‘Perempuan Tanah’ Melawan

0
1936

Oleh: Imelda Kopeuw)*
)* Penulis adalah Perempuan Tanah Sentani

Kasus postingan MJY tidak perlu saya ulas. Saya asumsikan bahwa pembaca sudah mengetahuinya. Intinya adalah adalah stigmatisasi berbau rasis terhadap “perempuan tanah” Papua sebagai “piala bergilir”.

Saya juga tidak bahas pengertian istilah “perempuan tanah” Papua atau konotasi sexual dari kata “piala bergilir”.

Saya langsung ke langkah perlawanan yang sudah sedang dilakukan dan ide yang hendak saya usulkan.

Ide ini saya bangun di atas dua konsep dasar. Pertama, konsep dasar bahwa membangun satu perempuan sama dengan membangun satu generasi. Sebab perempuan adalah orang pertama yang mendidik generasi penerus, sejak dari dalam kandungan. Asumsi kedua, tidak bermartabat untuk menstigma semua laki-laki Papua sebagai laki-laki hidung belang sama seperti tidak bermartabat untuk menstigma perempuan tanah Papua sebagai piala bergilir. Masih banyak orang baik yang bermartabat dan menghargai martabat perempuan tanah Papua. Baik perempuan maupun laki-laki. Mereka dapat bekerja sama melawan stigmatisasi rasialis yang merendahkan martabat perempuan tanah Papua.

ads

 Tiga Langkah Pertama

Perlawanan yang sudah dilakukan terhadap postingan berisi stigma “Perempuan Tanah Piala Bergilir” beragam. Saya ringkaskan jadi tiga.

Pertama, membentuk opini publik untuk protes baik di media sosial, diskusi face to face dan publikasi di media online. Krtiik tertuju terhadap konotasi terminologi “perempuan tanah dan piala bergilir” yang dikonotasikan sebagai pernyataan rasis yang merendahkan harga diri dan martabat perempuan Papua.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kedua, melalui proses hukum. Beberapa komunitas perempuan diberitakan sudah melaporkan kasus ini untuk diproses selanjutnya, meskipun pelaku sudah mohon maaf secara berjemaah, para pihak yang menuntut proses hukum menghendaki adanya efek jera agar hal serupa tak lagi terjadi.

Ketiga, advokasi sosial politik. Aktivis senior perempuan Papua mengusulkan agar polemik mengenai kasus ini di medsos ditindak-lanjuti dengan kajian mendalam dan kritis mengenai marginalisasi hak-hak perempuan tanah Papua. Isu kesetaraan gender. Beberapa agenda yang memerlukan advokasi misalnya hak atas pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak perempuan suku terasing, kesetaraan akses di dunia kerja, dampak investasi kehutanan dan perkebunan bagi mama-mama untuk berkebun, keterlibatan perempuan untuk memboboti isi UU Otsus Jilid II, dsb.

Gerakan “Ko Apa Jadi”?

Tiga langkah di atas adalah langkah permulaan untuk mendorong lembaga eksternal untuk terlibat dalam “perlawanan perempuan tanah” Papua. Baik media sosial, lembaga hukum maupun lembaga sosial politik.

Pada langkah keempat ini, saya mengusulkan pendekatan yang melibatkan peran internal perempuan Papua maupun Laki-laki Papua. Mulai dari tong pu diri dulu. Mari tong kerja sama-sama, baku bantu baku jaga.

Saya terinspirasi dari nilai yang diajarkan oleh Nelson Mandela. Dia berkata, “May your choices reflect your hopes, not your fears”. Semoga pilihan-pilihanmu merefleksikan harapan-harapanmu, bukan ketakutan-ketakutanmu.

Kita sedang melawan stigma rasis dan sexist yang merendahkan perempuan Papua , tapi jangan lupa untuk kita juga harus bangun kesadaran masing-masing pribadi untuk mencapai harapan perempuan tanah yang dihargai martabatnya. Saya menyebut itu Gerakan Ko Apa Jadi.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Beberapa contoh ini sering kita temui dalam keluhan perempuan di media sosial.

Media sosial memudahkan para pria hidung belang mengiming-imingi perempuan dengan harga pulsa, harga susu, harga pinang, beli handphone, dsb untuk memulai pendekatan awal yang dilatarbelakangi fantasi sex. Pribadi perempuan yang mungkin lagi gamang karena masalah broken home, KDRT, kebutuhan akan uang, kebutuhan finansial, kebutuhan untuk bersosialita menjadi lahan yang sesuai hasrat si pria hidung belang.

Si perempuan bisa terpancing dengan iming-iming itu dan terperangkap dalam jebakan hasrat pria hidung belang yang berlanjut menurut skenario si pria. Atau, si perempuan bisa bersikap tegas dan sopan untuk melawan dan berkata, Ko apa jadi mo pandang rendah sa pu martabat?”

Pria hidung belang bisa mendekati perempuan calon mangsa dengan mencitrakan dirinya sebagai manusia idealis yang peduli pada aspirasi perempuan untuk masa depan yang lebih baik. Tapi itu awal pendekatan yang mungkin hendak bermuara pada pemenuhan hasrat seksual si pria. Kita, perempuan tanah, bisa membentengi pribadi kita dengan wawasan untuk menilai mana yang tulus dan mana yang siasat busuk. Terhadap siasat pria hidung belang kita bersikap, “Ko apa jadi … ada banyak sumber belajar yang bisa saya gunakan. Ko apa jadi?

Itulah dua contoh melawan stigma “piala bergilir”. Itu hasil dari mendidik pribadi diri kita untuk bersikap kritis, tegas tapi sopan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Proses membangun Gerakan Ko Apa Jadi bisa dilakukan dengan sistem sel pemuridan dari lingkungan kita. Satu intelektual perempuan, bisa bersama satu laki-laki yang punya integritas baik, mencari 5 – 10 orang perempuan tanah dan bentuk kelompok diskusi. Diskusi bisa sebulan sekali. Bisa juga melalui grup medsos.

Agenda diskusi misalnya menginventarisasi modus pria hidung belang memulai siasatnya, kelemahan perempuan yang bisa bikin dia terperangkap dalam jeratan modus itu, harapan dia tentang masa depan dan martabatnya sebagai perempuan, dan bagaimana cara sopan tapi tegas untuk menjawab, Ko apa jadi?

Perempuan yang sudah kritis membangun kelompok diskusi baru. Berdiskusi tentang hal serupa.

Pada konteks yang paling vulgar, perilaku pria hidung belang dapat diproses secara adat, dilaporkan dengan bukti-bukti ke polisi atau ke lembaga agamanya. Dan proses laporan itu dipublikasikan. Ko apa jadi?

Satu hal yang perlu kita ingat selalu, tidak semua pria adalah pria hidung belang, perlawanan ini kita lakukan terhadap para hidung belang yang menilai kita perempuan tanah sebagai piala bergilir. Ko apa jadi?

Demikian ide awal untuk memulai diskusi. Saya berencana membuat modul untuk mewujudkan usulan langkah keempat ini. Saya terbuka terhadap saran dan usul yang dapat dikirim kepada saya melalui alamat redaksi Suara Papua. Terima kasih. (*)

8 Juli 2020

Artikel sebelumnyaMenggugat Tujuh Wilayah Adat di Tanah Papua
Artikel berikutnya84 Tenaga Kesehatan RSUD Jayapura Positif Corona