Perspektif Eks Tapol Korban Rasisme Tentang Teroris dan Ekspresi di Muka Umum

0
1249

Oleh : Alexander Gobai)*
)* Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa USTJ, Eks Tahanan Politik Papua Korban Rasisme dari Balikpapan, Kalimantan Timur

Di Indonesia, seringkali penyampaian pendapat di muka umum disamakan dengan teroris. Apakah ini benar atau salah. Lalu penyebutan teroris hanya dialamatkan kepada para demonstran karena selevel? Dan mengapa teroris sering dikaitkan bagi pendemo atau penyampaian pendapat di muka umum. Stigmanya siapa yang menyampaikan pendapat di muka umum adalah Teroris.

**

Secara bahasa, kata “terorisme” berasal dari kata “to terror” dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Latin kata ini disebut Terrere, yang berarti “gemetar” atau “menggetarkan”. Kata terrere adalah bentuk kata kerja (verb) dari kata terrorem yang berarti rasa takut yang luar biasa.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan teror sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu (Depdikbud, 2013). Pengertian yang tidak jauh berbeda diungkap dalam Webster’s New School and Office Dictionary, yaitu membuat ketakutan atau kengerian dengan melakukan intimidasi atau ancaman untuk menakut-nakuti (Meriam Webster, 1996).

ads

Dalam The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act, 1984, pasal 14 ayat 1 dijelaskan bahwa terorisme adalah: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear (terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan politis, termasuk menggunakan kekerasan untuk membuat masyarakat atau anggota masyarakat ketakutan) (The Prevention of Terrorism, 1984).

Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal dengan istilah Tindak Pidana Terorisme (Asshiddiqie, 2003). Indonesia memasukkan terorisme sebagai tindak pidana, sehingga cara penanggulangannya pun menggunakan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 15 tahun 2003. Judul Perpu atau Undang-Undang tersebut adalah Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur pidana sesuai dengan ketentuan Perpu. Perbuatan tersebut termasuk yang sudah dilakukan atau pun yang akan dilakukan. Dua hal ini termaktub dalam pasal 6 dan pasal 7 (Perpu, 2002)

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Departement of justice pada Federal Bureu of Investigation (FBI) Amerika Serikat menyatakan bahwa sesuai dengan The Code of Federal Regulation, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekuatan atau kekerasan secara tidak sah terhadap perseorangan atau harta kekayaan untuk mengintimidasi atau memaksa sebuah pemerintahan, masyarakat sipil, atau elemen-elemen lain untuk mencapai tujuan politik maupun sosial (FBI, 2015)

Sementara, Undang-Undang (UU) 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah penjaminan terhadap salah satu hak asasi manusia.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dalam UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah sejalan dengan: Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.

Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Konteks Stigma Teroris dan Penyampaian Aspirasi di muka umum di Tanah Papua

Dalam melihat persoalan Papua secara menyeluruh, pastinya ketika dibahas satu demi satu tak akan selesai dalam waktu yang singkat. Sebab, persoalan Papua sangat sensitif dan kompleks dalam perspektif isu-isu Papua yang seharusnya pihak ketiga hadir untuk menyelesaikan kasus Papua.

Ada empat akar persoalan Papua yang dimuat oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2008 diantaranya, 1) Persoalan Marginalisasi, Rasial dan Intimidasi, Diskriminasi bagi orang Papua di tanah Papua, 2.) Pembangunan Fisik, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, social budaya dan lain-lain, 3.) Pelanggaran HAM di tanah Papua, 4.) Akar Sejarah Politik di tanah Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Menyikapi setiap empat akar persoalan Papua yang sudah disebutkan diatas dalam bentuk menulis, demonstrasi, doa bersama, pemasangan lilin dan kegiatan lainnya demi mendesak Jakarta untuk segera melihat persoalan Papua selalu saja diteror dan di diskriminasikan dengan stigma teroris. Bahwasannya setiap pergerakan pemuda, mahasiswa dan rakyat Papua dianggap separatis yang sedang menuntut kebebasan Papua.

Dibangunnya Stigma Teroris dan Separatis untuk Orang Asli Papua selalu diopinikan sebagai nilai jual dan nilai tawar kepada orang-orang tertentu sebagai upaya mempertahankan Papua dalam NKRI. Sikap tersebut, justru melemahkan pembangunan Papua secara universal demi mempertahankan Papua di dalam NKRI.

Sebutan teroris dan separatis bagi mahasiswa, pemuda dan rakyat Papua bukan menjadi satu-satu upaya menyelesaikan persoalan Papua. Melainkan, menguatkan semangat militansi mahasiswa, pemuda dan rakyat Papua untuk selalu bersuara selama ketidakadilan di tanah Papua.

Pentingnya Jakarta memahami konteks Mahasiswa, Pemuda dan rakyat Papua mengapa selalu melakukan demonstrasi dan berbagai kegiatan di tanah Papua yang selalu disebutkan bahwa mengganggu keamanan publik. Semua aktivitas penyampaian di muka umum itu dilakukan karena di Papua ada masalah, yang mestinya Jakarta dan Papua menyelesaikan persoalan Papua dengan cara duduk Bersama dengan mengadakan dialog penyelesaian masalah di Papua dari semua aspek, tak terkecuali akar sejarah politik Papua Barat.

Jakarta tidak perlu memandang penyelesaian masalah Papua dalam konteks Politik seakan menjatuhkan martabat NKRI. Tetapi, pentingnya duduk bersama dan berbicara secara resmi demi menegakkan keadilan antara Jakarta dan Papua. Sehingga, setiap stigma Jakarta terhadap orang Asli Papua dengan sebutan Separatis dan Teroris tidak menjadi satu slogan yang tumbuh subur di mata dunia.

Dan mesti memahami tentang penyampaian aspirasi di muka umum sebagai bentuk aspirasi secara lisan yang disampaikan oleh beberapa kelompok kepada orang yang dituju agar ada hasil demi berbenah kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Penyampaian ekspresi di muka umum tidak bisa diopinikan sebagai teroris. Pemahaman antara teroris dan penyampaian di muka umum merupakan dua bentuk yang sangat berbeda dan tidak bisa disamakan. Meski Jakarta kadang memahami kedua opini itu disamakan. Karena kadang dianggap penyampaian aspirasi di muka umum di Papua berbeda nuansanya sehingga dipandang penyampaian aspirasi di muka umum sebagai musuh Negara dan memiliki niat memisahkan sebagian Negara dari NKRI.

Jika memang begitu, apakah selama mahasiswa, pemuda dan rakyat Papua dalam menyampaikan aspirasi di muka umum di tanah Papua, apakah Papua sudah memisahkan diri dari NKRI ataukah Papua sudah bergabung sebagian wilayah di Negara Australia, PNG dan negara lainnya.

Misalnya, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua menolak Rasisme. Peristiwa yang terjadi di Agustus 2019 lalu. Menjadi sebuah peristiwa yang menggoncang dunia. Hingga Polri menangkap sejumlah pemuda, mahasiswa dan aktivis Papua dan mengkriminalisasi dengan pasal Makar. Apakah Gerakan tahun 2019 itu telah memoggokan pemerintahan, ataukah Papua sudah terpisah dari NKRI?

Mestinya Jakarta hadir secara dewasa, bahwa peristiwa Rasis yang seluruh rakyat Papua tidak menerima dengan sebutan “Monyet” dan melakukan aksi secara spontanitas sebagai upaya menolak Rasisme. Negara mestinya melindungi dan menghargai bahwa rakyat Papua anti Rasisme.

Jakarta mestinya bersikap dewasa dalam membangun opini di tanah Papua. Opini Teroris dan Separatis apalagi mengkriminaslisasikan setiap Gerakan ke arah MAKAR. Opini itu justru membangkitkan semangat militansi anak-anak muda untuk lebih membangun basis demi menuntut kebebasan di tanah Papua.

Dengan demikian, teroris dan penyampaian aspirasi di muka umum tidak bisa disamakan. Dan Keduanya memiliki UU yang mengatur secara terpisah. Sehingga, Jakarta seharusnya tidak memahami teroris adalah mahasiswa, pemuda dan rakyat papua yang menyampaikan aspirasi di muka umum. Penyampaian aspirasi di muka umum di tanah Papua karena ada masalah, yang seharusnya Jakarta dan Papua duduk berdialog guna menyelesaikan empat akar persoalan di tanah Papua. (*)

 

Artikel sebelumnyaMengenang Sesilia Mote, Aktivis  yang Berani Turunkan Tongkat Komando Panglima ABRI
Artikel berikutnya19 Juli 2020: 2568 Orang Positif Corona di Papua