Bupati Paling Produktif Menulis Buku

0
1286

Oleh: Ansel Deri)*
)* Penulis adalah sekretaris Papua Circle Institute, tinggal di Jakarta

Kalau kita ajukan pertanyaan kepada orang asli Papua, siapa Bupati atau Walikota di Tanah Papua yang paling produktif menulis buku, bisa saja jawabannya beragam. Apalagi bertanya, para pemimpin (Bupati-Walikota) lokal dengan usia tergolong muda.

Bisa dipastikan Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa adalah pemimpin lokal paling produktif dalam menerbitkan buku sepanjang sejarah pengabdiannya, entah sebagai Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) sebelum didapuk warga jadi Bupati Dogiyai bersama Wakil Bupati Oskar Makai.

Di atas mereka, para Bupati maupun Walikota, juga pernah menghasilkan karya tulis berupa buku. Gubernur Papua Lukas Enembe juga pernah menulis (kalau tak salah) “Jalan Terjal Anak Koteka Meretas Impian”, karya bernasnya yang melukiskan perjalanan panjang anak Koteka dari Tolikara bertaruh waktu untuk sekolah hingga akhirnya terpilih jadi Bupati Puncak sebelum akhirnya mendapat mandat rakyat Papua mengemban tugas sebagai Gubernur hingga dua periode kepemimpinannya.

Juga Eltinus Omaleng, Bupati Mimika, kabupaten yang bertabur emas, tembaga, perak, dan lain-lain, yang dikelola PT Freeport Indonesia Tbk kemudian menjadi penopang strategis pemasukan bagi negara.

ads

Omaleng, kepala suku besar pemilik ulayat Nemangkawi, gunung bertabur kekayaan alam melimpah yang membuat raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, tergila-gila melebarkan sayap usaha tambangnya di wilayah itu. Bupati Omaleng menerbitkan karyanya, “Papua Minta Saham”, kemudian buku itu dibedah dalam sebuah kesempatan di Hotel Borobudur, kawasan Lapangan Banteng, tak jauh dari stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat.

Baca Juga:  Sambut HUT ke-79 RI, TP PKK Intan Jaya Salurkan Bantuan untuk Anak Sekolah dan Ibu Hamil

Mengapa Menulis Buku?

Nama Yakobus Dumupa tentu tak banyak warga Papua atau Indonesia, kenal. Saya sejenak bersua dengan sosok anak muda ini dari buku karyanya. Buku itu, “Demokrasi Tidak Harus Langsung; Masalah, Dampak dan Solusi Pemilihan Kepala Daerah di Papua”, yang terbit tahun 2013 tatkala ia menjabat Anggota MRP, wadah kultural penyambung lidah rakyat seturut perintah Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus), UU yang dianggap efektif menjembatani pro-kontra ketertinggalan Papua dalam seluruh dimensi pembangunan sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1961.

Para intelektual Papua tak sekadar dihitung dengan jari. Sangat banyak. Mereka tak sekadar lahir dari kalangan masyarakat biasa. Gereja lokal juga memiliki “mutiara” berkelas yang ikut merawat peradaban umat manusia melalui karya tulis bagi generasinya.

Saya mencatat ada tokoh Gereja lokal semisal Pendeta Dr. Benny Giay, Pendeta Dr. Socratez Sofyan Yoman, (Alm) Pastor Dr. Neles Kebadabi Tebai, Pr, Markus Haluk, S.Fil, mantan wartawan Kompas dan mantan Menteri Kabinet Manuel Kaisiepo, Frans Maniagasi, dan lain-lain. Sekadar menyebut beberapa nama.

Mereka ini adalah intelektual Papua yang setia merawat peradaban dunia melalui buku karya mereka untuk generasi anak-anak tanah Melanesia.

Baca Juga:  Tim Sukses Paslon YUYUTAE Dilantik, Siap Menangkan Pilkada Dogiyai

Mengajukan pertanyaan kepada Bupati Dumupa mengapa menulis buku, sangat menarik. Suatu waktu, iseng-iseng saya bertanya kepada beliau mengapa ia “kepala batu” mau menulis buku. Namun, merespons jawaban itu kadang lama. Bisa dimaklumi. Dogiyai adalah kabupaten di Tanah Papua yang sangat sulit menerima akses telekomunikasi. Untung-untungan kalau cuaca pegunungan tengah bersahabat.

Mendapat akses informasi, warga kerap menempuh jarak ratusan kilometer ke Nabire, kabupaten tetangga yang sedikit jauh lebih beruntung. Tetapi, ia tak patah arang. Semangatnya menggunung sebagai anak kampung yang bermukim di Mowanemani, ibukota kabupaten Dogiyai, di bawah dekapan udara yang segar tanah leluhurnya.

Beberapa waktu lalu, melalui jejaring maya, Yakobus buka suara ikhwal panggilannya menulis buku di tengah tugas pokoknya bersama Oskar Makai memimpin Dogiyai.

Ia menyebutkan, ada dua hal yang mendorongnya menulis buku. Berawal dari kegemarannya membaca, merenung, dan berefleksi. Entah saat bertelanjang kaki berada di tengah got membersihkan saluran yang mampet atau menemani orangtuanya membersihkan kebun di sela-sela waktu luang sepulang kantor.

Yakobus menyampaikan beberapa alasan di balik kecintaannya menulis.

Pertama, pengetahuan yang ia peroleh dengan membaca mendorongnya untuk menyalurkan pengetahuan yang ia miliki kepada orang lain. Dan sarana penyalur yang paling efektif adalah menulis. Makanya, ia selalu beralasan, penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Baca Juga:  Diklat Prajabatan PPPK Kabupaten Intan Jaya Resmi Ditutup

Kedua, baginya tulisan dalam bentuk buku adalah sarana paling efektif untuk melestarikan atau mengabadikan kehidupan. Manusia punya batas waktu untuk hidup, tetapi apapun yang dirasakan, dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan bisa diabadikan melalui tulisan.

“Saya berharap dari buku-buku yang saya tulis dan terbitkan ada intensi mulia. Apapun yang saya tulis dapat berkontribusi untuk kebaikan bagi semua orang. Tulisan-tulisan dan buku-buku saya dapat memotivasi orang lain untuk menulis, bahkan menjadi penulis yang lebih hebat dari saya,” ujar Bupati Dogiyai.

Dumupa Odiyaipai —nama adat yang juga lazim dipakai sebagai nama pena— mengaku, hingga saat ini ia telah menulis dan menerbitkan sebelas buah buku beragam tema. Selain itu, masih ada sembilan naskah buku yang dalam proses penyelesaian penulisan.

Bagi orang tua, talenta yang diberikan Tuhan kepada putranya, adalah berkat yang wajib dibagikan kepada semakin banyak orang demi keagungan dan keluhuran nama-Nya.

Ia mengaku, sesungguhnya kedua orang tuanya juga tidak begitu kaget sang putra menjadi penulis buku. Sebab mereka tahu anak mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan itu.

“Orang tua saya hanya berharap agar saya terus menulis dan berharap semoga buku-buku saya berguna untuk kebaikan semua orang,” kata Yakobus.

Awal Oktober 2020, Yakobus Odiyaipai Dumupa menerbitkan buku barunya, “Ungkapan Kegelisahan: Catatan Harian Tahun 2012”. (*)

Jakarta, 2 Oktober 2020

Artikel sebelumnyaKeluarga Alm. Eden Bebari dan Ronny Wandik Akui Kecewa dengan Kinerja Komnas HAM
Artikel berikutnyaPengurus UKM Mahasiswa Pencinta Alam Uncen Dilantik