Bagaimana Kalau Covid-19 Tak Kunjung Pergi?

0
1150

Oleh: Agus Sumule
Dosen Universitas Papua

Pada akhir April 2020, Denny J.A. memprediksi bahwa upaya pemutusan penularan Covid-19 akan tuntas 99% pada akhir Juni tahun ini juga. Karena yang membuat ramalan ini adalah seorang pakar, maka tak ayal banyak orang menyambut gembira ramalan itu. Mereka berharap ramalan Denny J.A. tentang Covid-19 ini akan sejitu ramalannya memprediksi hasil Pemilu.

Tetapi, hanya seminggu lalu kita harus menerima kabar yang tidak sedap dari Badan Kesehatan PBB: “this virus may never go away”, virus ini mungkin tidak akan pernah hilang. Yang mengatakan hal itu adalah Dr. Mike Ryan, Direktur Kedaruratan WHO.

Bahkan, Bapak Presiden Jokowi sendiri sudah berbicara tentang new normal, atau pola hidup normal versi baru.

Bagaimana kita di Tanah Papua sebaiknya menyikapi perkembangan ini?

ads

Pertama, kita jangan lupa, bahwa masih banyak kampung, pulau, atau komunitas yang sejauh ini belum terpapar sama sekali terhadap Covid-19. Dan, karena itu, masyarakatnya tetap bisa hidup normal.

Masalahnya, kita sudah terlanjur menggunakan provinsi, kabupaten dan kota sebagai basis analisis penularan Covid-19. Misalnya, ketika dilaporkan, bahwa per tanggal 20 Mei 2020 di Kabupaten Raja Ampat sudah ada 16 orang yang positif terinfeksi Covid-19, muncullah di benak kita anggapan bahwa seolah-olah seluruh Raja Ampat sudah masuk kategori merah!

Benarkah? Sudah barang tentu tidak. Di Kabupaten Raja Ampat ada 35 pulau yang berpenghuni di antara 610 pulau besar dan kecil. Sama sekali tidak keliru kalau kita mengasumsikan bahwa ke-16 orang itu mungkin ada di satu lokasi saja. Misalnya di Kota Waisai yang jumah penduduknya kurang lebih 9.000 orang. Berarti ada sekitar 39.000 orang penduduk di pulau-pulau lainnya yang bisa kita asumsikan tidak terpapar Covid-19.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Kita perlu bekerja lebih agresif untuk melindungi mereka yang tidak terpapar Covid-19 itu. Kita harus bekerja cepat, tepat dan sistematis untuk mengidentifikasi komunitas/kampung/pulau yang sebenarnya masih bebas Covid-19.

Ini bisa dicapai dengan upaya surveilans yang mendalam. Selain itu, perlu dilakukan desentralisasi pengujian berbasis PCR yang memberikan hasil yang 100% terpercaya.

Apabila para petugas surveilans menemukan alasan yang kuat bahwa warga komunitas/kampung/pulau tersebut pernah terpapar kepada sumber Covid-19, maka perlu ditindaklanjuti dengan pengujian swab dengan peralatan PCR untuk mengetahui apakah ada yang telah tertular Covid-19 atau tidak.

Kedua, infrastruktur yang paling diperlukan ke depan adalah internet. Semua penduduk di Tanah Papua harus memiliki akses ke internet, karena internet akan memudahkan mereka untuk memperoleh akses ke informasi – baik informasi pendidikan, kesehatan, ekonomi, maupun pelayanan administrasi kependudukan oleh pemerintah, walaupun Covid-19 ada di tengah-tengah kita.

Tidaklah berlebihan kalau kita katakan virus Corona bisa melekat dan menular melalui banyak media, tetapi dia tidak akan pernah menginfeksi orang lain melalui internet!

Saya bertanya kepada seorang ahli teknologi informasi di Unipa tentang apakah mungkin semua penduduk di Tanah Papua memiliki akses ke internet, termasuk di tempat-tempat yang terpencar dan terpencil. Ini jawaban beliau: “Teknologi internet itu sudah mature, sudah matang. Yang diperlukan hanya dua, yaitu dana dan kemauan politik.”

Apakah pemerintah di Tanah Papua punya dana untuk membangun sistem internet bagi seluruh rakyatnya? Seharusnya ada! Ini hitungannya:

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, rata-rata 13,4% dari APBD di seluruh Indonesia digunakan untuk Perjalanan Dinas.

Total APBD provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat pada tahun 2018 adalah kurang lebih Rp 20,8 triliun, sementara di Provinsi Papua Rp 51,5 triliun. Artinya, pada tahun anggaran 2018, kurang lebih Rp 9,7 triliun APBD di Tanah Papua dibelanjakan untuk keperluan perjalanan dinas!

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Seharusnya sebagian besar dari dana perjalanan dinas itu bisa dialihkan untuk membangun jaringan internet di seluruh Tanah Papua. Kenapa? Karena berbagai alasan yang selama ini dipakai untuk melakukan perjalanan dinas, seperti mencari investor ke luar negeri, studi banding, bimtek, mengunjungi para penerima beasiswa, semuanya itu bisa dilakukan melalui internet.

Bagaimana dengan penyelenggaraan pendidikan? Internet memeratakan akses siswa kepada pendidikan yang bermutu. Internet akan membuat kualitas pendidikan di Anggruk Yahukimo tidak berbeda dengan di Kota Jayapura, atau di Senopi, Lembah Kebar, dengan Kota Manokwari.

Guru akan berubah fungsi menjadi fasilitator belajar. Anak-anak kita otomatis akan menjadi warga dunia, karena mereka bisa belajar langsung dari sumber-sumber belajar internasional terbaik. Apalagi, banyak lembaga pendidikan nomor wahid yang menyediakan bahan-bahan belajar secara gratis di youtube.

Sama halnya dengan pembangunan di bidang kesehatan. Internet akan membuat tenaga kesehatan di Puskesmas, Pustu atau berbagai klinik di Tanah Papua tersambung dengan mudah dengan dokter-dokter ahli – tidak saja di Papua, tetapi juga di rumah-rumah sakit besar di Indonesia, bahkan di luar negeri. Diagnosis penyakit bisa lebih mendalam dan lebih cepat. Bahkan tindakan yang diambil oleh tenaga kesehatan di tingkat lokal bisa diarahkan dari jarak jauh oleh para dokter ahli.

Internet pun besar manfaatnya bagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Apabila internet menjangkau seluruh pelosok Papua, maka semua proyek pembangunan dapat dipantau dengan mudah. Semua rakyat bisa mengetahui dengan terinci proyek pembangunan apa yang akan dibangun di wilayah mereka. Mereka bisa melaporkan dengan mudah – lengkap dengan foto dan/atau video – tentang kemajuan dan kualitas setiap kegiatan pembangunan yang dibangun di daerah mereka. Korupsi akan sulit sekali terjadi.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Internet juga akan membuat ekonomi kita lebih dinamis dan efisien. Kakao organik yang dihasilkan petani di Ransiki, Nabire, atau Sarmi; atau kopi arabica dari Baliem, Pegunungan Bintang atau Ambaidiru; atau juga rumput laut di Teluk Cenderawasih dan pala di Fakfak – semua komoditas ini bisa dijual langsung oleh petani ke pembeli nasional/internasional dengan harga yang lebih tinggi karena tidak lagi melalui perantara.

Demikian pula dengan demokrasi kita. Dengan internet, kita bisa melaksanakan e-voting yang adalah pilihan penyelenggaraan Pemilu yang paling sesuai dengan protokol Covid-19. E-voting akan membuat kecurangan sangat sulit dilakukan. Hasilnya pun akan lebih cepat diketahui. Biaya Pemilu yang sangat menyedot keuangan negara pun bisa sangat dikurangi.

Ketiga, Covid-19 yang tak kunjung pergi memang mengharuskan kita untuk mengadopsi pola hidup baru. Namun, sejatinya hal itu tidaklah sulit untuk dikerjakan. Ketimbang empat bulan lalu, kita sekarang sudah lebih paham tentang bagaimana memutus rantai penularan virus ini. Kita menjadi lebih sadar, bahwa menggunakan masker, menjaga jarak aman, rajin mencuci tangan, menjaga kesehatan dan makan makanan yang sehat dan berolah raga adalah hal-hal yang harus kita biasakan supaya kita bisa tetap survive.

Ini nasihat Musa sang pemimpin, “… Singkirkanlah ketakutan dan kebimbangan! … Ingatlah, Tuhan Allahmu menyertai engkau ke mana pun engkau pergi.”

Artikel sebelumnyaPemulung di TPA Minta Masyarakat Kab. Sorong Tidak Buang Sampah Sembarangan
Artikel berikutnyaNKRI Mati Harga, Baru Papua Apa Kabar?