No Free Lunch: Catatan Margi si Regi Koroway (Bagian 4)

    0
    1768

    Oleh: Margi)*

    Wamena 4 Juli 2018. Akhirnya berita pasti tiba. Penerbangan ke Brukmahkot ditunda. Batal berangkat. Saya, satu-satunya penumpang, diminta pulang dan akan berangkat ke Brukmahkot pada hari jumat (6 Juli 2018), dua hari lagi. Saya lemas.

    Penundaan ini memunculkan masalah. Meski bukan malapetaka. Pertama, beberapa rencana yang sudah saya buat akan molor. Rapat dengan penginjil dan orang tua murid yang kami rencanakan berlangsung besok akan tertunda. Penundaan ini akan berpengaruh pada program lain.

    Tetapi yang kedua, logistik saya menipis. Konsep pendidikan kontekstual yang sedang saya siapkan mengharuskan penggunaan materi lokal dalam proses pendidikan. Dan saya hendak mengajarkannya dengan konsisten baik secara teori maupun praktik. Secara praktik, antara lain saya tidak membawa bekal makanan atau uang lebih. Saya akan makan dan minum makanan dan minuman yang dimakan dan diminum oleh orang Koroway. Hanya ketrampilan untuk memilih dan mengolah makanan secara hygienis itu yang akan saya bagikan dalam pelslatihan bagi ibu-ibu Koroway.

    Jadi, saya ke Koroway tanpa persediaan uang. Pada hari keempat saya di Wamena, uang di dompet saya tersisa Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Dan bahan makanan di Asrama Pelajar Korowai tempat saya menginap (maklum, duit saya tidak cukup untuk menyewa kamar hotel) sudah habis total. Bingung akan makan siang dan makan malam hari ini di mana dan besok di mana? Masih dua hari lagi. Tanpa bama dan hanya punya Rp 20.000,-

    ads

    Lalu saya teringat bahwa di bagasi saya ada 1 karton sayur pemberian Ibu saya. Saya teringat ketika dia memaksa saya untuk membawa 1 kardus sayur. Saya menolak karena saya membayangkan akan memikul sendiri semua logistik saya (baju, bama, peralatan mandi, buku, dll) dan jalan kaki selama 10 jam dari Danowegi ke Brukmahkot. Tapi beliau tetap mendesak untuk dibawa. Saya kemudian sampaikan kepada pelajar rebus sayuran itu dan makan siang bersama. Sayur rebus thok, tanpa apa-apa. (Terima kasih Mama!)

    Lalu nanti malam dan besok kami akan makan apa?

    Saya teringat bahwa saya masih punya 1 Unit HP yang saya beli pada bulan Februari 2018 lalu menggunakan honor mengajar saya. Saya beli HP itu seharga Rp 2 juta. Apakah masih laku jika hp itu dijual?

    HP milik Margi yang sudah dijual di Wamena. (Dok Pribadi)

    Syukurlah. Hari ini kami berhasil menjual HP saya seharga Rp 1,5 juta. Uang itu kami gunakan untuk beli bahan makanan untuk saya dan pelajar Koroway di Asrama ini.

    Puji TUHAN bahwa sesudah melahap sayur rebus siang ini, saya mendapat kabar bahwa besok pilot Helivida akan mencoba terbangkan saya ke Koroway.

    Malam ini saya merenung. Anak-anak ini akan makan apa sesudah besok? Persediaan Bama mereka sudah habis.

    Selandainya emas dari negeri mereka bisa diatur penggunaannya untuk pendidikan tentu mereka tidak akan kehabisan bahan makanan. Ah, tapi itu urusan pemerintah. Saya hanya pikir besok mereka makan apa. Hidup mandiri dan ditempa penderitaan dalam pendidikan akan membentuk karakter mandiri dan tangguh, tetapi otak mereka membutuhkan asupan makanan bergizi.

    Besok mereka makan apa? Saya tertidur dengan pertanyaan itu. Semoga ada tangan orang yang baik hati yang membantu mereka.

    No free lunch. Tiada makan siang gratis. Ini dalam makna sesungguhnya. Bukan politik. Mereka butuh uang untuk membayar makan selagi dalam proses pendidikan di luar kampung. Selagi tinggal di asrama ini.

    Mohon doa agar ada tangan yang membantu mengatasi masalah bama pelajar Korowai. Dan doakan cuaca besok baik supaya saya bisa berangkat dan tiba dengan selamat di Brukmahkot.

    )* Penulis adalah anak muda Papua yang sedang mengabdikan dirinya untuk pendidikan di Koroway

    Artikel sebelumnyaPelita Harapan: Catatan Margi Si Ragi Koroway (Bagian 3)
    Artikel berikutnyaMenjiwai Peran ‘Regi Si Motivator’: Catatan Margi Si Regi Korowai (Bagian 5)