Nasional & DuniaInilah Sikap Lima Pemimpin Gereja Katolik di Papua Terhadap Situasi Terkini

Inilah Sikap Lima Pemimpin Gereja Katolik di Papua Terhadap Situasi Terkini

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Para pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua (Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Agats, Keuskupan Manokwari-Sorong, dan Keuskupan Timika) menyerukan agar kekerasan yang terus terjadi di Nduga, Puncak dan Intan Jaya segera diakhiri untuk menciptakan perdamaian.

Suara gembala dan pernyataan sikap bersama para pemimpin lima Keuskupan di Tanah Papua itu dipublikasikan dalam jumpa pers di Susteran Maranatha, Waena, Kota Jayapura, Kamis (25/2/2021), sehari sebelum pertemuan tahunan itu ditutup. Pertemuan dimulai sejak 22 Februari 2021.

Mengutip keterangan pers yang ditandatangani Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM, Uskup Agats, Mgr. Aloysius Murwito, OFM, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Merauke, RP. Hengky Kariwop, MSC, Administrator Keuskupan Timika, RD. Marthen Kuayo, Pr, para pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua menyoroti kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua terutama di Intan Jaya, Puncak dan Nduga.

Administrator Keuskupan Timika dalam pertemuan itu melaporkan peristiwa kekerasan dan konflik bersenjata di Intan Jaya dan Puncak menimbulkan korban di pihak warga sipil, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) maupun TNI dan Polri. Mereka menjadi korban entah karena “salah tembak”, atau karena dicurigai sebagai mata-mata dari pihak lawan.

Menyikapi hal ini para Uskup menegaskan, apapun alasannya, Gereja Katolik di Tanah Papua menolak kekerasan kemanusiaan yang terjadi.

“Siapapun yang menjadi korban, kekerasan kemanusiaan itu sendiri membuat kami sedih dan marah. Siapapun pelakunya, entah itu TNI, Polri, TPNPB-OPM, tidak bisa dibenarkan, biarpun itu dilakukan dengan alasan yang luhur menurut pandangannya,” demikian para pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua.

Baca Juga:  Komisi HAM PBB Minta Indonesia Izinkan Akses Kemanusiaan Kepada Pengungsi Internal di Papua

Meski kekerasan dilakukan dengan alasan memperjuangkan kebenaran dan keadilan masing-masing pihak, tetapi para Uskup tegaskan, kekerasan bukan satu-satunya jalan memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Para pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua mengaku khawatir bahwa kekerasan yang telah terjadi akan memupuk kekerasan berikutnya, melahirkan kekerasan baru, sehingga korban akan terus berjatuhan.

“Kebenaran dan keadilan harus diperjuangkan dan ditegakkan, tetapi perjuangan dengan cara kekerasan tidak akan pernah berhasil,” tulisnya.

Karena itu, TPNPB maupun TNI dan Polri diingatkan agar tidak melanjutkan tindakan kekerasan yang mengorbankan warga sipil.

“Kami menyerukan agar tindak kekerasan oleh kedua belah pihak (TPNPB-OPM dan TNI/Polri) dihindari dan dihentikan, agar masyarakat sipil jangan lagi menjadi korban.”

Selain itu, institusi keamanan diharapkan meninjau kembali penempatan dan pengelolaan fungsi aparat keamanan di Tanah Papua, baik TNI maupun Polri.

“Kami mendesak agar penempatan dan fungsi aparat keamanan ditata kembali secara profesional dan proporsional.”

Para Uskup berharap, pendekatan kemanusiaan yang sering didengungkan aparat keamanan diwujudkan secara nyata dalam tindak tanduk mereka yang bertugas di Papua.

“Pendekatan dengan hati dan kasih, itulah semboyan yang sudah sering didengungkan. Kami berharap semboyan itu bisa menjadi nyata dalam sikap dan perilaku aparat keamanan,” tulisnya.

Baca Juga:  Polri akan Rekrut 10 Ribu Orang untuk Ditugaskan di Tanah Papua

Para pemimpin Gereja Katolik berharap pengendalian pasukan aparat keamanan di Tanah Papua sepenuhnya dilakukan oleh Kapolda Papua dan Pangdam XVII/Cenderawasih.

“Tidak dikendalikan oleh atasan yang berada di luar Papua,” tulis para Uskup.

Terkait perdebatan revisi Undang-undang Otsus Papua, para pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua menyoroti banyaknya wewenang Otsus yang gagal dijalankan, khususnya dalam mengakui, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak masyarakat adat di Papua.

Para pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua juga menyoroti buruknya kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan di Tanah Papua. Para pimpinan Gereja Katolik juga menyinggung tidak efektifnya Otsus dalam merumuskan kebijakan kependudukan dan ketenagakerjaan, sehingga orang asli Papua terus terpinggirkan.

Para pimpinan Gereja Katolik juga menyinggung kegagalan pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diamanatkan Undang-undang Otsus Papua.

Sebagai solusi mengatasi persoalan Papua, para pimpinan Gereja Katolik kembali mendorong Dialog Papua. Mereka mengingatkan, dialog hanya bisa diwujudkan jika masing-masing pemangku kepentingan mau melunakkan sikap untuk mencari titik temu demi penyelesaian masalah secara komprehensif.

Aspirasi Umat Katolik

Solidaritas Umat Pribumi Katolik Papua mendatangi tempat pertemuan para pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua, Rabu (24/2/2021). Tujuannya hendak menyampaikan sejumlah keluhan, termasuk mendesak Gereja Katolik di Tanah Papua keluar dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan bergabung dengan Konferensi Waligereja di Pasifik.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Sekelompok umat dipimpin Chris Dogopia enggan ditemui para gembala Gereja Katolik.

Solidaritas Umat Pribumi Katolik Papua dalam keterangan pers mengungkapkan kekecewaannya walau upaya mereka sudah tepat dan tidak mengganggu jalannya pertemuan. Tetapi, para gembala terutama Uskup Jayapura menolak bertemu umatnya, meski mereka datang dengan cara santun.

Keluh kesah umat tak mau didengar sang gembala.

“Di mana suara kenabian untuk kami? Pertanyaan ini kami layangkan khusus kepada para Uskup di Tanah Papua dan KWI. Kami harap KWI bisa jawab ini kalau sudah baca. Kami sangat sedih dengan sikap diskriminatif KWI secara organisatoris. Kami rasa dalam banyak hal, terutama dalam konteks masalah kemanusiaan di Papua, KWI memilih diam. Karena seperti inilah yang membuat kami ingin Gereja Katolik di Tanah Papua keluar dari KWI, dan bergabung dengan Konferensi Waligereja di Pasifik,” tulisnya dalam siaran pers.

Solidaritas menyatakan, lima Uskup baru di Tanah Papua harus Imam Katolik asli Papua, atau yang lahir besar, sudah lama berkarya dan tahu kondisi pastoral, antropologis, geografis dan sebagainya.

“Saatnya pastor asli menjadi Uskup. Kami tidak mau Uskup baru dari luar Papua yang tidak tahu apa-apa dan dititip untuk sekedar memimpin misa, umat dan membantu pihak lain yang mengancam eksistensi umat Katolik di Tanah Papua.”

Redaksi

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

0
“Pukul 11. 04 WP pihak keamanan hadirkan pihak DPR PB. Pukul 12. 05 WP, massa aksi kami arahkan untuk menyampaikan orasi politik dari masing-masing organisasi. Akhir dari orasi politik membacakan pernyataan sikap.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.