Laporan Greenpeace ‘Stop Baku Tipu’ Ungkap 168.571 Hektar Hutan Dikonversi ke Perkebunan Sawit

0
1735
Dokumentasi tutupan lahan, pembukaan hutan dan pengembangan perkebunan di konsesi kelapa sawit PT Megakarya Jaya Raya (PT MJR), bagian dari grup Hayel Saeed Anam yang memiliki sejumlah kepentingan terkait kelapa sawit termasuk Pacific Inter-Link yang mengontrol penyulingan minyak sawit HSA dan kepentingan perdagangan. Lokasi di Boven Digoel Papua. (Greenpeace - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Greenpeace International menerbitkan laporan terbarunya pada 6 April 2021 dengan judul ‘Stop Baku Tipu’; Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Laporan ini mengungkap dugaan pelanggaran sistematis perizinan perkebunan dan pelepasan kawasan hutan di provinsi Papua dalam rentang 2011-2019.

Hampir satu juta hektare hutan di Provinsi Papua telah dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000, atau hampir dua kali luas pulau Bali. Sebagian besar pelepasan tersebut untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hingga 2019, berdasarkan analisis CIFOR telah ada seluas 168.471 hektar hutan alam di Provinsi Papua yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Jumlah ini akan terus bertambah seiring bertambahnya pelepasan kawasan hutan dan izin perkebunan.

Program perlindungan hutan dan lahan gambut, termasuk Moratorium Hutan dan Moratorium Kelapa Sawit belum mencapai hasil yang memuaskan, dan erkesan jalan di tempat. Hal tersebut tak lepas dari banyaknya celah pada kebijakan dan lemahnya penegakan hukum. Meskipun penurunan deforestasi terjadi, tetapi belum ada bukti yang kuat hal tersebut akibat adanya regulasi pemerintah.

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Sementara itu, Masyarakat Adat sebagai salah satu kelompok yang rentan dan paling terancam akibat ekspansi perkebunan sawit tidak kunjung mendapat pengakuan hak dan akses kelola. Justru sebaliknya, akhir tahun lalu pemerintah dan DPR memilih mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang dirancang untuk kepentingan oligarki. Perlindungan lingkungan hidup dan keberadaan masyarakat adat semakin terancam di bawah rezim undang-undang ini.

Kajian Greenpeace Internasional terhadap 32 perusahaan di Tanah Papua mengindikasikan bahwa proyek-proyek rakus lahan terutama di bagian selatan Provinsi Papua, sebagian besar diduga terbit dengan melanggar hukum.

ads

Arie Rompas, Ketua Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan, “Kami menemukan sejumlah indikasi dugaan pelanggaran sejak proses penerbitan izin lokasi dan pelanggaran lainnya, seperti pada tahap pelepasan kawasan hutan, atau perubahan peta moratorium gambut yang menguntungkan sejumlah perusahaan,” jelas Arie Rompas.

Menurut Rompas, ada terdapat 25 perusahaan dari 32 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan, antara 2011-2019. Proses pelepasan tersebut diduga melanggar peraturan menteri mengenai pelepasan kawasan hutan. Pelepasan tersebut terjadi pada saat Zulkifli Hasan menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009-2014), dan juga di era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Baca Juga:  Tiga Warga Sipil Disiksa, Begini Sikap Mahasiswa Puncak se-Jawa dan Bali
Cover depan laporan Greenpeace Internasional. (Greenpeace – SP)

“Hasil investigasi kami menemukan dugaan keterlibatan sejumlah elit politik pada perusahaan yang memperoleh izin perkebunan, dan pelepasan kawasan hutan sejak dari awal proses penerbitan izin. Di antaranya masih ada yang menjabat anggota DPR RI, mantan kapolri atau jenderal polisi, mantan menteri, dan pengurus atau anggota partai politik. Posisi mereka di perusahaan-perusahaan tersebut beragam ada sebagai pemegang saham maupun pengurus perusahaan,” terangnya.

Keberadaan elit politik ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Mereka disinyalir bisa mempengaruhi pembentukan produk perundang-undangan ataupun kebijakan di sektor perkebunan dan kehutanan, yang berkaitan langsung dengan usaha yang mereka geluti. Salah satu contoh produk legislasi yang sarat kepentingan oligarki maupun elit politik tertentu adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang ini melemahkan perlindungan lingkungan hidup, buruh, dan masyarakat adat.

Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Papua, Greenpeace mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah serius dalam perlindungan hutan alam tersisa di Tanah Papua.

Baca Juga:  Koalisi: Selidiki Penyiksaan Terhadap OAP dan Seret Pelakunya ke Pengadilan

“Sebagian besar perusahaan belum mulai membuka lahannya. Ini kesempatan pemerintah untuk menyelamatkan hutan alam. Melalui instrumen kebijakan yang ada saat ini, pemerintah bisa menganulir pelepasan dan izin yang terlanjur dikeluarkan tersebut sebagai bentuk corrective action,” tegas Nico.

Temuan Greenpeace Internasional ini juga katanya sejalan dengan temuan tim review izin di Provinsi Papua Barat maupun Provinsi Papua baru-baru ini. Khusus di Papua Barat, bahkan telah merekomendasikan pencabutan hampir selusin izin perkebunan untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau dialokasikan untuk masyarakat adat.

Jika rekomendasi ini dijalankan, pemerintah tidak hanya menyelamatkan hutan alam tersisa, tetapi juga akan membantu pencapaian target reforma agraria yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak awal menjabat.

“Pemerintah Provinsi Papua harus mengikuti langkah serupa, sejalan dengan keluarnya hasil review izin yang telah mereka lakukan dan mempertimbangkan temuan Greenpeace Internasional ini. Kami akan menyampaikan temuan ini ke Gakkum KLHK dan penegak hukum terkait untuk ditindaklanjuti,” tutup Nico.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Artikel sebelumnyaPro dan Kontra DPRD Lanny Jaya Terkait Demo Tolak Otsus Jilid 2 di Tiom
Artikel berikutnyaGreenpeace Indonesia Desak Pemerintah Cabut 25 Izin Perusahaan Perusak Hutan Papua