EDITORIAL: Solusi Papua Usai Otsus

0
1861

PEMBERLAKUAN Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sejak tahun 2001 —yang dalam perkembangannya diterapkan pula di Provinsi Papua Barat— dengan masa implementasinya selama 20 tahun, akan berakhir tahun depan. Dari awal kebijakan ini sudah ditolak oleh rakyat Papua, meski tetap dijalankan secara paksa. Buah pemaksaan itulah hasilnya dianggap gagal sebagaimana disuarakan rakyat Papua dengan menggelar aksi pengembalian ke Jakarta dalam rupa “Peti Almarhum Otsus”.

Pemerintah Indonesia saat pemaparan di sidang parlemen maupun dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sama sekali tidak pernah ada istilah “Otsus jilid satu”. Jika saat itu penyebutannya Otsus jilid satu, kemungkinan bisa dimaklumi kalau hingga akhir masa pemberlakuan dapat dilanjutkan dengan Otsus jilid dua.

UU Otsus bagi Provinsi Papua diberlakukan lantaran kala itu menguat dua tawaran: Otonomi atau Merdeka. Pemerintah cenderung memilih Otonomi ketimbang opsi kedua yang memang sudah menghangat hingga ke tingkat internasional. Artinya, Otsus adalah jawaban terhadap aspirasi Papua Merdeka.

Selama implementasi dari Otsus, afirmation action yang dijanjikan elit politik, akademisi, gubernur, koalisi LSM di Papua sejak tahun 2000 tidak terealisasi hingga kini termasuk proteksi pada bidang kemanusiaan, kesehatan, pendidikan, penuntasan kasus HAM, hingga kesejahteraan ekonomi. UU Otsus maupun perubahannya terkesan sekadar sebuah naskah umum yang tidak dapat menerjemahkan kekhususan Orang Asli Papua (OAP) sebagaimana gemar dijanjikan pemerintah.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Dalam kenyataannya Otsus hanya terkenal dengan nominal uang yang sangat besar dan pencapaian pemimpin-pemimpin politik daerah seperti bupati dan gubernur yang nota bene OAP. Selain dari itu tidak ada. Nol besar!.

ads

Uang dengan jumlah besar itu penggunaannya tidak jelas. Di saat bersamaan makin banyak orang kaya mendadak. Di situ ada elit politik, para pejabat maupun mantan pejabat. Tidak berlebihan bila di Tanah Papua banyak kasus korupsi. Jumlah koruptor tertinggi hingga terindikasi korupsi terbanyak di Indonesia. Sudah banyak pejabat Papua menghuni “hotel gratis”.

Di sisi lain, Otsus tidak memiliki kapasitas hukum yang kuat. Bersamaan berlaku juga undang-undang nasional, seperti UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, juga UU Pengadilan HAM. Praktis, masalah HAM Papua tidak memiliki kewenangan untuk digiring ke meja pengadilan, termasuk lembaga rekonsiliasi yang diimpikan para elit Papua akibat termakan rayuan manis pemerintah demi meloloskan kebijakan politiknya.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Kita hitung sudah berapa nyawa melayang akibat dari itu semua. Belasan tahun Tanah Papua penuh dengan cucuran darah. Hidup tidak bebas. Hidup tidak damai. Selalu ketakutan. Konflik berdarah tiada henti. Semua ini bertolak belakang dengan janji manis pemerintah dengan paket Otsus.

Hidup OAP tidak berubah. Justru semakin terhimpit. Terjajah. Termiskin di atas kekayaannya. Hidup merana. Suara pun dibungkam. Diteror. Diancam dibunuh, bahkan pembunuhan berlanjut. Pembunuhan dengan alat negara.

Itukah bukti perhatian pemerintah bahwa Otsus benar-benar diwujudnyatakan sesuai janji dan undang-undang berisi 24 Bab dan 79 Pasal yang sejak awal dikumandangkan ke seantero Nusantara ini? Benar atau tidak, jawabannya ada di tangan rakyat Papua.

Yang pasti, selama 19 tahun Otsus diberlakukan di Tanah Papua, tindakan di lapangan amat bertentangan dengan undang-undang yang rancangannya digodok akademisi bersama segelintir orang berkepentingan. Sekarang jelang setahun akhir masa pemberlakuan Otsus, semua OAP merasa ditipu, dibohongi dan dipermainkan oleh pemerintah Indonesia.

Berbagai fakta dan alasan sebagaimana diungkapkan 57 Imam Katolik pribumi Papua dari lima Keuskupan se-Regio Papua saat jumpa pers di Abepura, Kota Jayapura, Selasa 21 Juli 2020, tidak dapat dibantahkan lagi karena telah dialami selama ini oleh OAP sebagai umat gembalaannya.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Otsus yang oleh pemerintah bersama komprador dianggap sebagai solusi jitu justru dalam kenyataannya sebagai senjata jitu untuk menyengsarakan, memarginalkan, memiskinkan, membungkam, mengintimidasi, menjajah dan membunuh makhluk ciptaan Tuhan di negeri kaya raya ini.

Para imam Katolik Papua dalam suara kenabiannya menyerukan kepada pemerintah tidak boleh memaksakan kehendak politiknya kepada rakyat Papua. Sebab bagaimanapun rakyat sudah tidak percaya pemerintah. Terbukti dalam realisasi dari sebuah kebijakan selalu berbeda. Teori lain, praktik lain. UU Otsus adalah bukti nyata.

Ketika Otsus di Tanah Papua dianggap sudah gagal diimplementasikan dengan berbagai fakta mengerikan, kita sampai pada sebuah pertanyaan: apa solusi selanjutnya? Pasti banyak opsi dengan masing-masing alasan dan pendapatnya. Tetapi, tentu jawaban akhir ada di rakyat Papua.

Paling tidak selama ini telah disuarakan di berbagai kesempatan berbeda, juga belakangan dalam merespons wacana Otsus jilid dua —rangkumannya dibeberkan oleh 57 Imam Katolik pribumi Papua— lebih baik kembalikan ke rakyat Papua untuk pilih dan tentukan sendiri. ***

Artikel sebelumnyaPenyerang PosPolres Yalimo Mengalami Gangguan Jiwa
Artikel berikutnyaSiswa di Sorsel Memilih ke Perkebunan Kelapa Sawit, Lantaran Sekolah Masih Libur