BeritaPendekatan Militeristik Justru Kian Menambah Rumit Persoalan Papua

Pendekatan Militeristik Justru Kian Menambah Rumit Persoalan Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Papua selalu dominan politis praktis tanpa memikirkan dampaknya terhadap rakyat Papua. Para pejabat mesti sadar bahwa kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) maupun pemekaran daerah otonom baru (DOB) bukanlah kebutuhan mendesak bagi rakyat Papua.

“Otsus, pemekaran dan kebijakan serupa lainnya tidak penting karena tidak bisa menyelesaikan persoalan. Rakyat Papua butuh hidup yang aman di negerinya,” ujar Ambrosius Mulait, sekretaris jenderal Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) kepada suarapapu.com, Jumat (19/2/2021) kemarin.

Menurutnya, selama ini banyak rakyat Papua dibunuh atas nama pembangunan, tetapi oleh aparat keamanan mereka dituduh anggota TPNPB/OPM.

“Itu yang biasa terjadi hanya untuk menghilangkan tuduhan melanggar HAM. Tetapi penembakan terhadap Pendeta Yeremias Zanambani adalah pelajaran bagi pemerintahan Jokowi, bahwa setiap kebenaran tidak bisa dibohongi lagi dan ketahuan juga siapa pelakunya,” ujar Mulait.

Baca Juga:  Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

Persoalan Papua tidak bisa dibiarkan berlarut, sebab itu menurut dia, pemerintah pusat dan daerah mesti mencari solusi secara komprehensif dengan tidak lagi memberlakukan pendekatan militeristik.

“Hari ini rakyat Intan Jaya membutuhkan pertolongan dari semua pihak. Situasi mendesak di Intan Jaya dan Nduga, tetapi pemerintah pusat, gubernur maupun ketua DPRP berdiam diri tanpa ada solusi. Padahal sekitar 1.000 rakyat Intan Jaya telah mengungsi dari empat kampung yang ada di distrik Sugapa. Mereka mengungsi ke komplek susteran dan pastoran Paroki Santo Mikael Bilogai,” tuturnya.

Untuk itu, AMPTPI mendesak negara segara menghentikan pengiriman aparat yang berlebihan ke Tanah Papua. Pendekatan dialogis diharapkan lebih diutamakan, karena kekerasan negara terhadap rakyat di Tanah Papua terus bertambah dan itu tidak menyelesaikan masalah mendasar.

“Pola pendekatannya harus diganti. Selama ini korban di pihak rakyat sudah banyak tanpa ada upaya penyelesaian. Ini terus menambah kebencian terhadap negara dan itulah konsekuensi logis dari langkah kekerasan yang diambil oleh pemerintah dengan pendekatan militeristik di Tanah Papua,” kata Mulait.

Baca Juga:  Koalisi: Selidiki Penyiksaan Terhadap OAP dan Seret Pelakunya ke Pengadilan

Sekjen AMPTPI menegaskan, kekerasan tidak membawa kedamaian, justru makin bertambah panjang daftar kasus pelanggaran HAM yang terus menerus disoroti dunia internasional.

“Sebaiknya mulai gencatan senjata, dari pada bicara sana sini tetapi hasil tetap tidak berubah. Setiap peristiwa terus terjadi karena pemerintah tidak serius. Situasi Papua hari ini sesungguhnya menjelaskan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola masalah Papua. Perlu gencatan senjata antara pemerintah yang diwakili TNI-Polri dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), agar tidak korbankan rakyat sipil,” tegasnya.

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Joko Widodo sengaja memelihara konflik bersenjata yang terus memakan korban kemanusiaan di Papua. Karena itulah presiden Joko Widodo diminta bertanggungjawab atas korban kemanusiaan baik di pihak TPNPB, TNI/Polri maupun rakyat sipil.

Baca Juga:  Ruang Panggung HAM Harus Dihidupkan di Wilayah Sorong Raya

Pernyataan ini dikeluarkan oleh organisasi perlawanan sipil setelah menilai pemerintahan Jokowi terkesan menghendaki korban terus berjatuhan dengan sengaja menutup jalan keluar yang damai.

“Saya kira Jokowi sedang panen darah manusia yang terus mati terbunuh dalam konflik bersenjata, karena enggan mengambil solusi politik yang damai antara pejuang kemerdekaan dan pemerintah Jakarta,” ujar Victor Yeimo, juru bicara internasional KNPB.

Menurutnya, setiap konflik bersenjata, apalagi yang didasari ideologi penguasa versus perjuangan kemerdekaan tidak akan pernah selesai dengan korban berdarah-berdarah, tetapi selalu berakhir dengan kemauan politik kedua belah pihak untuk secara benar dan jujur selesaikan akar konfliknya.

Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.