Akar Militerisme di Papua, Tapol: Negara Gagal Jalankan Reformasi Politik Sejati

0
1222
Ilustrasi, Tapol.org
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tahanan Politik (Tapol) Indonesia menilai negara telah gagal total menjalankan reformasi politik sejati di Tanah Papua, terutama dalam realitas militerisme yang mengakar, pendekatan kesejahteraan dan politik pengecualian di West Papua.

Dalam keterangan tertulis yang diterima media Suara Papua dikatakan bahwa sejak rezim orde baru pada 1966-1998 ditumbangkan, kekuasaan dan otoritas pasukan keamanan Indonesia di wilayah West Papua secara umum tidak pernah berkurang.

“Kami pikir hal itu terjadi karena dua alasan. Kedua alasan itu berasal dari kegagalan menjalankan reformasi politik yang sejati di West Papua dan Indonesia.”

Menurut Tapol, kekuasaan militer dan polisi di West Papua tetap tidak terkendali oleh lembaga-lembaga yang dibentuk undang-undang Otonomi Khusus tahun 2001.

“Kami akan membahas lebih jauh aspek Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsu) secara terpisah dalam catatan berikutnya.”

ads

Pendekatan kesejahteraan di West Papua selama ini dipahami secara sempit oleh pemerintah pusat di Jakarta. Kucuran dana proyek-proyek yang pendanaannya tidak dialokasikan berdasarkan analisis kebutuhan, tetapi justru dipakai untuk korupsi yang merajalela, dan sering kali difokuskan pada pembangunan jalan.

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

Meningkatnya kehadiran aparat keamanan di kawasan pegunungan tengah, mengobarkan ketegangan, dan mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kepentingan ekonomi militer secara khusus tetap dilindungi dan struktur teritorialnya yang dibentuk sejak sebelum orde baru dan tetap dilestarikan.

“Kami menguraikan beberapa pengecualian ini di akhir catatan ini. Di sini kami menggunakan istilah West Papua untuk merujuk pada wilayah yang terdiri dari dua provinsi Papua dan Papua Barat.”

Tak hanya itu, dilihat dari postur kesejahteraan dan keamanan dalam bingkai dua sisi di satu koin yang sama, di bawah rezim orde baru, West Papua merupakan sasaran kampanye militer besar-besaran dan brutal, terutama tahun 1977 dan 1984.

West Papua pernah mengalami darurat militer “Daerah Operasi Militer” (DOM) pada 1989. Berakhirnya DOM di Papua pada 1998 dipicu oleh jatuhnya orde baru, tetapi jumlah tentara yang sejak itu berkurang secara signifikan, bukan karena ada program demiliterisasi yang komprehensif, justru sebaliknya, militerisme masih bertahan.

Baca Juga:  Pilot Selandia Baru Mengaku Terancam Dibom Militer Indonesia

Kegagalan dalam mengendalikan kekuatan aparat keamanan merupakan bagian dari berakhirnya kebangkitan politik Papua atau “The Papuan Spring”.

Periode keterbukaan politik tahun 1998-2001 menjadi saksi para pemimpin politik West Papua melakukan advokasi referendum penentuan nasib sendiri maupun otonomi khusus, diskusi terbuka tentang penentuan nasib sendiri West Papua, dan pengibaran bendera Bintang Kejora pada Hari Nasional West Papua (1 Desember) tahun 1999.

Presiden Jokowi mengizinkan militer memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, salah satunya di West Papua.

Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Namun, Tapol berpandangan, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di provinsi West Papua. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.

Baca Juga:  Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

Tapol Indonesia kembali merekomendasikan pemerintah Indonesia sebagai berikut:

Pertama, kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mendemiliterisasi wilayah Pegunungan Tengah West Papua, diawali dengan menarik pasukan dalam jangka waktu dua bulan sejak Desember 2020.

Ini harus menjadi langkah awal dari program demiliterisasi Pegunungan Tengah dan seluruh West Papua yang dilakukan secara sistematis, permanen, dinegosiasikan, dan bisa diawasi oleh komunitas internasional.

Kedua, Kami meminta perhatian dewan keamanan PBB yang punya peran penting dalam mengeluarkan pernyataan keprihatinan/kepedulian tentang masalah keamanan internasional yang mendesak.

Bagaimanapun, dewan keamanan tidak akan menjalankan perannya dengan baik jika dipimpin oleh Indonesia yang menolak mengakui adanya krisis kemanusiaan atau pelanggaran HAM di West Papua.

Dalam konteks ini, kami ingin menunjukkan bahwa upaya pemerintah Indonesia untuk mengizinkan pemantau PBB mengunjungi West Papua belum terpenuhi. Kegagalan-kegagalan terkait masalah West Papua ini perlu segera ditangani dewan keamanan.

Pewarta: Yance Agapa
Penyunting: Yance Agapa 
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaPentabisan Gedung Gereja Elim Mubrani, Pdt. Kaigere: Harus Ada Buah yang Berbuah
Artikel berikutnyaSambut Hari HAM Sedunia, BEM Uncen Buat Diskusi Publik