Menghadirkan Mambesak di Sekolah

Mengenang 36 Tahun Arnold Ap Dibunuh

0
2225

Oleh: Benediktus Fatubun)*

“Kita bernyanyi untuk hidup dahulu, sekarang dan nanti” motto mambesak

Hari ini 36 tahun silam, salah satu Putra terbaik Bangsa Papua dibunuh oleh pemerintahan Indonesia.  Dia adalah Arnold ap. Seorang Antropolog dan kurator di Universitas Cenderawasih Jayapura. Dia bersama Mambesak bernyanyi dan menabuh Tifa untuk mempertahankan dan menghidupkan budaya Papua. Dari kepala burung hingga ekor, mereka bertualang untuk mendengar dan mengumpulkan setiap nyanyian dari masing-masing suku di daerah Papua untuk diaransemen nantinya. Mereka sadar, perlawanan melawan sistem-sistem pemusnahan budaya Papua tidak mudah. Untuk itu mereka bernyanyi dan bergoyang guna menunjukkan kepada semua orang bahwa, melawan tak selamanya harus menggunakan kekerasan.

Tulisan ini bertujuan untuk menganjak semua guru agar memasukkan Grup Band Mambesak sebagai salah satu materi ajar dalam pembelajaran Sejarah dan Seni Budaya di sekolah-sekolah. Pembahasan ini saya fokuskan di SMA. Kenapa di SMA? Saya memilih di SMA karena terdapat Kompetensi Dasar (terkait materi yang harus diajarkan) yang memungkinkan guru untuk memperkenalkan Grup Band Mambesak di sekolah. Jika pembaca ingin memasukkannya di SMP tak jadi masalah. Apa pentingnya memasukkan Grup Band Mambesak dalam mata pelajaran Sejarah dan Seni Budaya? Kenapa harus melalui pelajaran Sejarah dan Seni Budaya? Kenapa harus melalui guru-guru? Bagaimana caranya?

Menghadirkan Mambesak di sekolah, penting ka?

ads

Mari kita tinjau dari sejarah lahirnya Mambesak (serta tujuannya) untuk sampai pada jawaban pada sub judul ini. Manyori (burung nuri) kemudian berganti nama menjadi Mambesak (burung Cenderawasih) didirikan di Kampus Uncen (Universitas Cenderawasih) Jayapura dan mulai berkiprah di awal tahun 70-an.

Grup band ini awalnya beranggotakan Arnold Ap yang ketika itu menjabat sebagai kepala Museum Uncen, Sam Kapissa dan Jopie Jouwe. Tahun 1972, mereka (masih dengan nama Manyori) mengiringi lagu-lagu rohani di Gereja Harapan Abepura. Pada tanggal 15 Agustus 1978 Mambesak didirikan dan mulai mengisi acara hiburan sore di halaman Museum Loka Budaya (Museum Antropologi) Uncen. Pergantian nama Manyori menjadi Mambesak adalah bertolak dari sebuah pandangan untuk merangkul semua suku dan budaya yang ada di Papua. Jika merujuk dari makna kedua kata tersebut; Manyori yang dalam bahasa Biak-Numfor yang artinya burung nuri, hanyalah burung yang menurut orang Biak adalah binatang suci, sedangkan Mambesak (Burung Kuning/Cenderawasih) merupakan burung yang dihormati seluruh masyarakat Papua. Sebuah penggunaan nama sebagai identitas yang mengikat semua manusia Papua.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pada tanggal 17 Agustus 1978, Mambesak menampilkan lagu-lagu dan tarian-tarian rakyat Papua yang berhasil mereka himpun. Mulai dari situlah aktifitas untuk berkumpul, menyanyi dan menari berbagai nyanyian, dan tarian dari berbagai suku di papua dilakukan secara rutin di halaman museum Uncen. Lagu-lagu Mambesak berasal dari bahasa-bahasa daerah dari hampir sebagian besar wilayah di Papua; Bahasa Mimika, Auyi, Biak, Tobati, Kendate, Moor Mambor, Asmat, Waropen, Ayamaru, Kimaam, Ambai, Iha, Serui, Barapsi, Woi, Baruai, Marind, Baruai, Kurima, Muyu. Hal ini menunjukkan tak hanya Bahasa Biak saja yang mendominasi syair-syair lagu dari Mambesak. Karena aktifitas di atas Arnold Ap dibunuh oleh Koppasandha (kini Kopassus) di Pantai Pasir Enam (sebelah timur kota Jayapura) pada tanggal 26 April 1984.  (lebih lanjut tentang Mambesak baca: Jiwa Yang Patah, I Ngurah Suryawan, Penerbit Kepel Press, hal 180-201)

Baca juga: Mambesak, Syairnya yang Meneduhkan Jiwa

Sejarah singkat di atas menunjukkan bahwa Mambesak sangat penting dimasukkan kedalam sekolah dengan tujuan agar generasi muda Papua dapat mengenal mereka sebagai kelompok yang pernah ada dan mengabdikan hidupnya untuk menjaga dan memperkenalkan budaya Papua ke seluruh dunia. Selain itu, mambesak harus diajarkan di sekolah agar kaum muda paham bahwa ada banyak cara yang dapat digunakan untuk merawat eksistensi Budaya Papua.

Sejarah dan Seni Budaya adalah wadahnya

Kedua pelajaran tersebut menurut saya sangat memungkinkan sebagai wadah memasukkan materi yang berhubungan dengan Mambesak. Menurut saya ada beberapa celah dalam Kompetensi Dasar (KD) kedua pelajaran tersebut yang memungkinkan guru memasukkan Mambesak dalam materi ajar. Pertama, dalam Pelajaran Sejarah untuk kelas X terdapat KD yang memuat pembahasan terkait budaya.

Secara spesifik KD yang dimaksud adalah  KD 3.6 Menganalisis karakteristik  kehidupan masyarakat, pemerintahan dan kebudayaan pada masa  kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia dan  menunjukan contoh bukti-bukti yang masih berlaku pada kehidupan masyarakat Indonesia masa kini. KD ini pada dasarnya membahas soal budaya setempat berserta akulturasi yang terjadi di Jawa dan Bali beserta konsekuensinya.

Kedua, dalam materi Seni Budaya kelas X, terdapat materi pembelajaran yang sangat memungkinkan untuk memasukkan materi tentang Mambesak. Materi Seni Budaya dalam silabus Kelas X terdapat materi soal Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari dan Seni Teater yang memiliki KD yang sangat memungkinkan untuk menerapkan konsep ini. Terkait bagaimana cara penerapannya dalam ruang kelas, akan dibahas dalam sub judul “Bagaimana Caranya?”.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Kenapa Harus Melalui Guru?

Mungkin kalian yang membaca tulisan ini akan berkata, bagaimana mungkin guru-guru bisa menerapkan ide ini? kan guru tak punya otoritas dalam membuat kurikulum? Kurikulum mengajar tidak memuat materi ini? Saya akan menjelaskan kenapa harus seorang guru.

Bagi saya, gurulah (konteks di sekolah) yang bisa memperkenalkan (dalam konteks ini) Grup Band Mambesak ke anak-anak muda di sekolah. Mengapa bisa demikian? Karena jika kita melihat berdasarkan logika otoritas di lembaga pendidikan, maka guru sebagai seseorang yang berkuasa penuh atas pelajarannya, dapat memberikan apa yang baginya boleh diketahui siswa dan sebaliknya. Jelas pernyataan di atas terlepas dari pandangan filsafat pendidikan kritis soal ungkapan yang sering ditanyakan; “Bagaimana mungkin seorang guru bisa menentukan pengetahuan mana yang boleh diketahui siswa dan sebaliknya? Ukurannya apa?” Terkait pandangan dan pertanyaan tersebut kita lewatkan dulu. Bukan tidak penting, namun biarkan tulisan ini tetap fokus sesuai judulnya. Pada posisi tersebut, guru mempunyai keleluasaan untuk menyampaikan materi dan pada saat yang bersamaan apa yang dikatakan guru (walaupun sedikit) akan diingat oleh para siswa.

Selain itu jika melihat paradigma masyarakat dan para siswa yang kebanyakan meng-amin bahwa apa yang dikatakan guru adalah sepenuhnya benar, maka guru mempunyai peran besar dan sangat mungkin untuk memperkenalkan Grup Band Mambesak. Pada taraf ini, saya sepaham dengan logika di atas. Pada dasarnya logika (apa yang dikatakan guru sepenuhnya benar) tersebut menyesatkan pola pikir. Namun, apa salahnya jika logika sesat tersebut (untuk sementara) kita gunakan untuk memasukkan materi yang dapat mengantar para siswa keluar dari kesesatan akan sejarah budaya sendiri? Tapi bagaimana pun logika sesat tersebut harus dikurangi.    

Bagaimana Caranya?

Terkait “bagaimana” bukanlah soal mudah. Ini persoalan yang pelik. Pada titik ini para guru dituntut menjadi guru yang mempunyai wawasan luas, kreatif dan tentunya mempunyai misi dalam mendidik para siswa. Terlepas dari semua kepelikan tersebut saya ingin berbagi tips “Bagaimana Caranya?”.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ulasan pada sub judul di atas sudah menjelaskan bahwa di dalam mata pelajaran sejarah dan seni budaya terdapat beberapa KD yang jika dicermati secara cermat dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memperkenalkan Grup Band Mambesak. Sebagai contoh, dalam materi Sejarah Wajib untuk kelas X terdapat KD yang membahas soal akulturasi budaya. Melalui KD tersebut guru menarik korelasi antara materi dan mengganti objek yang ada dalam buku tersebut dengan masalah kebudayaan yang ada di Papua. Selanjutnya guru bisa memantik diskusi di kelas dengan pertanyaan seperti ini; menurut kalian apakah di Papua sudah terjadi akulturasi budaya? Apa akulturasi berbahaya bagi budaya Papua?  Bagaimana bentuk penanganannya agar budaya Papua tidak hilang? Ini adalah pertanyaan yang dapat membimbing siswa ke titik di mana mereka akan berjumpa dan berkenalan dengan Mambesak.

Baca juga: Mambesak: Membangun Nasionalisme dan Identitas Papua

Pola yang  sama dapat diterapkan juga pada Pelajaran Seni Budaya Kelas X. Dalam silabus Seni Budaya kelas X materi dibagi menjadi beberapa topik pembahas. Ada Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari dan Seni Teater. Di sini guru perlu menghubungkan semua materi dengan memperhatikan konteks Seni Budaya lokal (Papua). Teks tak boleh terlepas dari konteks kira-kira begitu. Kalau guru mampu memperhatikan konteks tersebut, guru bisa saja mengajukan pertanyaan begini; Menurut kalian apakah ada kelompok yang berjuang untuk mempertahankan eksistensi budaya Papua? Dari pertanyaan seperti itu, guru dapat mengajak siswa untuk mengenal rupa Arnold Ap dan Mambesak. Guru dapat membantu siswa mendengar lantunan musik yang hadir dari pukulan tifa dan petik juk dan bas Mambesak. Guru dapat mengajak siswa untuk merasakan getaran bumi Papua akibat dari tarian-tarian rakyat yang dibawakan oleh pemuda-pemudi di halaman Museum Loka Budaya Uncen. Guru dapat mengajak para siswa untuk melihat teater yang dibawakan oleh Mambesak dengan bercenjatakan tifa, cuk dan Bas guna mempertahankan eksistensi Budaya Papua.

Mambesak adalah tifa, juk dan Bass. Karena mereka sudah dipukul dengan kuat, maka kita menjadi suaranya yang bergema memenuhi semesta, merasuki segala tumbuhan, binatang dan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini sehingga tak bisa dimusnahkan dengan bedil sekalipun.

 )* Penulis adalah petani di Tanah Merah, Boven Digoel

Artikel sebelumnyaFreeport Keras Kepala!
Artikel berikutnyaDPRD Tambrauw Tidak Punya Pos Anggaran Khusus Untuk Covid-19