaan akan HAM sebagai entitas utama yang teralienasi dari militer selaku pelanggar HAM di Papua adalah penting bagi nilai sebuah kemanusiaan. Jika Kita masih terus membayangi diri dengan fobia dan menempatkan sisi kemanusiaan kita jauh dari apriori, maka hidup kita sama saja dengan mati. Penempatan petinggi militer di Papua akan terus mereproduksi penderitaan yang kronik bagi rakyat populisme.

Saran

  •  Bagi Mahasiswa dan Aktifis HAM.

Perlu sebuah diskusi dan aksi penolakan secara semesta atas upaya militerisasi pemerintahan di Papua guna mencegah lahirnya pelanggaran HAM secara berkesinambungan di tanah Papua.

  • Bagi Pejabat di Papua

Apa tidak salah bahwa gubernur dan wagub Papua katanya Kakek OTSUS harus orang Asli Papua ? Namun mengapa dalam konteks PJS ini tidak memperhatikan itu. Apakah kalian akan terus dibodohi hingga rakyat ini habis? Bangunlah dan satukan barisan bersama rakyat menolak aroma militeristik yang kian dipraktekan Jokowi di Indonesia hingga Papua. Jangan terus banyak gaya dalam penjara !

  • Bagi Rakyat Papua

Jika masih punya telinga, mata, kaki dan tangan yang sehat untuk mengamati fenomena sekarang, saya akan turun bergabung bersama saudara/i untuk menolak militer masuk memerintah di Papua demi pemenuhan rasa keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM dan demi psikologis anak-anak Papua di kemudian hari.*

Abepura, 5 Februari 2017

)* Penulis adalah mahasiswa profesi kedokteran Uncen

Artikel sebelumnyaPemkab/Kota di Papua Diminta Bentuk Tim Multisektor Atasi Gizi Buruk
Artikel berikutnyaJurnalis Pasifik Soroti Buruknya Kebebasan Bicara di Papua