Melindungi Tanah Adat Papua

0
2144

Oleh: Dr. Agus Sumule)*

Saya ingin memulai dengan menyampaikan `statistik’ berikut ini. Di dalam UU Otsus Papua kata/istilah “adat” disebut 109 kali; “adat istiadat” disebut 4 kali; “masyarakat hukum adat” disebut 32 kali; “masyarakat adat” disebut 30 kali; “hak ulayat” disebut 18 kali; “kultural” disebut 5 kali; dan “budaya” 16 kali. Sementara kata “uang” disebut 3 kali; dan “dana” hanya 7 kali.

Dengan content analysis yang sangat sederhana seperti ini, kita bisa dengan gampang menyimpulkan sebetulnya apa yang seharusnya menjadi fokus dalam implementasi Otsus: masyarakat adat Papua dan berbagai hal yang terkait dengan mereka.

Khusus mengenai tanah adat, saya mencatat sudah banyak upaya yang dilakukan selama 20 tahun terakhir ini oleh berbagai pihak. Dewan Adat Papua (DAP) tidak pernah lelah berjuang. Saya beruntung beberapa kali diundang hadir dalam pertemuan-pertemuan oleh DAP.

Selain itu, topik penting ini juga dibahas oleh pihak-pihak lain yang peduli, misalnya pertemuan Kerasulan Awam Gereja Katolik di Jayapura pada tahun 2018. Di Papua Barat, pada bulan Desember 2019, DAP Wilayah III Doberai melakukan diskusi di Unipa dengan mengundang mantan Kakanwil Pertanahan Papua sebagai salah seorang pembicara.

ads
Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Ada 3 (tiga) tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua:

  1. bagaimana melindungi tanah-tanah adat sehingga tidak berpindah kepemilikan
  2. bagaimana mengambil kembali tanah-tanah adat yang diambil/diperoleh dengan tidak memenuhi rasa keadilan — baik rasa keadilan masyarakat adat pada saat itu maupun keturunannya pada masa kini/mendatang; dan
  3. bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat dari tanah tersebut tanpa harus kehilangan hak kepemilikan atasnya.

Ada beberapa kebijakan yang seharusnya dilakukan untuk menjawab tantangan itu:

  1. Harus ada peraturan daerah yang secara spesifik memuat tentang pengakuan pemerintah atas kepemilikan suku atau keret atas wilayah tertentu, yang didasarkan atas hasil pemetaan partisipatif yang diakui oleh suku-suku atau keret-keret di wilayah itu.
  2. Peraturan daerah yang sama melarang masyarakat hukum adat untuk menjual tanah adat. Filosofi/dasar pelarangan tersebut adalah karena tanah adat itu bukan milik generasi yang ada sekarang ini saja, tetapi juga generasi mendatang.
  3. Peraturan daerah yang sama mendorong masyarakat hukum adat untuk memperkuat kelembagaan adatnya sehingga mampu berada pada posisi yang kuat dan setara ketika terlibat dalam negosiasi dan kerjasama dengan pihak lain guna pemanfaatan tanah adat tersebut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat. Kemungkinan bentuk kerjasama itu di antaranya adalah sewa lahan, equity participation atau profit sharing — dalam jangka waktu tertentu.
  4. Manfaat finansial yang diterima oleh masyarakat hukum adat dari kerjasama sebagaimana dimaksud dalam nomor (3) di atas harus dikelola dalam bentuk Dana Abadi sehingga generasi akan datang tetap memperoleh manfaat.
  5. Bagi tanah-tanah adat yang sudah terlanjur dimiliki oleh pihak lain bisa diselesaikan dengan menggunakan pasal 40 ayat (2) UU Otsus Papua: “… perizinan dan perjanjian yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan.”
  6.  Alternatif lain terhadap hal nomor (5) di atas bisa dilakukan dengan cara pemerintah kabupaten/kota mengembalikan seluruh nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau yang setara dengan itu kepada masyarakat adat yang tanahnya sudah diambil untuk kegiatan pembangunan — baik yang sudah bersertifikat (misalnya: kawasan eks-transmigrasi, fasilitas pemerintah) maupun yang sementara ini digunakan oleh pihak lain atas dasar HGU (hak guna usaha) yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Baca Juga:  Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

)* Penulis adalah Peneliti dan Dosen di Unipa Manokwari, Papua Barat

Artikel sebelumnyaPer 16 April, Kondisi 56 Pasien Covid di Papua Membaik
Artikel berikutnyaMahasiswa FK Uncen Minta Pemkab di Lapago Fokus Sosialisasi PHBS