Mengungkap Fakta Pengalaman Rasisme Sebagai Orang Papua-Melanesia di Indonesia

0
3585

“KEBENARAN ITU SEKALIPUN LAMBAT PASTI AKAN MENANG JUGA”

PLEDOI

AMBROSIUS MULAIT

Dibacakan dari Lembaga Pemasyarakatan Salemba

Jakarta Pusat Pada 13 April 2020

ads

A. Pembukaan

” Syukur Bagi-Mu Tuhan ”

 

 

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua. Waa Waa Waa Waaa

    Yang mulia Majelis Hakim,

    yang saya hormati Bapak-bapak Jaksa Penuntut Umum,

    Yang saya kasihi dan hormato para Penasihat Hukum dan

      Yang    saya    Hormati    Kawan-Kawan    Solidaritas    Internasional, Prodemokrasi Indonesia, Tim Kampanye, rekan-rekan media, yang selalu dengan setia mengikuti jalannya persidangan ini, khususnya kepada Rakyatku Bangsa Papua Barat yang terus mengikuti proses ini dengan doa dan air mata selama Tujuh Bulan.

Pertama-tama Kepada Anda yang saya telah sebutkan dalam esepsi ini dan belum bisa sebutkan, saya menyampaikan Terima Kasih atas semua dukungan.

Berikutnya, sebagai orang Beriman Kristiani dari rumah Tahanan Salemba saya menyampaikan Selamat Pesta Paskah, bagi Kita sekalian khususnya Umat Kristiani di Papua, Indonesia dan Komunitas internasional.

Paska tahun ini masing-masing dirayakan dalam suasana COVID 19, yang mengakibatkan perayaan Kudus itu dilakukan di rumah bersama keluarga tercinta. Dengan perasaan haru tetapi juga dengan bangga, saya bersama rekan-rekan Kristiani juga melakukan perayaan secara mandiri Rumah Tahanan Salemba.

Selama pasa TRI HARI SUCI (Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci) saya  merenungkan  dengan  penuh  hikmat  kisah  Sesangsara,  Kematian Kristus. Selama Masa Paskah ini, saya melihat bagaimana para ahli taurat, imam-imam, para Jaksa, Hakim Yahudi bersekutu Menyangkal Kebenaran, tentang Cintah Kasih dan Perdamaian yang diwartakan Yesus kemudian segala dalih tipu muslihat menyerahkan-Nya kepada Pengusa Asing, Kolonial Romawi untuk menjatuhkan dan memvonis hukuman mati.

Kendatipun mereka telah menggantungkan Yesus di Kayu salib, Kebenaran yang diwartakan Yesus Melalui Jalan Salib dan Kematian-Nya menjadi Jalan Tuhan untuk menyatakan Kemahakuasaan-Nya melalui Kebangkitan Kristus dari Alam maut. Inilah iman yang saya hayati, bahwa Kebenaran tetap akan tetap keluar sebaga Pemenang sekalipun dipenjarakan.

Dengan berlandaskan iman akan Kristus dan sejarah Memora Pasionis Bangsa Papua selama 56 (Mei 1963-2020), saya memberikan judul pledoi saya: “KEBENARAN ITU SEKALIPUN LAMBAT PASTI AKAN MENANG JUGA: Mengungkap Fakta Pengalaman Rasisme Sebagai orang Papua- Melanesia di Indonesia

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

B. Pengalaman Rasisme yang saya alami di Wamena, Papua

Saya  dilahirkan  di Wamena Tanah  Papua  oleh  Bapak  dan  Mama  Papua Melanesia. Saya menyelesaikan SD di kampung halaman saya, yang murid- muridnya semuanya dari Wamena-Papua. Selama di Sekolah dasar tidak ada perbedaan diantara kami. Para Guru yang juga orang Papua mengajarkan kami dengan baik adanya.

Saya mulai merasakan adanya perbedaan dalam kata-kata, sikap, perilaku antara saya dengan orang non Wamena-Papua ketika memasuki di Sekolah Menengah Pertama.

1. Sekitar tahun 2006-2009 sejak saya di bangku SMP Negeri 2 Wamena, sangat terasa perbedaan antara orang Papua dan non Papua dibangku sekolah.

Suatu hari dalam kelas, dalam proses belajar mengajar, salah satu guru mata  pelajaran Matematika,  sedang mengajar,  karena  saya  satu  meja dengan teman kelas orang non Papua maka setiap kali teman non Papua tadi terus menegur saya dengan kata-kata “badanmu Bau Asap, Jorok. Kamu ngak perna mandi ya.” Kata-kata yang sama diucapkannya setiap pagi hari dalam kelas.

Kata-kata teman tadi, saya merasa terganggu. Terpaksa saya memilih berpindah tempat duduk. Teman non papua tersebut mulai memberitahukan kepada teman-teman yang lain di dalam kelas kami.

Saya tidak perna merespon atas perkataan mereka pada saya, karena saya tidak seperti yang ditudukan kepada saya. Sebab setiap pagi saya sebelum kesekolah mandi atau cuci muka sebab tempat saya di wamena tempat dingin.

Saya juga mengakui bahwa saya dilahirkan oleh orang tua saya  yang berbusana holim (koteka) dan yokal (cawat) dan tidur di istana honai.

Di  dalam  Istana  Honai  ada  Tungku  api  yang  selalu  dipasang  untuk menjadi  penerangan  bagi  saya  supaya  membaca  buku  atau  kerjakan tugas PR (Pekerja Rumah). Dalam perjalanan ke sekolah saya harus menempuh  7  KM  dengan  memakan  waktu  2-3  jam  jalan  kaki  dari Kampung saya di Pugima Ke SMP Negeri 2 Wamena.

2. Selain pengungkapan Kata-kata rasis di Sekolah oleh teman non Papua, saya mengalami juga sejak liburan ke pasar bersama ibuku menjual hasil penggarapan kebun seperti sayuran, umbi-umbian.

Para pembeli harus menutupi hidup saat belanja sayur, maupun umbi. Mereka tanya barang Jualan Ibu saya dengan kaki bukan dengan tangan dari jarak yang jauh. Selain itu saat Ibu atau bapa saya belanja barang kios, maupun naik angkot penjaga kios dan para sopir yang adalah orang Indonesia  selalu  menutup  hidung.  Pengalaman  yang  sama  juga  saya alami dibangku SMU di Wamena.

3. Pada 2012  setelah  saya  selesai  lulus  SMA kemudian  melanjudkan  di Jakarta bersama teman-teman.

a. Selama saya kuliah di Jakarta pengalaman yang pernah saya alami di Wamena masih juga terjadi di Jakarta. Pada 2012-2015  saya  naik angkot menuju Mall PGC Cililitan Jakarta Timur,   penumpang dalam angkot harus menutupi hidup dan ada perkataan yang keluar dari penumpang badannya bauh. Hal yang sama di kereta dari stasiun Gambir tujuan Bogor.

b. Pada November 2015 bulan November saya harus terpaksa turun dari angkot PGC Cililitan menuju Kampung Melayu karena ada ucapan dari penumpang orang Papua, „monyet hitam, bauh badan, ngak perna mand   Diantara   penumpang   mereka   bicara.   Akibatnya   sayapun jengkel dan menegur mereka  kemudian turun  dari angkot  tadi dan mencari angkot yang lain.

c. Sejak 2016  saya  Mencari  Kos  di  Jagakarsa  Jakarta  Selatan,  saya harus membayar Rp. 1.000.000,- karena mahasiswa Papua. Padahal kalo mahasiswa seharusnya membayar Rp. 700.000.

d. Sejak 2017 karna kos yang lama mahal saya rencana pindah kos ke arah UNAS pasar Minggu saat mencari ada seorang ibu, pemilik kos yang hendak menyakan pada saya kamu beragama muslim atau Kristen. Saya jawab saya beragama Kristen katolik, ia tadi menjawab kami hanya menerima yang muslim.

e. Pengalaman saya, selama di Jakarta, ketika kami mencari kos- kosan/kontrakan untuk mahasiswa,  kami  menghadapi  banyak kesulitan; diantaranya a). dari harga yang murah ketika melihat orang Papua yang mencari kontrakan harga akan tiba-tiba dinaikan, (mahal), b).  Walaupun  kontrakan  kosong  tetapi  melihat  orang  Papua  akan bilang tidak ada kontrakan padahal depan pintu pagar ada tulisan rumah dikontrakkan.

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Singkat kata, Ucapan rasis seperti bauh badan, pemabuk, pengacau, hitam, jorok, bodoh, tidak tau mandi, orang Papua suka perang, monyet, kera, dan sejumlah kata-kata lainnya yang penuh rasis tidak asin lagi bagi kami. Kata-kata ini menjadi percakapan dan ucapan umum di kampus maupun  luar  kampus    saya    alami  sejak  2012-2019,  di  lingkungan kampus, dimobil angkot, kreta, bahkan disekitaran masyarakat umum di Jakarta masih subur.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

C. Sejarah Aneksasi Papua ke dalam Indonesia dan Pelanggaran HAM dan Rasis yang belum tuntas

Saya saat ini mulai berkesimpulan bahwa teman SMP-SMU di Wamena dan rakyat Indonesia di Jakarta yang memperlakukan kami penuh ketidakadilan dan rasisme, yang selalu memandang kami lain dari mereka adalah pengakuan yang jujur, tulus dan benar. Sebab bagi mereka, bangsa Papua rumpun Melanesia memang beda dengan mereka. Sebalik Integrasi Politik Pembangunan hanya ada dalam benak elit politik, kapitalis, militer, para penegak hukum. Sebab sejak awal mereka ini yang memaksakan diri hadir di tanah kami Wamena, dan Papua lainnya hingga saat ini kami orang Papua Melanesia sudah mulai minoritas.

Memang adalah fakta bahwa konflik politik di Papua mempunyai histori yang panjang selama 58 tahun integrasi Papua kedalam kolonial Indonesia. Fakta sejarah yang menyimpang  atas sengketa Papua Barat, kedalam Indonesian, menjadi konflik berkepanjangan antara Rakyat Papua yang menginginkan hak sebagai bangsa yang merdeka dan Pemerintah Indonesia yang menganggap integrasi Papua telah selesai melalui Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat  Papua  (PEPERA)  1969  yang  keabsahannya  masih  dipertanyakan oleh bangsa Papua dan komunitas Internasional.

Persoalan Papua akan lebih baik bila menyelesaikan satu akar persoalan mendasar: Pertama Peninjauan  Kembali terhadap realitas sejarah disertai berbagai persoalan HAM termasuk Rasisme yang merupakan bagian dari penyelesaian Politik yang komprehensif.

Jika diruntut keyakinan politik rakyat Papua (pro merdeka) terhadap integrasi Papua  ke dalam  Indonesia  yang  masih  belum  selesai,     dimulai  sejak Perjanjian New York agreement 15 Agustus 1962 yang sponsori oleh Amerika Serikat untuk menyelesaikan persengketaan antara Belanda dan Indonesia atas status Politik Papua Barat.   Namun Perjanjian New York agreement tersebut tidak seperti harapan masyarakat Papua.

Sebab Perjanjian New York Agreement dibuat tanpa melibatkan orang asli Papua, dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan.

Beberapa alasan fakta sejarah rakyat Papua terhadap integrasi antara lain[1]:

a).  Pembahasan  New  York  agreement  tahun  1962,  Tidak  membicarakan Nasip orang Papua barat yang pro merdeka, tetapi hanya dibuat dengan tujuan kepentingan ekonomi, Politik dan keamanan tanpa mempertimbangkan masa depan Papua[2].

b). Penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 dipapua barat   dilaksanakan dengan sistem musyawarah, yang bertentangan dengan mekanisme Internasional dalam perjanjian New York agreement degen sistem one man one vote. Proses Pemilihan sesuai jumlah penduduk Papua Barat 800.000 orang yang punya hak memilih tetapi diwakili 1.025 orang. Proses Pepera dibawah tekanan moncong senjata oleh aparat Indonesia terhadap rakyat yang tidak setuju (Pro Merdeka) diancam dan ditembak mati[3].

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

1 Bdk. Socratez Sofyan Yoman: Suara Gembala Menentang Kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua Halaman 117-119.

2  Bdk. P. J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, Pen. Kanisius 2010, 111-152 (Terjemahan Indonesia).

3 Bdk. Dr. John Salford “irian Jaya United  Nations Involvement with the Act of Self-Determintaion in West Irian (Indonesia-West New Guinea) 1968to 1969.

D. Pelanggaran HAM

Untuk Melindungi  Hak Asasi Manusia dan Hak atas Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya. Pemerintah Indonesia telah ikut meratifikasi KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK bentuk dari pada mewujudkan Mudikama UUD 1945 dan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999. TENTANG HAK ASASI MANUSIA sebagai bentuk penghormatan atas Hak-Hak setiap Manusia tanpa dikurangi oleh siapapun.

Konflik yang melibatkan dua pihak yang berlawanan, yakni Pemerintah Indonesia dan orang Papua ini sudah dimulai sejak Indonesia menguasai Tanah Papua, 1 Mei 1963.

Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa  (1969),  Operasi  militer  di  Kabupaten  Jayawijaya  (1977),  Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985).

Selain Operasi yang dilakukan, Pemutusan Mata Rantai tempat, Malahan Peningkatan Pelanggaran HAM, Intimidasi, Diskriminasi, Pemerkosaan, Pembunuhan, Penembakan, Pembukaman ruang demokrasi, Hingga Pemenjaraan Masih dialami Oleh Rakyat Papua Secara sistematis dan Masif dalam 58 Tahun, Tanpa Ada solusi yang konfrehensif, dari Pemerintah (Negara)  telah menyimpan goresan  luka, tarumatik yang masih membekas (Memoria passionis) terhadap rakyat Papua Barat.

Sesungguhnya masyarakat Papua masih menanti penegakan HAM yang berkeadilan. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat Papua selalu menyuarakan  perjuangan  ini  sebagai penanda  bahwa  para  korban  masih setia menunggu keadilan, sekaligus tanda peringatan bagi negara bahwa masalah ini belum diselesaikan. Penegakan HAM yang dimaksud adalah meminta pertanggungjawaban negara terhadap setiap bentuk pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM berat masa lalu, bahkan hingga saat ini.

Berbagai pelanggaran HAM berat di Papua antara lain:

1) Pelanggaran HAM Wasior 13 Juni 2001 aparat Brimob melakukan penyerbuan   warga   desa   wonoboi   wasior,   Manokwari,   Papua   yang menuntut janji pembayaran Hasil Kayu. 4 Orang Tewas, 5 Orang Hilang, Puluhan disiksa. Tidak ada penyelesaian pelanggaran HAM Hingga saat ini, terjadi impunitas terhadap pelaku.

2) Pelanggan HAM Wamena 04 April 2003, masyarakat Papua yang mengadakan hari paska mengalami penyisiran dikampung-kampung, Komnas HAM melaporkan sembilan orang tewas, 38 orang luka berat. Dilakukan Pemindahan Paksa 25 Kampung yang menyebabkan 45 orang meninggal karena terjadi penyiksaan, perampasan secara paksa. Hingga saat ini tidak ada penyelesaian, terjadi impunitas terhadap pelaku;

3) Pelanggaran HAM Paniai 8 Desember 2014, dikenal dengan ” Paniai Berdarah  “terjadi  penembakan  dilakukan  TNI  dan  Aparat  Kepolisian kepada warga yang melakukan unjuk rasa di depan markas TNI akibat pemukulan yang dilakukan aparat TNI kepada anak-anak di Pania. Empat orang tewas, kesemuanya pelajar SMA negeri 1 Pania, 13 orang terluka dilarikan kerumasakit , 1 orang meninggal dalam perawatan di rumah sakit Mahdi.

4)  Wamena Berdarah 6 Oktober 2000. Hal ini mengakibatkan sedikitnya 30 orang tewas dan 40 lainnya luka berat.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

5)  Pembunuhan  Theys  H  Eluay  dan  hilangnya  Aristoteles  Masoka  (10 November 2011)

6)  Peristiwa penangkapan Yawan Wayeni di Kabupaten Kep. Yapen tahun 2009, dan Penembakan terhadap Mako Musa Tabuni 2012,

7)  Peristiwa   Kongres   Rakyat   Papua   III   tahun   2011,   dan   peristiwa penangkapan Opinus Tabuni tahun 2012.

8)  Peristiwa 7 Desember 2000 Abepura. Tragedi ini korban 105 orang, 2 diantaranya meninggal dalam sel Polresta Jayapura akibat penyiksaan, 1 orang ditembak mati dan 22 orang lainnya ditangkap dan disiksa.

9)  Tragadi kemanusiaan di Nduga Desember 2018-April 2020, Intan Jaya desember 2019 hingga saat ini.

10) Banyak peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang belum pernah diselesaikan.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

E. Puncak Aksi Protes Perlawanan Damai Lawan Rasisme Terhadap Bangsa Papua Agustus 2019

Puncak Penentang orang  Papua  terhadap  ucapan  rasisme  pada Agustus 2019  di Surabaya bagian dari pada awal rentetan peristiwa yang terendam sejak  56  tahun, Rakyat  Papua  mengalami  stereotipe  atau  Papua  fobia, dimana harkat dan martabatnya tidak pernah dihargai oleh elit-elit intelektual di Indonesia.

Penentang yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat menjamurnya rasialisme dan Papua fobia terhadap orang Papua dan kulit hitam sesungguhnya bukan hal  baru di  Indonesia. Tindakan  itu  sudah  dilakukan  sejak pascaintegrasi politik Indonesia 1960-an kemudian 1980-an sampai hari ini dan terus berlangsung.

Sejak  penjajah  Kolonialisme  Belanda  terhadap  Indonesia,  rakyat  pribumi Jawa dianggap  inlader,  yang  artinya  bodoh,  udik,  dengan  derajat  yang rendah. Mereka memang tak membasmi orang-orang pribumi yang mereka sebut inlander seperti yang dilakukan KKK, tapi mereka menganggap rendah orang Indonesia[4].  Perbedaan derajat atau status terhadap rakyat pribumi Jawa maka mereka mendirikan, lembaga khusus untuk kaum Indonesia, yaitu Indo Europe Verbond (IEV) dengan tujuan rakyat pribumi bisa menjadi tuan diatas tanahnya. IEV didirikan oleh Karel Zaalberg pada 13 Juli 1919.

Salah seorang kewarganegaraan Belanda yang ikut aktif berjuang melawan Rasime dan penjajahan Kolonialisme Belanda adalah Eugene Francois Douwes Dekker, bersama Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara, mendirikan Indische Partij pada 1913. Partai itu menampung semua golongan dan ras yang ada di Hindia Belanda. Adanya wadah-wadah tersebut mulai membangun basis kesadaran rakyat  atas Penindasan, dan penjajahan, dan titik   awal   kesadaran   perjuangan   pembebasan   rakyat   Indonesia   untuk mengusir Kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang.

Setelah  Indonesia mendeklarasikan  kemerdekaan  sejak 1945, perbedaan, atara ras, atau etnis tidak hilang begitu saja, namun masih melekat pada intelektual orde baru, Hal yang sama stereotipe dialami oleh etnis Tiongkok pasca kudeta Sukarno sejak tahun 1965, Di Indonesia, etnis Tionghoa diidentikan sebagai “binatang ekonomi” yang senang meraup keuntungan. Mereka  dianggap  hanya  mau  berbisnis  tanpa  mau  memikirkan  urusan lainnya. Etnis Tionghoa apatis, tidak punya rasa nasionalis, dan angkuh. Bukti yang disodorkan adalah orang-orang Tionghoa kota yang semuanya (nampaknya) berurusan dengan dunia perdagangan dan tak mau bekerja di bidang lain, terutama pemerintahan dan kemiliteran[5].

5Rasialisme tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari sejarah buruk yang harus diselesaikan  bersama.  Sejarah  buruk  itu  terwujud  dalam  gagasan  dan presepsi negatif terhadap sebuah golongan yang sampai sekarang masih dipelihara dan sengaja disuburkan untuk kepentingan politik yang menjijikkan.

Secara peraktek dalam era modern rakyat Papua yang minoritas mengalami genoside,  dan rasis  secara  sistematis  dengan  pola  yang  berbeda,  hal tersebut   menggambarkan  dimana   ada   Kolonialisme   disitulah   muncul ungkapan kata-kata rasis, terus muncul terhadap rakyat Papua barat.

Tindakan dan ucapan rasis yang keluar dari intelektual Indonesia terhadap orang Papua sebagai berikut:

1)    Bahwa  pada Tahun 1969 Ali Murtopo, (Komandan OPSUS) Menyatakan Jakarta  sama  sekali  tidak  tertarik  dengan  orang  Papua  tetapi  Jakarta hanya tertarik dengan Wilayah Irian Barat (West Papua). Jika inginkan Kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah agar diberikan tempat di salah sebuah Pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati orang-orang Amerika untuk mencarikan tempat di bulan.[6]

2)  Setelah 47 tahun, pada 2016 ini dari bangsa yang sama, Jenderal Luhut Pandjaitan menghina orang asli Papua. „Orang Papua yang mau merdeka pindah saja di Pasifi

3)  Menko Polhukam) Mahfud MD Menyebut   Data Tapol Papua Sampah.

Dokumen Tersebut Berisi  57 tahanan politik dan 243 warga Papua yang tewas diduga akibat operasi militer sejak 2018. Sebanyak 57 orang Tahanan Politik Papua dalam hubungan dengan perlawanan rasisme sepanjang Agustus-October  2019  tersebar  dibeberapa  daerah  sebagai berikut: 6 orang di Jakarta, 4 orang di Manokwari, 1 orang di Jayapura, 7 orang di Balikpapan, 1 orang di Timika, 23 orang di Fakfak dan 15 orang di Sorong. Ungkapan Mahfud MD tersebut  menyakita hati Orang Papua dan saya sebagai tahanan Politik, sampah.[7]

4)  Pada Kamis  15 Agustus 2019 Pernyataan Wakil Walikota Malang Sofyan Edi Jarwoko mengancam bakal memulangkan mahasiswa asal Papua ke daerah asalnya. Ungkapan ini diutarakan Sofyan setelah demo Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia for West Papua di Malang.

F. Melawan Ujaran Rasialisme di Indonesia 

Unjaran Rasisme telah berlangsung sejak lama semua akumulasi yang terpendam dibenak rakyat Papua Barat tersebut mencuat pada 18 Agustus hingga September 2019. Dimana Pada tanggal 16-17 Agustus 2019 adanya ujaran rasial Monyet, Asu, dan Usir Papua, oleh Aparat TNI, Satpol PP, dan Ormas Reaksioner,  terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya.

Bahwa Pada Pengepungan oleh aparat dan ormas Reaksioner   terhadap asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 14 dan 15 Juli 2016 yang lalu bukanlah yang pertama kali. Sebelum 31 Mei 2016 pengepungan dari Brimob, mengunakan 9 truk Dalmas, 5 mobil patroli, dan puluhan motor berjejer. Para aparat membawa senjata amunisi lengkap. Dalam peristiwa tanggal 14 tersebut mengakibat korban Obi Kogoya. Dalam merespon insiden tersebut diJakarta melakukan Konversi pers Pengencangan terhadap tindakan aparat dan ormas reaksioner di asrama kamasan Jogya.

Bahwa pada Tanggal 14 Juli 2016 polisi menangkap 26 mahasiswa Papua di balai kota malang.

Bahwa Pada Tanggal 6 Juli 2018 telah terjadi pengepungan Asrama Masiswa Papua di Kamasan Surabaya  dengan tuduhan tidak Mau memasang bendera Merah  Putih  oleh  TNI/Polri  bersama  ormas  reaksioner  mendobrak  pintu pagar, menggeledah serta menangkap 49 orang mahasiswa Papua secara sewenang-wenang, dan di bawa ke Polrestabes Surabaya, diitrogasi selama 10 Jam.

Bahwa Pada tanggal 16-17 Agustus 2019 telah terjadi Peristiwa yang sama dialami oleh mahasiswa Papua disurabaya, dilontarkan ujaran rasial ” Monyet, Asu, Dan Usir Papua” kepada mahasiswa Papua di Surabaya, dari elit Aparat TNI dan Satpol PP serta ormas reaksioner FBI, Pancasila, dan Banser.

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

Merespon kejadian rasial disurabaya sejak tanggal 18 Agustus 2019 hingga September  2019  terjadi  terjadi  penyampaian  protes  luas  rakyat  Papua dengan menyampaikan pendapat dimuka umum diberbagai tempat Jayapura, Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, fafak, maibrat, mimika, deiyai, raja empat, Wamena, Merauke, Yahukimo,Yalimo. Tidak hanya dipapua tetapi terjadi unjuk rasa di kota – kota Indonesia lain, Jakarta, Semarang, jogya, bali, Bandung, Makasar, Medan, Ambon, Ternate, semua menolak Ujaran Rasial.

Bahwa pada Tanggal 22 dan 28 Agustus 2019 Mahasiswa Papua Sorong- samarai  diJakarta  telah  melakukan  unjuk  rasa    pengencaman  terhadap Ujaran  Rasial terhadap  mahasiswa  Papua  disurabaya  Dangan menyampaikan pendapat dimuka umum. Masa aksi sedang marah karena merasa Harkat dan martabat telah dilecehkan, dengan kemarahan tersebut mengibarkan bendera bintang kejora secara spontanitas, dan menuntut Hak Menentukan Nasip Sendiri untuk mengakhiri Rasialisme, dalam unjuk rasa tersebut berjalan damai, masa aksi membubarkan diri dengan tertib. Bahkan saya sebagai bagian dari pada korban ungkapan rasial, kini berakhir di balik jeruji besi.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Rentetan  peristiwa  Seperti  telah  dijelaskan  sebelumnya,  sejak  integrasi Papua kedalam Indonesian,   berumur  58 Tahun   kami orang Papua masih mengalami Tindakan Represif, Pengalagaran HAM, intimidasi, diskriminasi, Pembukaan Ruang Demokrasi, dan Masih terus menerus kami mengalami secara sistematis masif, menuju Genoside dinegerinya tanpa ada solusi konfrehensif dari Pemerintah.

Upaya pemerintah dalam menyelesaikan masalah orang Papua diperhadapkan dengan operasi-operasi moncong senjata, sejak 1961 hingga kini.  Bagi pemerintah dengan  pendekatan seperti ini akan menyelesaikan masala.  Pendekatan  militeristik  terlihat  jelas  tambal  sulam  masalah  yang sama  muncul   kembali   lagi.   Pendekatan   militeristik,   dan   desentralisasi asimetris di Papua masih belum relevan menjawab masalah Papua.

Era Presiden Gusdur telah memahami bagaimana cara pendekatan terhadap rakyat Papua, Gusdur memilih dialogis secara cultural terhadap rakyat Papua. dan memberikan jawaban, yang menurut saya relevan.

Upaya lain Pemerintah memberikan kewenangan khusus melalui UU nomor 21 Tahun 2001, untuk mendorak dari ketertinggalan. Otsus lahir karena adanya  Tuntutan  Kemerdekaan  Papua,  tetapi  Perjalanan  Otsus  masalah politik tidak dijalankan secara benar, MRP yang seharusnya dibentuk 2002 tetapi diulurkan sampai dibentuk 2005, banyak problem yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam merendam nasionalisme orang Papua.

Peristiwa Rasisme Surabaya membuka mata semua pihak dari Nasional hingga Internasional bagaimana untuk merendam suasa yang kian memanas karena kemarahan rakyat Papua yang sulit diredah. Dengan situasi seperti ini muncul ide baru dari berbagai pihak, dialogi sebagai solusi terhadap masalah Papua secara martabat.

Rasisme hanyalah bias dari akar masalah Papua, sebenarnya sebagaimana dikemukan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia) memberikan 4 akar masalah untuk menyelesaikan masalah di Papua Empat akar masalah itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan  diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.

Menurut hemat saya persoalan Akar Masalah di Papua dikemukan oleh LIPI di atas merupakan suplemen dari status Politik integrasi yang belum final, hal ini mengakibatkan    berdampak    pada    Pelanggaran    HAM,    Intimidasi, Diskriminasi, Marginalisasi, Rasialisme, Kegagalan Otsus, UP4B (Unit percepatan Pembangunan Papua dan Provinsi Papua Barat),    dan sebagainya.

Berbicara Masalah Papua menjadi dilematis antara pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua karena ada dua kelompok ideologis antara Papua Merdeka Harga Mati dan NKRI harga Mati keduanya Mati Harga.

Maka Setiap Masalah dipapua direspon dari kacamata Jakarta dengan politik, praktis penuh dengan kecurigaan, demikian juga orang melihat kebijaka Jakarta penuh dengan kecurigaan, keduanya saling mencurigai saling tidak percaya, rakyat Papua selalu menuntut Jakarta melihat Masalah Papua dengan kacamata orang Papua, artinya keinginan, kerinduan, harapan rakyat Papua untuk memutuskan mata rantai kekerasan  (Papua Tanah Damai) tidak menjadi slogan kosong.

Untuk menyelesaikan akar Masalah Papua kita harus kembali pada Problema Historis Kenapa Papua bisa ada di Republik Indonesia? Dengan pembahasan ini akan menjawab masalah Papua yang sesungguhnya.

Dalam pembahasan ini perlu dihadirkan semua pihak misalnya orang Papua diluar Negeri, Orang Papua di Indonesia dan orang Papua di Papua, kalau menghadirkan, Gubernur, bupati, Camat, perwakilan Pemerintah di daerah tidak  menjawab  akar  masalah  yang  sebenarnya,  malahan  masalah  yang sama akan terulang, kita tidak serius dalam selesai masalah Papua secara adil martabat.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Harapan saya kepada yang Mulia Majelis Hakim, dan Pemerintah Indonesia dan  Internasional  untuk memutuskan  mata  rantai  konflik  yang berkepanjangan di tanah Papua Barat, Pemerintah Indonesia mempunyai pengalaman baik dalam menyelesaikan konflik antara Gerakan Ace Merdeka (GAM) dan Pengalaman atas Referendum terhadap Rakyat Timur Leste. Bentuk pemenuhan dasar mudihkama Pembukaan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Meminta kepada Yang Mulia majelis hakim Merekomendasikan Untuk Berdialog dengan Organisasi Representasi Rakyat Papua   yaitu Pertama ” Persatuan  Gerakan  Pembebasan   Papua  Barat   atau   United  Liberation Movement for West Papua ( ULMWP) dimediasi oleh Pihak Ketiga yakni PBB, Kedua membuat Suatu Putusan Hukum Terkait Bendera Bintang Kejora sebagai Bendera Kultural demi menimalisir Penangkapan, Pemenjaraan Terhadap Orang Papua.

Mungkin dengan seperti ini kami Rakyat Papua bisa duduk dalam alam Kedamaian.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

G. Penutup 

Akhirnya sebagai penutup, saya yakin dan percaya di dalam hati yang Majelis Hakim Mulia tahu bahwa mengacu kepada fakta persidangan saya TIDAK BERSALAH.  Saya  bermohon keberanian  yang  Mulia  untuk  mengambil putusan tersebut, karena penyelidikan dan penyidikan telah dilakukan oleh para jaksa yang saya yakini tidak membuktikan unsur daripada pasal makar tersebut.

Pengadilan ini adalah tempat mencari keadilan, bukan ketidakadilan apalagi penghukuman, maka dengan alasan ini pula saya mohon sudilah kiranya Majelis Hakim MENOLAK SEMUA DAKWAAN DAN TUNTUTAN Jaksa Penuntut   Umum   dengan   menyatakan   bahwa  TUNTUTAN   TERSEBUT BUKAN UNTUK KEADILAN, MELAINKAN UNTUK PENGHUKUMAN, Terhadap orang-orang   Papua Yang sedang Mencari Keadilan sehingga Dakwaan JPU TIDAK TERBUKTI secara sah dan meyakinkan.

Demikian Pembelaan dari saya. Atas perhatian dan kebijaksanaan Yang Mulia saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

 

Jakarta, Rumah Tahanan Salemba 13 April 2020

Ambrosius Mulait

Artikel sebelumnyaPengurus Baru IPMDS Kabupaten Yahukimo di Jayapura Dilantik
Artikel berikutnyaKetua DAP III Doberay Tutup Usia