Setahun Protes Rasisme Indonesia

0
1668

Oleh: Victor F. Yeimo)*
)* Juru Bicara Internasional KNPB

Satu tahun lalu, 19 Agustus 2019, gelombang aksi protes rasisme dimulai. Rakyat turun jalan spontan. Di Jayapura, saya ikut pasang badan agar aksi terpimpin dan damai. Saya menyerukan massa rakyat agar menghindari aksi kekerasan.

Sempat di Kali Acai ada provokasi kekerasan dari kaum pendatang, tetapi kami kendalikan massa kembali dan menuju ke Dok 2 hingga selesai dan bubar secara damai. Aksi damai itu diapresiasi oleh Kapolda Papua, Irjen Pol. Rudolf Alberth Rodja melalui koran Cepos tanggal 20 Agustus 2019 (bisa baca di: https://www.papua.go.id/view-detail-berita-6799/kapolda-apresiasi-pendemo-sampaikan-aspirasi-dengan-tertib.html).

Di depan kantor Gubernur kolonial, rakyat West Papua dari berbagai elemen dan kompone sampaikan aspirasi yang intinya sama yakni tolak rasisme dan menuntut referendum digelar.

Saya sampaikan kesimpulan dari sikap semua elemen, termasuk kembali mempertegas pernyataan pihak pemerintah provinsi tentang Otonomi Khusus bahwa masa kontrak Indonesia dan West Papua habis dan kembalikan rakyat West Papua untuk menentukan nasib politiknya sendiri. Saya jelaskan fakta nyata Otsus yang gagal, dan aspirasi politik rakyat Papua. Saya bicara atas data dan fakta.

ads

Selain Jayapura, aksi protes secara spontan di berbagai daerah dengan penuh amarah tak terhindar terjadi setelah rakyat sendiri menyaksikan, melalui media sosial, perlakuan persekusi dan rasisme terhadap rakyat West Papua di Surabaya dan beberapa daerah yang terjadi berulang kali.

Benar, kali ini menjadi momentum pelampiasan dari akumulasi sakit hati yang ditahan bertahun-tahun akibat rasisme dan segala bentuk penindasan terhadap kemanusiaan Papua. Kemanusiaan Papua terpukul marah dan turun jalan tanpa dipaksa oleh siapapun.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Akibat aksi itu, pemerintah memutuskan jaringan internet. Saya menjadi pusat komunikasi dengan berbagai media nasional dan internasional untuk melaporkan aksi-aksi rakyat West Papua kepada dunia.

Pada aksi tanggal 28 Agustus 2019 di Jayapura, atau aksi Jilid II, rakyat kembali turun jalan. Pada aksi itu, saya tidak terlibat. Saya tidak menyuruh, mengorganisir, bahkan memimpin di lapangan.

Saya hadir mengambil gambar dan video di depan kantor MRP dan Gubernur untuk keperluan pemberitaan media nasional dan internasional karena pemblokiran internet oleh penguasa kolonial Indonesia saat itu. Pada aksi ini rakyat bakar berbagai fasilitas, namun tidak menyerang, melukai atau membunuh siapapun.

Aksi-aksi rakyat West Papua menolak rasisme di Indonesia nampaknya tidak didukung oleh negara Indonesia. Mereka justru mengadu rakyat West Papua dengan rakyat pendatang di West Papua.

Menkopolhukam Wiranto saat itu berkunjung ke Jayapura bertemu berbagai ormas, diantaranya ormas Masyarakat Nusantara dan berbagai organisasi milisi sipil pendatang. Ormas ini turun jalan menyerang massa aksi rakyat West Papua yang bertahan di kantor Gubernur Kolonial Indonesia, dan menyebabkan korban tikam, pukulan hingga berlanjut di Kamkey Abepura dengan pembunuhan terhadap rakyat sipil Papua.

Menanggapi itu, Indonesia lancarkan sandiwara politiknya melalui Tim 61 orang Papua bentukan BIN bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta pada 10 September 2019. Jokowi merespons dan berjanji melanjuti 8 poin tuntutan, yang konon akan bangun Istana di Papua.

Pertemuan dan janji penguasa ini terbukti kosong dan hanya permainan rekayasa politik negara untuk menenangkan aksi-aksi protes rasisme dan tuntutan referendum di West Papua. Di sini penguasa Indonesia gagal menyelesaikan problem dasar dari akumulasi kemarahan rakyat sipil Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Adu domba kekerasan juga terjadi di Fak-fak, Sorong, juga Deiyai, Paniai, hingga Wamena. Di Wamena, aksi protes rasis 23 September 2019 murni oleh Pelajar SMU akibat ujaran rasis seorang Ibu Guru honorer terhadap siswa, yang menyulut protes aksi damai, lalu provokasi kekerasan (penembakan) dilakukan oleh TNI dan Polri, sehingga menyebabkan kericuhan dengan korban di pihak rakyat West Papua dan warga pendatang.

Setelah adu domba rakyat sipil pendatang dan West Papua, pemerintah Indonesia lalu mencari “kambing hitam”. Melalui Kapolri Tito Karnavian, secara terang-terangan tanpa bukti menuduh aktivis KNPB dan ULMWP dibalik aksi kekerasan di Wamena. Padahal KNPB sudah klarifikasi bahwa tidak terlibat pada aksi itu.

Tito yang sekarang sebagai Mendagri bahkan terang-terangan menuduh aksi itu untuk mempengaruhi sidang umum PBB yang kenyataannya terbukti saat itu tidak ada pembahasan tentang West Papua di agenda di PBB.

Upaya adu domba dan kriminalisasi itu berlanjut hingga penangkapan sewenang-wenang pemimpin KNPB, ULMWP, BEM, juga di West Papua dan 6 aktivis (Surya Anta, Cs) di Jakarta. Penangkapan itu dilakukan untuk menjastifikasi tuduhan Kapolri Tito Karnavian saat itu. Sementara, Polda Papua konon menempatkan saya Victor Yeimo sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) hanya karena keterlibatan saya pada aksi yang berlangsung damai pada 19 Agustus 2019.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Di Pengadilan Negeri Balikpapan, 7 aktivis sesuai fakta pengadilan tidak terbukti walau Jaksa dan Hakim memaksakan vonis 11 bulan dengan argumentasi hukum yang lemah.

Upaya pemutusan jaringan internet, provokasi, adu domba, kriminalisasi hingga penangkapan dan pengejaran yang dilakukan oleh penguasa Indonesia dalam menghadapi perjuangan rakyat Papua. Negara menganggap remeh rasisme yang terlembaga dalam struktur berpikir penguasa dan rakyat Indonesia.

Negara tidak ikut serta melindungi kemanusiaan bangsa Papua. Negara sibuk tangkap, kejar dan bunuh kemanusiaan Papua. Negara justru mengirim TNI dan Polri ke Papua. Singkatnya, negara menempuh jalur hukum dan keamanan dalam memberangus perjuangan politik rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Lantas, apakah rakyat West Papua akan berhenti berjuang mencari solusi politiknya bila penguasa Indonesia mengedepankan represi hukum dan keamanan?. 59 tahun pendekatan militer dan pembangunan tidak berhasil.

Jakarta mesti jujur dan mengambil solusi politik bagi rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Itu kewajiban dibawah hukum internasional. Negara Indonesia akan terhormat dan terbukti tidak rasis lagi bila ikut mendorong dan mewujudkan West Papua sama seperti Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.

Indonesia akan terhormat dan bebas dari prasangka rasis ketika memandang memperlakukan rakyat West Papua sebagai suatu entitas kebangsaan sendiri yang layak merdeka sebagai sebuah negara-bangsa. Tanpa itu, West Papua akan terus menjadi ladang eksploitasi, diskriminasi dan pembantaian tiada henti-hentinya. Dan rakyat West Papua tanpa henti-henti akan terus melawan tirani penindasan demi pembebasan nasionalnya!.

Racist or Resist!. (*)

Artikel sebelumnyaPemkab Dogiyai Raih Opini WDP
Artikel berikutnyaMahasiswa Eksodus Bantah Pemberitaan Soal Temu Kangen