Diskusi Mahasiswa Soroti Investasi dan Militerisme di Tanah Papua

0
1361

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa Papua telah menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “dampak militerisme dan investasi terhadap lingkungan dan manusia di Tanah Papua”.

Diskusi itu digelar di aula asrama mahasiswa Intan Jaya di Buper, Waena, Kota Jayapura, Papua pada, Sabtu (31/10/2020).

“Kami datang di sini dengan latarbelakang masing-masing, namun memiliki masalah yang sama, maka dengan diskusi dan pemutaran film tadi semoga dapat menyadarkan kita untuk kita bersatu dan lawan pembunuhan, pembantaian, kekerasan militer, pengambilan lahan adat secara ilegal, dan perampasan harta kekayaan alam Papua didukung kekuatan negara ini,” ujar Naman Kogoya, koordinator diskusi kepada suarapapua.com, usai diskusi, Sabtu (31/10/2020).

Kogoya menjelaskan tim telah melakukan konsolidasi massa selama sebulan di lima daerah yang menjadi daerah operasi militer, yang mana telah bersatu dan dilakukan diskusi publik ini.

“Kami tim sudah kerja semaksimal mungkin untuk jalankan diskusi singkat di beberapa asrama di kota dan di Sentani. Maka teman-teman dari Ndugama, Intan Jaya, Pengunungan Bintang, Yahukimo dan Mimika telah bersatu untuk menyuarakan penderitaan orangtuanya di daerah. Saya harap teman-teman dari daerah lainnya dapat bersama mantapkan barisan lawan sistim yang menindas ini. Karena Ndugama menangis berarti Papua menangis, Intan Jaya menangis berarti Papua menangis dan juga daerah lainnya di tanah Papua,” harapnya.

ads
Baca Juga:  Jelang Idul Fitri, Pertamina Monitor Kesiapan Layanan Avtur di Terminal Sentani

Ia mengajak agar berbuat sesuatu untuk sanak0saudara di kampung-kampung yang menangis di pengungsiaan, yang kehilangan orang tua akibat operasi militer. Tidak bisa terus menerus seperti ini dengan menutup mata.

Sementara, salah satu narasumber dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wirya Supriadi dalam pemaparan materi menjelaskan, sejak PT. Freeport menekan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia pada 1967, ribuan perusahaan telah masuk di tanah Papua, hingga saat ini terus mengeruk kekayaan alam tanah Papua.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

“Perusahaan yang masuk di tanah Papua sudah ada ribuan perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu ada yang legal dan lebih banyak yang tidak legal. Mereka masuk seperti pencuri, karena gila akan SDA Papua.”

Perusahaan yang masuk hanya mengambil SDA tanpa melihat kesejahteraan masyarakat, yang mana dampak sangat negatif. Sehingga mengakibatkan banyak pelanggaran HAM di Papua.

Wirya lalu memberi beberapa rekomenadi dari materi yang ia paparkan, agar mahasiswa ketahui apada yang terjadi di Papua.

“Mahasiswa harus menjadi pelopor dalam isu-isu lingkungan hidup dan fenomena ekosida di Papua. Mahasiswa harus konsolidasi dan bersatu membantu rakyat menjaga wilayah adat. Berharap mahasiswa juga membaca data mengenai kondisi lingkungan yang terjadi saat ini,” ujar Wirya.

Senada disampaikan pemateri dari Perkumpulan Advokat HAM Papua (PAHAM) Papua, Anis Mambrasar. Katanya, kekerasan militer di Papua telah terjadi sejak meletusnya Perang dunia dua pada 1940. Termasuk sejak gagalnya pembentukan sebuah negara oleh orang Papua pada 1961.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

“Kekerasan militer di tanah Papua tidak pernah berhenti hingga saat ini. Banyak pelanggaran HAM berat di Papua, sebutnya saja Biak berdarah, Wasior berdarah, Abe berdarah, Wamena, Paniai dan lainnya.

Namun demikian, pemerintah Indonesia tidak pernah hentikan dan selesaikan kasus-kasus itu. Sekaligus penambahan pasukan non organik di tanah Papua dengan dalil menjaga kedaulatan negara.

“Kekerasan militer dan pendropan pasukan terus terjadi, seperti di Ndugama pada 2018 hingga hari ini. Intan Jaya pada 2019 hingga saat ini, di Mimika, Yahukimo, Oksibil, Maybarat. Jumlah militer non organik di Papua 2011 ada 16.000 (Imparsial), 2018-2019 ada 1.253 personil dan 2019 ada 6.000 pasukan TNI AD (ketika pecah kasus rasisme),” jelasnya.

 

Pewarta: Yanuarius Weya

Editor: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaKPU Nabire Gelar Debat Perdana Tiga Calon Bupati dan Wakil Bupati
Artikel berikutnyaGubernur Mandacan Sambut Kehadiran Kantor LPP TVRI Papua Barat