Sikap ULMWP Terhadap Rasisme dan Perjuangan Bangsa West Papua

0
2003

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai wadah koordinasi perjuangan bangsa Papua Barat secara damai dan bermartabat mengeluarkan sikap pernyataan serta menegaskan posisinya dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri mengingat fakta kebijakan politik dan perlakuan diskriminasi rasial pemerintah Idonesia kepada Bangsa Papua selama 56 tahun.

Hal ini menanggapi ujaran rasisme oleh aparat keamanan dan ormas reaksioner di Surabaya, Malang, Semarang dan Ternate, pada tanggal 16-18 Agustus 2019, yang kemudian direspon dengan gelobang aksi massa hingga menyebabkan orang Papua meninggal dan terluka saat demonstrasi menolak rasisme di beberapa kota di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

“Hari ini ULMWP menyampaikan, situasi politik melawan rasisme dan juga situasi politik pada orang Melanesia di West Papua, kemudian aksi anti rasisme oleh orang Papua, maka kami launching laporan kekerasan negara ini,” kata Markus Haluk, direktur eksekutif ULMWP Dalam Negeri, Senin (9/9/2019) di Kota Jayapura.

Peluncuran laporan tersebut dipimpin Edison Waromi, ketua Komite Legislatif ULMWP, sekaligus membacakan pernyataan sikap ULMWP.

Waromi menyatakan, ULMWP bertanggungjawab secara politik terhadap berbagai unjukrasa rakyat Papua menolak rasisme, dan tuntutan referendum bagi rakyat West Papua.

ads

“ULMWP pada hari ini secara resmi launching laporan politik rasisme bangsa Indonesia kepada orang Melanesia di West Papua serta laporan kronik kedua aksi rakyat West Papua melawan rasisme pada tanggal 19 dan 29 Agustus 2019,” ujarnya mengawali pembacaan pernyataan sikap dan posisi ULMWP.

Berikut Pernyataan Sikap ULMWP

Pijakan Bangsa Papua Melawan Politik Rasisme Indonesia

  1. “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita. … Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah, ciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:26a-27b).
  2. Mukadimah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945 mengungkapkan esensi tujuan kemerdekaan Indonesia dan bangsa-bangsa secara universal: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
  3. Mukadimah Deklarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Bahwa pengakuan atas martabat sebagai sifat-sifat yang tetap (inherent) dan atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dihapus dari semua anggota keluarga umat manusia itu merupakan dasar kemerdekaan keadilan dan perdamaian dunia”.
  4. Dasar filosofi bangsa Papua ras Melanesia dengan asas nurani Papua kasih setia jujur dan trias semangat persaudaraan Melanesia berisikan satu sesama bangsa satu sesama jiwa dan satu sesama solidaritas dengan semboyan nasional bangsa Papua “One People One Soul”.
  5. Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Nomor 210 6xx Bab 11 Pasal 2 tanggal 21 Desember 1965, bahwa diskriminasi rasial berarti suatu pembedaan pengecilan pembatasan atau pilihan berdasarkan ras warna kulit keturunan atau asal-usul etnik atau kebangsaan yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi pengakuan perolehan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesederajatan di bidang politik sosial budaya atau bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan lainnya.

Fakta Memoria Kebijakan Politik dan Perlakuan Diskriminasi Rasial Indonesia pada Bangsa Papua

  1. Pengalaman hidup diskriminasi rasisme bangsa Papua selama 56 tahun politik pendudukan Indonesia di Tanah Papua sejak Mei 1963 sampai tahun 2019 pemerintah Indonesia melalui aktor pemerintahan sipil politik, aktor TNI dan Polri bersama penegak hukum, jaksa, hakim, perusahaan nasional dan multinasional, serta 263 juta penduduk Indonesia, selama ini bersatu bekerja bersama dalam dan atas nama negara Republik Indonesia melakukan semua kejahatan kemanusiaan pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, hari ini rakyat Indonesia di Papua sedang menuju pada proses pemusnahan etnis secara perlahan dan pasti.
  2. Pada tanggal 16 Agustus 2019 di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, anggota TNI, polisi pamong praja, anggota dan pimpinan organisasi warga Surabaya yang disaksikan oleh anggota Polri, berkali-kali menyatakan, “Kamu keluar! Monyet.. monyet.. monyet keluar. Monyet-monyet keluar dari situ, awas kalau sampai jam 12 malam kamu tidak keluar, lihat saja monyet siap dibantai”. Pada malam harinya, ratusan orang kelompok milisi dan organisasi reaksioner bentukan aparat keamanan terus mengeluarkan kata-kata rasis. Kelompok ini juga menyerukan yel-yel “Usir Papua! Usir Monyet! Sekarang juga usir Papua!”. Sehari sebelumnya, 15 Agustus 2019, ancaman dan diskriminasi rasisme juga telah terjadi di Malang, Semarang, dan Ternate.
  3. Menyikapi ancaman rasisme yang terjadi pada mahasiswa Papua di Surabaya sebagaimana dimaksud pada poin 2 di atas, rakyat bangsa Papua serta solidaritas mahasiswa dan rakyat Indonesia dan komunitas internasional telah melakukan aksi demonstrasi damai selama 10 hari, 19 sampai 29 Agustus 2019, dengan jumlah massa di West Papua 218.300 orang, di Indonesia 3.005 orang, ditambah luar negeri 2260 orang, sehingga secara keseluruhannya 223.565 orang.
  4. Aksi demonstrasi damai melawan rasisme Indonesia di Papua dilakukan di 24 kota dan kabupaten di 7 wilayah adat atau 2 provinsi, di Indonesia dilakukan di 6 kota dan internasional 7 negara. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan terus melakukan upaya kriminalisasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan: 88 orang di West Papua, 7 orang di Indonesia, dan 70 orang di luar negeri. Jumlah keseluruhan: 165 orang ditangkap. Sekitar 82 orang masih ditahan di Papua dan Indonesia. Pada saat yang bersamaan, Kepolisian Republik Indonesia telah mengumumkan: 50 orang sebagai tersangka kriminal dan makar.
  5. Banyak rakyat Papua yang melakukan protes rasisme Indonesia telah menjadi korban 13 orang meninggal dunia dan 12 diantaranya warga sipil Papua, 9 orang ditembak oleh TNI Polri dan 3 orang dibunuh oleh kelompok milisi bentukan aparat keamanan, sedangkan 1 anggota TNI meninggal dunia akibat dipanah oleh warga sipil saat melakukan pembubaran paksa di halaman kantor bupati Deiyai. Sekitar 73 orang sedang dirawat akibat luka-luka tembak anggota TNI Polri dan 3 oleh kelompok milisi di Kabupaten Fakfak dan Kota Jayapura.
  6. Hingga saat ini mahasiswa Papua di Indonesia seperti di beberapa kota studi di Jawa: Jakarta Malang, Surabaya, Bandung, Bali, Sulawesi (Makassar dan Manado), Kalimantan dan Sumatera mengalami ancaman dan teror secara nyata oleh kelompok TNI dan organisasi sipil serta warga tempat para mahasiswa Papua berdomisili. Akibatnya, mereka mulai meninggalkan kota studi mereka dan sedang pulang ke West Papua.
  7. Pemerintah Indonesia terus menambah ribuan pasukan TNI dan Polri di West Papua dalam menyikapi aksi demonstrasi damai rakyat Papua. Dalam menyikapi politik rasisme di Indonesia bahkan pasukan TNI Polri juga dikirim dalam jumlah besar untuk melakukan operasi di wilayah Papua. Operasi militer di Nduga dan Papua saat ini dikategorikan sebagai operasi militer tertutup (the darkness military operation) meskipun ada pernyataan operasi militer oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, tetapi pelaksanaan operasi militer tanpa melibatkan wartawan baik nasional maupun internasional. Operasi militer dengan pengerahan pasukan tanpa jaringan informasi telekomunikasi internet media sosial dan telepon operasi militer telah menyebabkan kerugian sebanyak 45000 warga negara mengungsi 183 orang di Nduga meninggal, 3 orang di Gome Puncak Jaya meninggal, dan 2 orang diantaranya dibakar dalam keadaan hidup di rumah mereka.
  8. Sebagaimana diketahui bersama bahwa operasi militer tertutup (the darkness military operation) adalah sebuah kejahatan agresi yang dilakukan secara terencana, sistematis, terstruktur dan meluas bertentangan dengan hukum perang konvensi Jenewa dan hukum humaniter.
  9. Kematian 1 warga di Fakfak tanggal 22 Agustus 2019 yang dilakukan oleh milisi Merah Putih, pembunuhan dan penembakan terhadap 3 orang di Jayapura, penikaman dan penembakan terhadap 25 orang Papua di Jayapura tanggal 30 Agustus 2019 dilakukan oleh milisi sipil meninggal bukan asli Papua yang dibekingi oleh aparat intelijen TNI dan Polri. Keterlibatan aparat negara dalam mendukung Indonesia untuk melawan masyarakat sipil Papua adalah skenario lama yang pernah dilakukan Indonesia kepada masyarakat sipil di Timor Leste, termasuk peristiwa tragis pembantaian “Santa Crus” di Dili.
  10. Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto, menteri koordinator politik keamanan dan hukum (Menko Polhukam), pada waktu peristiwa Timor Timur, menjabat sebagai Panglima ABRI. Ia memiliki pengalaman membina manusia dan melakukan agresi militer dan sipil saat dan pasca jajak pendapat di Timor Leste. Pada saat ini oleh aktor yang sama sebagai Menko Polhukam sedang mendorong konflik horizontal dengan mendorong kelompok manusia Indonesia serta penerapan pasukan TNI dan Polri dalam jumlah besar di Tanah Papua.
  11. Kedua tindakan kejahatan baik agresi militer maupun kejahatan yang dilakukan oleh milisi sipil dibekingi oleh aparat intelijen TNI dan Polri sebagai aktor negara (state actor) telah terjadi pelanggaran HAM berat yakni kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) dan kejahatan genosida dimana sasarannya korban ras kulit hitam bangsa Papua Melanesia telah berlangsung lama. Kedua tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yaitu secara internasional melanggar statuta Roma, hukum perang, hukum humaniter, dan konvensi Jenewa, khususnya jaminan keselamatan terhadap warga sipil dan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia nasional termasuk ratifikasi kovenan hak sipil dan politik melalui UU Nomor 12 tahun 2005.
Baca Juga:  F-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

Posisi ULMWP

  1. Sejalan dengan visi misi tujuan ULMWP ditugaskan untuk memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri untuk kemerdekaan kedaulatan politik bangsa West Papua. Hal ini dilandasi oleh hukum Alkitab, konstitusi Indonesia, mukadimah konvenan internasional, sejarah perjuangan panjang bangsa West Papua serta pengalaman penderitaan kejahatan kemanusiaan yang dilandasi pada politik rasisme selama 56 tahun yang telah memuncak pada peristiwa rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
  2. ULMWP sebagai embrio negara West Papua telah diakui dan diterima oleh rakyat bangsa West Papua berbagai organisasi di Papua dan Indonesia serta diakui dan diterima negara-negara Melanesia khususnya sebagai observer di Melanesian Spearhead Group (MSG) dan diakui juga oleh para pemimpin Pasifik Islands Forum (PIF) sebagai bentuk pengakuan sejumlah lembaga pemerintah dan non-pemerintah mulai memberikan penghargaan kepada pimpinan ULMWP di MSG sebagai observer saat ini. Ketika itu Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare sebagai ketua MSG 2015-2018 telah melaporkan status ULMWP di dalam Sidang Umum PBB pada tahun 2015, 2016, dan 2017.
  3. Menyikapi peristiwa protes rakyat West Papua pada tanggal 19 Agustus 2019 di Manokwari dan kota Sorong, 22 Agustus di Fak-fak dan 29 Agustus 2019 di kota Jayapura, kami menegaskan bahwa ini merupakan murni luapan spontan kekecewaan dan kemarahan rakyat bangsa West Papua atas tindakan rasisme selama 56 tahun pendudukan Indonesia di Tanah Papua secara khusus peristiwa pengepungan, penangkapan serta ujaran rasis yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-18 Agustus 2019.
  4. ULMWP juga menilai pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan TNI dan Polri yang memanfaatkan aksi demonstrasi di Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019 dengan melakukan kriminalisasi dan menciptakan konflik horizontal. Salah satu fakta yang ada ialah pengalihan isu perlawanan terhadap rasisme kepada upaya kriminalisasi tokoh mahasiswa, tokoh politik Papua serta organisasi politik di West Papua dengan menciptakan konflik horizontal antara orang Melanesia di Papua dengan penduduk pendatang di Tanah Papua.
  5. ULMWP juga menilai pemerintah Indonesia melalui kementerian pertahanan serta pimpinan TNI dan Polri menggiring opini dari aksi protes perlawanan rasisme dan dengan kelompok ISIS. Ini semua dilakukan dalam rangka membenarkan praktek politik rasisme Indonesia kepada bangsa West Papua dan mendapatkan simpati dan dukungan oleh negara-negara barat atas tindakan rasisme, kriminalisasi serta pelanggaran hak asasi manusia di dunia ini dan beberapa kabupaten lainnya di West Papua yang dilakukan pemerintah Indonesia kepada rakyat Melanesia di Papua.
  6. ULMWP bagaimana koordinasi nasional bangsa Papua sikap bertanggung jawab terkait agenda perlawanan rakyat semesta Papua dalam melawan rasisme dan memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri melalui metode demokratis agen damai dan bermartabat melalui Referendum.
  7. ULMWP siap menyambut dengan tangan terbuka Dewan Hak Asasi Manusia PBB turun melakukan investigasi secara independen dan menyeluruh tentang pelanggaran hak asasi manusia dan politik rasisme Indonesia pada Papua selama 56 tahun.
  8. ULMWP tetap memberikan jaminan keamanan kepada warga non Papua yang hidup di Tanah Papua. Perjuangan dan perlawanan kami bukan kepada penduduk sipil Indonesia, melainkan kepada pemerintah yang terus mempraktikkan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme di atas tanah ini.
  9. Menghentikan upaya kriminalisasi serta membebaskan semua tahanan Papua yang ditangkap dan ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesia.
  10. Memproses hukum anggota TNI dan Polri yang telah melakukan penembakan terhadap warga sipil di Kabupaten Deiyai tanggal 28 Agustus 2019, anggota polisi yang melakukan di Jayapura pada tanggal 30 Agustus 2019 serta menangkap dan memproses hukum anggota milisi yang melakukan penikaman dan pembunuhan terhadap warga di Fak-fak pada 22 Agustus dan Jayapura 30 Agustus 2019.
  11. Para mahasiswa Papua yang ada di Indonesia yang sedang terancam keselamatan untuk kembali ke Tanah Papua.
  12. ULMWP menyampaikan kepada rakyat bangsa West Papua supaya secara sadar, damai, demokratis dan bermartabat terus melakukan aksi demonstrasi perlawanan politik rasisme Indonesia di Tanah Papua.
  13. Kami patut menyampaikan ucapan penghargaan dan apresiasi kami atas penandatanganan nota kesepahaman kerjasama antara ketua eksekutif ULMWP dengan Menteri Luar Negeri Vanuatu dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri.
  14. Menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pemimpin yang telah menyampaikan keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di West Papua dalam KTT PIF ke-50 di Funafuti, Tuvalu, 13-16 Agustus 2019.
  15. Akhirnya ULMWP menyampaikan ucapan terima kasih banyak kepada pimpinan organisasi sipil politik di West Papua, Indonesia serta rakyat dan para pemimpin gereja, mahasiswa adat, NGO dan para pimpinan Melanesia Pasifik dan pemimpin berbagai negara di internasional termasuk ketua Dewan HAM PBB atas perhatian dan keprihatinan sehubungan dengan kebijakan politik diskriminasi rasial Indonesia dan pelanggaran hak asasi manusia pada rakyat bangsa West Papua. Kami senantiasa harapkan dukungan dan partisipasi Anda sekian dalam menyelesaikan akar konflik sesungguhnya politik rasisme Indonesia dan kejahatan kemanusiaan di West Papua selama 56 tahun ini.
Baca Juga:  Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku Lakukan Sidak ke Sejumlah SPBU Sorong

Demikian pernyataan sikap ini kami keluarkan atas perhatian dan kerja sama yang baik disampaikan ucapan terima kasih.

Numbay, West Papua, 9 September 2019

Markus Haluk

Direktur Eksekutif

              Buchtar Tabuni                              Edison Waromi

       Wakil Ketua II Komite Legislatif        Ketua Komite Legislatif

Artikel sebelumnyaSaran untuk Mahasiswa Papua: Mari Dukung Gubernur Papua
Artikel berikutnyaAnggota DPRP ke Komnas HAM Bawa Tuntutan Ini