Masyarakat Adat Minta Pemprov Papua Mencabut Izin Perusahaan

0
1114

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Perwakilan masyarakat adat Suku Wambon Tekamerop asal Distrik Subur dan Suku Awyu asal Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, melakukan perjalanan jauh dari kampung dipedalaman Kali Digoel hingga ke Jayapura, pusat pemerintahan Provinsi Papua, untuk mengadukan permasalahan yang sedang dihadapi dan meminta pemerintah provinsi melindungi hak-hak mereka.

Masyarakat adat Suku Wambon Tekamerop saat ini sedang berhadapan dengan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) yang ingin menggusur tanah dan hutan adat seluas 206.800 hektar untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Masyarakat adat suku Wambon Tekamerop sebagai pemilik tanah adat telah menyatakan sikap menolak dengan tegas kehadiran dan rencana perusahaan PT MRJ, masyarakat mengalami trauma berkepanjangan atas kehadiran perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan pembalakan kayu yang membabat hutan dan belum memberikan dampak positif ke masyarakat hingga saat ini.

Sementara masyarakat adat Suku Awyu juga sedang berhadapan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang baru, salah satu diantaranya PT Indoasiana Lestari (IL), yang ingin menggusur hutan adat suku Awyu di Distrik Fofi, seluas 30.190 hektar.

Kehadiran perusahaan mengancam hilangnya hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan, menimbulkan konflik dan sikap pro kontra antara keluarga, marga dan suku. Ada indikasi perusahaan memanfaatkan pihak-pihak masyarakat yang tidak memiliki hak untuk melepaskan hutan adat. Namun, dilapangan masyarakat telah memalang dan memasang salib merah sebagai bentuk penolakan masyarakat atas rencana perusahaan.

ads
Baca Juga:  HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

Dalam press release (12/11/2020), disampaikan bahwa sejak tanggal 09-11 November 2020, perwakilan masyarakat adat tersebut berdialog dan menyampaikan sikap secara tertulis kepada pejabat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, Dinas Kehutanan (DISHUT) Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

“Kami masyarakat adat Suku Awyu meminta Gubernur Provinsi Papua, segera mencabut izin-izin perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indoasiana Lestari yang beroperasi di wilayah adat suku Awyu”, ungkap Frengky Woro.

Kepada Gubernur Provinsi Papua, masyarakat adat Wambon Tekamerop di Distrik Subur meminta Gubernur tidak mengeluarkan keputusan atau izin teknis, rencana kerja tahunan atau rekomendasi operasional kepada PT MRJ dan mencabut  izin usaha Hutan Tanaman Industri Pulp PT MRJ.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop ingin mengelola hutan adat sendiri, “Kami mohon dukungan kebijakan pemerintah untuk melindungi tanah dan hutan adat”, minta Valentina Wanopka, tokoh perempuan adat dari Kampung Subur.

Baca Juga:  Bangun RS Tak Harus Korbankan Warga Sekitar Sakit Akibat Banjir dan Kehilangan Tempat Tinggal

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mendokumentasikan situasi lapangan dan perijinan perusahaan, ditemukan konsesi perusahaan berada pada kawasan hutan alam dan terdapat lahan gambut, yang seharusnya menurut ketentuan pemerintah areal hutan tersebut dilindungi dan belum dibolehkan ada izin usaha baru.

Perusahaan (MRJ) juga tidak memiliki AMDAL dan Izin Lingkungan, karenanya aktifitas perusahaan dapat menghancurkan lingkungan di wilayah tersebut.

Informasi dari dinas DPMPTSP dan DISHUT Provinsi Papua, kedua perusahaan PT MRJ dan PT Indoasiana Lestari sedang mengajukan beberapa permohonan izin atau pertimbangan teknis sebagai persyaratan untuk melakukan kegiatan.

Terkait tuntutan penolakan masyarakat akan menjadi perhatian dan pertimbangan penting bagi kedua instansi pemerintah tersebut untuk mengambil kebijakan.

Selama permohonan izin atau rekomendasi teknis yang diminta kedua perusahaan tidak dilengkapi dengan persetujuan atau mendapat penolakan dari pemilik ulayat, maka pemerintah akan menyerahkan kembali permohonan untuk menyelesaikan dahulu permasalahan dengan pemilik ulayat.

Gubernur Papua telah mengajukan penolakan PT MRJ kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2013, namun KLHK kembali mengeluarkan izin baru kepada PT MRJ dengan alasan adanya  putusan pengadilan yang memenangkan PT MRJ. Yayasan Pusaka berpendapat banyak permasalahan hukum dari putusan pengadilan yang memenangkan PT MRJ, antara lain saksi-saksi yang dihadirkan bukanlah sebagai pemilik hak hutan adat.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay S.H, M.H, menegaskan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Boven Digul untuk menjalankan kewajiban penegakan peraturan yang menjamin hak-hak dasar masyarakat adat Papua sebagaimana diatur dalam konsitusi dan peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 6 UU Nomor 39 Tahun 1999 jo Pasal 43 UU Nomor 21 Tahun 2001.

“Jika pada prakteknya nanti Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Boven Digul tidak menjalankan beberapa ketentuan diatas maka LBH Papua akan mendampingi Masyarakat Adat memproses hukum pemerintah dalam hal ini Kepala Dinas terkait yang akan menerbitkan ijin pinjam pakai tanpa sepengetahuan masyarakat adat pemilik atas Tindak Pidana Penggelapan Tanah Adat sebagaimana diatur pada Pasal 385 KUHP”, tegas Emanuel Gobay.

SUMBERPusaka.or.id
Artikel sebelumnyaOperasi Militer Papua Pelanggaran Hak Hidup Masyarakat Sipil Papua
Artikel berikutnyaMahasiswa Dukung Perjuangan Masyarakat Adat Wambon Tekamerop