BeritaMahasiswa Papua Minta Jokowi Cabut UU Otsus dan Hentikan Pengiriman Militer ke...

Mahasiswa Papua Minta Jokowi Cabut UU Otsus dan Hentikan Pengiriman Militer ke Tanah Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Front Mahasiswa Papua Antir Militerisme di Jakarta menyatakan, konflik kepentingan antara Jakarta dan Papua sejak 1961 tidak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang mana disebut Indonesia sebagai sebuah tindakan proses integrasi yang final, sementara rakyat Papua menyebutnya sebagai sebuah tindakan aneksasi.

Masalah mendasar tentang perbedaan pandangan politik antara rakyat Papua dan Jakarta membuat banyak korban masyarakat sipil di tanah Papua. Ditambah dengan penambahan jumlah anggota militer organik dan non organik yang melampaui batas normal sejak Wilayah Papua dianeksasi ke dalam Indonesia melalui PEPERA yang tidak demokratis.

“Merespon perbedaan pandangan politik yang diekpresikan rakyat Papua, Jakarta selalu menggunakan pendekatan militer, ketimbang cara-cara dialog atau menempuh jalur yang paling demokratis yaitu ‘Referendum’, agar selesaikan konflik politik ini,” tulis Front Mahasiswa Papua Antir Militerisme sebagai release pers ke redaksi suarapapua.com belum lama ini.

Mahasiswa juga menyebut, operasi militer dalam skala besar yang terjadi sejak Papua dianeksasi Indonesia membuat masyarakat Papua hidup di dalam trauma yang berkepanjangan. Hal ini menjadi pelajaran bagi Rakyat Papua bahwa kehadiran militer sama sekali tidak membawa dampak positif bagi orang asli Papua (OAP).

Terutama berkaca dari salah satu kasus di tanah Papua, yaitu kasus di daerah Nduga yang menjadi luka pahit bagi orang asli Papua dan Nduga khususnya. Dimana banyak warga sipil menjadi korban dari kehadiran militer di atas tanah Ndugama.

Baca Juga:  F-MRPAM Kutuk Tindakan Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi di Jayapura 

Setidaknya, 80 ribu warga sipil di Nduga mengungsi akibat operasi militer sejak Desember 2018, sebanyak 300 lebih warga sipil meninggal dunia di tengah hutan belantara dan korban meninggal didominasi wanita dan anak-anak. Termasuk akibatnya sekitar 20 ribuan anak-anak harus putus sekolah.

Tidak hanya Wilayah Ndugama, hal serupa terjadi di Kabupaten Tambrauw, dimana mayoritas masyarakat akar rumput menolak rencana kehadiran pembangunan Kodim, namun dalam beberapa aksi damai yang dilaksanakan masyarakat asli Tambrauw, justru dihadang dan dianiaya oleh oknum anggota TNI yang bertugas di Kabupaten Tambrauw.

“Kekerasan yang dilakukan aparat TNI menunjukan wajah asli dari institusi negara yang sengaja memberikan kebebasan bagi anggotanya untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil di Wilayah Tambrauw. Hengky Mandacan adalah salah satu korban kekerasan yang dilakukan aparat TNI.

Kekerasan yang dialami oleh Hengky dan kawan-kawan adalah sebuah tindakan yang murni melanggar hukum. Bisa dikategorikan sebagai sebuah tindakan kriminal dan tak bisa dibenarkan dengan alasan apapun, walaupun dalam kasus penganiayan terhadap Henky Mandacan bermula dari adanya amukan warga.”

UU TNI nomor 34/2004 tidak memandatkan TNI untuk menjalankan tugas keamanan di rana sipil, sebagaimana dalam dua kasus ini. Tindakan kekerasan anggota TNI terhadap Hengky Mandacan juga tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan menjalankan tugas keamanan dalam fungsi perbantuan yang berkaitan dengan keterlibatan anggota tersebut dalam kegiatan Covid 19.

Baca Juga:  Koalisi: Selidiki Penyiksaan Terhadap OAP dan Seret Pelakunya ke Pengadilan

Oleh sebabnya, tidakan kekerasan anggota TNI tersebut merupakan tindakan penganiayaan yang merupakan delik pidana. Tindakan tersebut melanggar Pasal 351 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang mengatur tentang kejahatan Pidana. Tindakan anggota TNI tersebut juga merupakan pelangaran terhadap Pasal 38 UUT TNI Nomor 34 /2004 yang mewajibkan prajuti TNI untuk berpedoman pada Kode Etik Prajurit.

Kode Etik Prajurit yang dimandatkan dalam sumpa prajurit pada huruf 2 dengan tegas mewajibkan prajurit TNI untuk taat hukum. Jabaran dari kode etik tersebut mewajibkan TNI untuk taat hukum dengan tidak melakukan kekerasan terhadap warga negara diluar dari tugas pokoknya.

Kekerasan aparat TNI terhadap enam warga ini juga merupakan pelanggaran HAM atas hak enam korban tersebut, yaitu hak atas bebas rasa aman, bebas atas penyiksaan atau perbuatan tidak manusiawi lainnya. Hak atas perlindungan hukum dan hak atas penegakan hukum yang adil, sebagaimana diatur dalam berbagai istrumen HAM nasional maupun internasional.

“Aparat juga dengan alasan keamanan  dan menjaga proses pekerjaan proyek jalan trans Papua Barat dari menokwari – Sorong, aparat justru menjadi alat negara untuk merepresif gerakan masyarakat Tambrauw yang menggunakan hak kebebasannya untuk menyuarakan persoalanya. Hal ini sangat bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia ke dalam hukum nasional lewat UU nomor 12 tahun 2005.

Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

“Maka untuk menyikap kekerasan militer yang terjadi di daerah Tambrauw, Nduga dan tanah Papua, untuk mendukung terlaksananya proses implementasinya Internasional Covenan tentang Hak sipil dan Politik, sehingga kami, Front Mahasiswa Papua Anti Militerisme menutut kepada Rezim Jokowi dan United Nations agar segera.”

  1. Menolak Kehadiran Komando Distrik Militer (KODIM) di Tambrauw.
  2. Mengecak Bupati Tambrauw yang anti terhadap rakyat Tambrauw.
  3. Mendesak DPR Kabupaten Tambrauw agar memfasilitasi masyarakat Tambrauw untuk melakukan musyawara adat.
  4. Hentikan segala bentuk teror dan intimidasi terhadap masyarakat Werur dan Werdes di Kabupaten Tambrauw.
  5. Segera tangkap dan adili pelaku penganiayaan masyarakat sipil di distrik Woor Kabupaten Tambrauw.
  6. Mendesak Komnas HAM melakukan investigasi terhadap 6 orang warga sipil yang korban kekerasan aparat militer.
  7. Menolak pembangunan Kodim, Korem, Koramil, Mako Brimob, khususnya di Boven Digoel, Lanny Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, Maybrat, Sorong Selatan dan di seluruh tanah Papua.
  8. Menolak penambangan ilegal di Atafmafat, Kabupaten Tambrauw dan dari seluruh tanah Papua.
  9. Bebaskan semua tahanan politik Papua.
  10. Pemerintahan Jokowi segera mencabut UU Otsus karena 19 tahun telah gagal dalam implementasinya terhadap rakyat Papua.

 

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

PT IKS Diduga Mencaplok Ratusan Hektar Tanah Adat Milik Marga Sagaja

0
“Perusahaan segera ganti rugi tanaman, melakukan reboisasi dan yang paling penting yaitu kembalikan status tanah adat kami marga Sagaja,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.