Mengenang Sesilia Mote, Aktivis  yang Berani Turunkan Tongkat Komando Panglima ABRI

0
2176

Oleh : Yosef Rumaseb)*
)* Penulis adalah Anak Kampung, Tinggal di Biak

Saya terjaga tengah malam ini dan sulit untuk tidur lagi. Saya membaca berita-berita terkait Papua yang diposting di akun facebook teman-teman. Mata saya tertuju pada sebuah berita duka. “Selamat Jalan kepada Bapa di Sorga Kakandaku Sesilia Mote, S. Sos, M. Si. TUHAN yang memberi dan TUHAN yang mengambil. Amin!” (Yermias Degei). Kaget bukan main. Secepat itu adikku ini pergi?

***

Saya mengenal Sesilia (demikian kami memanggilnya) pada awal-awal tahun 1990-an. Sama-sama kuliah di Jawa Tengah dan sama-sama sering mengikuti kegiatan pembinaan mental spiritual bagi mahasiswa Irian Jaya yang dilakukan oleh Binterbusih (Yayasan Bina Teruna Bumi Cenderawasih). Sama-sama suka demo. Terutama memprotes kasus pelanggaran hak asasi manusia di areal operasi Freeport.

Tanggal 15 Agustus 1995, laporan (almarhum) Uskup Munninghoff, OFM mengenai pelanggaran hak asasi manusia di beberapa kampung di wilayah operasi Freeport dipublikasi oleh LSM-LSM nasional seperti LBH, Elsam, dll. Keesokan harinya, berita itu jadi headline news semua media nasional dan banyak media internasional. Itu terjadi pada 16 Agustus 1995, hanya selang satu hari sebelum Peringatan HUT RI ke-50. Indonesia heboh. Dan sesudah itu, berita itu terus menerus menjadi pembicaraan mengenai hak asasi manusia di Indonesia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

ads

Mahasiswa Papua se-Jawa Bali membentuk FOSPEMAPI (Forum Solidaritas Kepedulian Mahasiswa dan Pelajar Irian Jaya). Almarhum Dr. Yafeth Kambay sebagai Ketua dan saya sekretarisnya. Di bawah ancaman intelijen dan militer Indonesia di jaman Orde Baru yang tidak demokratis itu, kami menyusun rencana-rencana demonstrasi mahasiswa dan pelajar Irian Jaya untuk memberi dukungan agar laporan Uskup Muninghoff OFM tentang pelanggaran hak asasi manusia di area Freeport segera diinvestigasi. Kami melakukan demonstrasi di Kantor DPR-MPR RI Senayan, Kantor Komnas HAM, Kantor Freeport bahkan di Mabes ABRI di Cilangkap. Untuk ukuran Orde Baru, itu adalah aksi-aksi berani yang menyerempet maut.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Perwakilan FOSPEMAPI diundang untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I yang dipimpin oleh Harry Sabarno (dari Fraksi ABRI) dengan Panglima ABRI waktu itu Jenderal Faizal Tanjung.  Pelaku pelanggar hak asasi manusia adalah aparat keamanan. Mereka menggunakan fasilitas Freeport seperti mobil. Tetapi, semua opini menolak tudingan bahwa Freeport terlibat dalam pelanggaran HAM itu. Terjadi polemic, apakah Freeport terlibat dalam pelanggaran hak asasi itu atau tidak. Pemerintah rezim Orde Baru dan ABRI bersikeras bahwa Freeport tidak terlibat sementara LSM dan mahasiswa yakin bahwa Freeport terlibat. Panglima ABRI Jenderal Faizal Tanjung menjelaskan bahwa Freeport tidak terlibat dan bahwa kejadian itu adalah “kesalahan prosedur dari oknum ABRI” di lapangan.

FOSPEMAPI mengutus 4 (empat) anggota mengikuti RDP itu. Tiga laki-laki dan satu perempuan. Perempuan itu adalah Sesilia Mote. Dia memimpin delegasi itu, sementara sebagian besar anggota FOSPEMAPI menuju Kantor Freeport untuk melakukan demonstrasi.  Pada jaman Orde Baru, mungkin itu adalah aksi pertama dari solidaritas mahasiswa dan pelajar Irian Jaya se-Jawa – Bali sesudah tahun aksi mahasiswa tahun 1985 di Jakarta memprotes pembunuhan Arnold Ap yang kemudian meminta suaka politik di Belanda. Tidak banyak mahasiswa dan pelajar yang mendukung demo-demo ini sebab taruhannya berat. Kami menghadapi resiko berat dari intel dan aparat.

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

RDP antara Komisi I DPR RI dan Panglima ABRI mendapat sorotan media. Banyak wartawan meliput kegiatan ini. RDP berakhir dengan “pemahaman bersama” Komisi I dan Panglima ABRI bahwa Freeport tidak terlibat dalam peristiwa yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia  di areal operasi Freeport.

Hari itu, saya sudah lupa tanggalnya tapi kalau tidak salah 10 November 1995, usai RDP antara Komisi I dan Panglima ABRI itu, Jenderal Faizal Tanjung bersama rombongan berjalan keluar dari ruang RDP. Beliau dijaga ketat oleh pengawal berbaju dinas, pengawal tidak berbaju dinas, dan masih ada lagi lapisan wartawan. Sudah tidak mungkin lagi bagi delegasi FOSPEMAPI yang dipimpin oleh adik Sesilia Mote untuk memberikan Pernyataan Sikap FOSPEMAPI kepada Panglima ABRI Jenderal Faizal Tanjung.

Dengan cerdik, adik Sesilia Mote berembuk dengan timnya. Mereka mengatur strategy. Lalu berbagi tugas. Sesilia dan dua teman berjalan mendekati rombongan Panglima ABRI. Dan seorang kawan lagi (sekarang seorang dosen) bertugas untuk menarik perhatian Panglima ABRI sekaligus membuka  kerumunan pengawal dan wartawan di sekitar Panglima ABRI.

Kawan yang sudah disiapkan pun melakukan aksinya. Dia berlari dekat rombongan Panglima ABRI dan berteriak sekeras-kerasnya, “Freeport terlibat …. Freeport terlibat!” Sambil lari bersembunyi di ruang kerja salah satu anggota DPR RI.

Mendengar teriakan itu, Jenderal Faizal Tanjung mengangkat tongkat komandonya dan menunjuk ke arah suara yang berteriak, “Freeport terlibat! Freeport terlibat!” Kerumunan orang di sekitarnya langsung terbuka seperti memberi ruang kosong ke arah mana tongkat komando ditunjuk.

Namun demikian, sebelum Jenderal Faizal Tanjung memberi aba-aba sesuai arah tongkat komando itu, adik Sesilia Mote dengan berani memanfaatkan ruang kosong yang terbuka itu. Dia masuk mendekati Sang Jenderal, berlutut di muka kaki Panglima ABRI itu, dia memegang tongkat komando itu, membelokkan arah tongkat komando itu ke bawah, dan dengan suara lirih dia berkata, “Bapa, kalau bukan kepada Bapa lalu kepada siapa kami meminta perlindungan?”

Baca Juga:  Zheng He, Seorang Kasim Cina Terkenal Sampai di Nusantara

Panglima ABRI Jenderal Faizal Tanjung seperti tidak menyangka ada orang seberani itu. Dia menurunkan tongkat komandonya. Lalu memegang tangan Sesilia Mote agar berdiri. Sesilia Mote kemudian memberikan pernyataan sikap mahasiswa dan pelajar Irian Jaya Se-Jawa Bali kepadanya.

Suasana saat itu mencekam dan membuat bulu roma berdiri. Banyak orang tidak menyangka. Salah satu anggota DPR RI yang tidak menyangka mahasiswa Irian Jaya  bisa seberani itu, ingat itu di jaman Orde Baru di mana ruang demokrasi dipasung dengan kekuatan militer, adalah Sabam Sirait. Beliau adalah politisi senior dari PDI yang dipilih mewakili Irian Jaya. Saya ingat ketika itu dia sampai tak sanggup berdiri, dia duduk di salah satu anak tangga dan bilang, “Kamu berhak. Kamu berhak bicara begitu. Kamu berhak menggunakan nama Papua!” Jaman itu, menggunakan nama Papua saja sudah dianggap sebagai anggota OPM dan urusannya adalah dengan intel dan apparat.

Besoknya, berita itu menjadi headline news. Koran-koran nasional memuat foto adik Sesilia bersama Panglima ABRI Jenderal Faizal Tanjung.

***

Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Pada masa kita, kita pernah mengambil resiko maut demi masa depan tanah kita. Rest in eternal Peace Selamat jalan adikku Sesilia Mote, S. Sos, M.Si. TUHAN menyambutmu. Terima kasih adikku. Salam dengan penuh air mata, kakakmu Yosef. (*)

Artikel sebelumnyaJames Marape Tekankan Komitmen Pertahankan Tambang Porgera untuk Keuntungan Rakyatnya
Artikel berikutnyaPerspektif Eks Tapol Korban Rasisme Tentang Teroris dan Ekspresi di Muka Umum