Proyek Pembebasan Pemikiran

0
1543

Oleh: Ustadz Ismail Asso)*

Agama-dan Kosong-isme

Kata kosong dan agama dikaitkan untuk memudahkan penjelasan. Kata kosong-isme sama maksudnya nihilisme. Yakni aliran filsafat yang menganggap bahwa hidup manusia tidak punya tujuan. Beberapa filsuf yang pernah menulis mengenai nihilisme adalah Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger.

Istilah nihilisme sendiri pertama dicetuskan oleh Ivan Turgenev dan diperkenalkan ke dunia filosofi oleh Friedrich Heinrich Jacobi (1743–1819).
(Wikipedia).

Pakai kata kosong disini agar mudah dipahami pembaca. Para ahli ilmu sosial, mengakui bahwa manusia sesungguhnya tidak “betah”, hidup tanpa harapan, tujuan hidup dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan yang disebut mythos.

ads

Tujuan tidak melekat pada benda tapi pada keyakinan, apapun keyakinan itu. Manusia dengan demikian tidak akan bahagia hidup tanpa tujuan. Karena itu menurut Frans Magnis, manusia butuh alamat, untuk mengarahkan tujuan hidupnya (Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar, 1997).

Manusia tidak mungkin, hidup tanpa ada tujuan, pegangan dan landasan kepercayaan sebagai mythology, betapapun palsu, ia memberi makna hidup bagi yang mempercayainya.

Manusia untuk itu butuh simbol, tanda, agar bisa menghayati makna terdalam dari arti hidupnya untuk mengarahkan semua pengabdian hidup didunia.

Dalam filsafat Yunani pengertian myhtos sendiri, hanya ceritera khayalan, ceritera rekaan yang belum pasti benar pernah terjadi. Pada saat sekarang, era science dan teknologi, para ahli ilmu sosial dan antropologi Barat umumnya menyebut hal demikian sebagai mythology.

Dalam agama, Islam misalnya tidak luput dari unsur kepercayaan ceritera mythos. Banyak kisah dalam agama seperti Haji (mengunjungi baitullah), kisah Nabi Ibrahim AS (Abraham) sebagai contoh mythos dalam agama.

Kisah Nabi Ibrahim AS yang kemudian dilaksanakan kaum muslimin seluruh dunia setiap tahun itu, menurut Nurcholis Majid (Cak-Nur) dapat dikategorikan sebagai pengulangan ceritera mythos atau mitology dari Nabi Ibrahim AS dalam agama Islam. (Nurcholis Madjid, 2000, h.176).

Kebalikan dari tidak percaya pada Tuhan agama samawi (Islam Yahudi dan Kristen) adalah atheisme, suatu kepercayaan juga, tapi percaya pada obyek selain Tuhan misalnya pada ilmu pengetahuan yang melahirkan modernisme.

Ilmu atau sciencesm, menurut Cak-Nur (2000), sebagai isme (paham) baru bagi kebanyakan manusia modern terjerembab pada sikap percaya pada rasionalisme berlebih, dengan meminjam istilah Cak-Nur sebagai piranti, sebagai Tuhan palsu dari sudut pandang agama formal.

Kemudian nihilisme suatu ajaran (isme) kepercayaan pada ketiadapercayaan. Nihilisme dan atau atheisme sesungguhnya oleh akibat pencerahan dan kepercayaan rasionalisme yang berlebih.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Setiap yang tidak dilihat-buktikan bagi para rasionalis sekular adalah mythos. Tokoh nihilisme misalnya Albert Camus, Freud dan Friedrich Nietzsche, tidak percaya pada Tuhan. Nietzsche mengumumkan, ‘Tuhan telah mati’. Kita hidup bebas (tanpa Tuhan). Bahkan Albert Camus hidup atau mati sama saja, atau mati sekarang atau nanti akhirnya mati juga.

Baginya hidup hanya beban lebih baik mati sekarang, tanpa kepercayaan atau harapan masuk sorga atau takut neraka karena sepenuhnya dia tidak percaya eksistensi tempat itu. Dia kemudian mati bunuh diri, karena baginya sama saja mati nanti atau sekarang. (Frans Magnis, 13 Tokoh Etika, h. 135).

Dominasi ilmu dan tekhnologi di Barat dewasa ini sebagai akibatnya secularisme (paham hanya percaya pada ilmu dan tekhnologi saja), menyebabkan orang Barat banyak yang kurang memperdulikan agama. Malahan modernisme sebagai piranti (istilah Cak-Nur) atau berhalaan baru bagi mereka adalah gejala umum.

Mereka lebih banyak menganggap agama hanya urusan kuburan atau mati yang amat jarang di perhatikan, adalah problema tersendiri di Barat (Cak-Nur, 2000, h. 14-15).

Berbeda dengan agama samawi (langit), Abramic Religion, yang sepenuhnya percaya pada adanya Tuhan. Agama dan religi atau agama alam, seperti Honai Kaneke, Hindu, Budha, Conghucu, Shinto juga mendasarkan kepercayaan terhadap obyek tertentu selain Tuhan sebagai Tuhan.

Tapi apakah hanya agama formal sajakah, yang berhak mengisi isi hati kita untuk mendorong kita, manusia, menghayati hidup, agar hidupnya bermakna, dan berpengharapan? Banyak ahli berpendapat bahwa tidak hanya agama, yang berhak memberi makna hidup, bagi kehidupan manusia.

Jalaluddin Rahmat, (2005) dalam bukunya “psikologi agama” menjelaskan bahwa bagi kebanyakan orang Barat yang atheis, atheisme juga memberi rasa makna hidup bagi penganutnya walau oleh agama sebagai Tuhan palsu. Maka dengan demikian, Adat atau Kaneke (Papua), dapat juga memberi makna hidup.

Jangankan Kaneke atau religi semacamnya yang memiliki konsep dan sistem kepercayaan, ideologi komunis yang anti Tuhan sekalipun, adalah sistem kepercayaan yang memberi semangat pasukan Unisoviet akan ideologi komunis dan rela mati berhadapan dengan pasukan Amerika yang Kapitalis yang mengaku percaya Tuhannya agama formal (Cak-Nur, 2000).

Oleh sebab itu Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat.

Adat yang dimaksudkan adalah bahasa, warna kulit, bentuk rambut, marga, kepercayaan adat, pekerjaan, mata pencaharian, tempat tinggal atau singkatnya semua yang mengikat persamaan dan persatuan sebagai simbol persaudaraan orang Papua.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat persaudaraan Papua, dikala dichotominasasi oleh agama juga terus mau merajelela.

Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya. Kalaupun ada usaha dominasi suatu agama dengan membunuh Kaneke (jati diri manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak.

Islam misalnya tidak boleh memaksakan diri dengan memasarkan kebenaran keyakinannya pada para pemeluk agama di Papua yang sudah beragama.

Jika itu terjadi maka harus di hadapi oleh Adat bukan oleh agama. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan.

Islam juga misalnya mau mengharamkan babi adalah sesuatu yang memaksakan atau akan menghilangkan adat, walau baik menurut islam tapi tidak dapat diterima oleh adat meskipun sekunder posisinya dalam adat.

Oleh sebab itu setiap kecenderungan membasmi adat dan budaya oleh agama harus di cegah. Tapi kalau itu menyangkut hal yang primer dan prinsip bukan yang sekunder.

Peran Negatif Agama

Betapa tidak sedikit oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama, peperangan (pembunuhan manusia) atas nama kebenaran agama telah menjadi banyak bukti terjadi di muka bumi.

Andaikan gunung, bukit, batu, tanah, pohon, hewan dan lain dapat berbicara, ia dapat bercerita bahwa; oleh akibat fanatisme pemeluk agama, ribuan nyawa anak manusia menjadi korban sia-sia kebiadaban manusia.

Agama penyebab utama manusia dibunuh. Agama menyebabkan telah banyak korban nyawa manusia menjadi sia-sia.

Demikianlah contoh di Ambon, agar kita tidak jauh-jauh menyebut Bosnia atau Perang Salib pada masa silam. Demikian baikkah agama sesungguhnya?

Pasti ada yang membela agama, dengan mengatakan bahwa yang salah bukan agama tapi manusia sebagai pemeluk agamanya.

Herankah kita oleh ulah fanatisme agama, ratusan bahkan ribuan angka yang diberikan oleh Dewan Gereja Indonesia, pembakaran Gereja oleh kaum pemeluk fanatik Islam yang melakukan pembakaran, menjelang Hari Raya agama Nasrani; Natal dan Paskah?

Bahkan Pendetanya mendapatkan nasib sial sejak zaman Soeharto berkuasa? Hal demikian di Indonesia (negara yang membanggakan diri sebagai negara demokratis), masih berlangsung, sampai dengan pemerintahan yang berkuasa sekarang, perlindungan terhadap rakyat pemeluk agama dianggap buruk.

Kurangnya perlindungan oleh pemerintah, menjadi alasan benar kekerasan oleh akibat kepemelukan agama yang fanatik buta. Semua ini menjadi contoh keburukan agama atau oleh akibat kepemelukan fanatik buta agama.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kalau begitu kenapa kita mau mempercayai agama? Hanya agama sajakah yang membawa kita pada kebaikan, harapan dan tujuan hidup? Tidak!

Adat betapa pun dianggap palsu dan rendah oleh agama dapat membawa kebaikan, tujuan dan harapan.Adat dapat dipedomani sebagai penuntun arah, tujuan, alamat, signal, menuju pada obyek kepercayaan untuk mencapai hidup bahagia, agar hidup ada makna, hidup ada arti, akhirnya sebagai semangat pemersatu dalam persatuan dan kesatuan kemanusiaan manusia.

Sebab agama sesungguhnya kepercayaan pada obyek transendental, diluar dari kenyataan disini. Agama adalah kepercayaan pada hal-hal yang bersifat eskatologi (Sorga, Neraka, Tuhan, Maikat, Setan dan juga Iblis) yang tidak dapat dibuktikan oleh siapapun manusia di dunia.

Kita dianjurkan oleh agama mempercayai begitu saja, tanpa pernah merasa benar, atau sudah merasakan bagaimana sorga, atau panasnya api neraka itu.

Karena itu agama sesungguhnya juga adalah idealisme, idealisme yang memproses terus untuk memberi janji, janji hidup manis sorga dengan para bidadari dan ketakutan akan api neraka, tanpa pernah kita tahu persis benar ada atau tidak tempat itu.

Bahkan dimana letak tempat-tempat itu beserta Sang Pembuat dan Pemilik Tempat itu (Tuhan). Siapa saja manusia tidak tahu, kecuali kembali kepada mythos (percaya).

Agama adalah suatu sistem kepercayaan tanpa pernah kita mengalami benar-benar kebenaran ceritera semua itu. Dogma kepercayaan agama terus ditanamkan (indoktrinasi) , oleh para ulama, pendeta dan pastor dari sejak kita belum lahir sampai kita mati, ceritera (mythos) terus akan begitu.

Adat dan Agama

Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan nilai-nilai lokal yang utama atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat.

Adat yang dimaksudkan disini adalah ciri khas daerah yang mengikat rasa persatuan dan persaudaraan manusia. Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat persaudaraan Papua, di kala dikotominasasi oleh agama mau meraja lela.

Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya masyarakat Papua. Kalaupun ada usaha membunuh Kaneke (simbol, manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak.

Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan.

)* Penulis adalah Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua.

Artikel sebelumnyaKarena Bentrok, Judi Dadu yang Marak di Paniai Ditutup
Artikel berikutnyaBiak Numfor Lawan Malaria