BeritaICP Mencatat Delapan Kasus Baru Pembunuhan di Luar Hukum di Papua

ICP Mencatat Delapan Kasus Baru Pembunuhan di Luar Hukum di Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— International Coalition for Papua (ICP) merilis laporan kompilasi pelanggaran Hak Asasi Manusia di tanah Papua pada periode Januari hingga Maret 2021. Dalam laporannya itu, pihaknya mencatat ada delapan kasus pembunuhan di luar hukum. 7 kasus diantaranya terkait konflik bersenjata di pegunungan tengah Papua.

Selain itu, dengan kondisi tanah Papua yang semakin buruk, pihaknya terus menyerukan agar segera dilakukan kunjungan Komisaris Tinggi HAM PBB ke tanah Papua.

Kasus-kasus ini menurut ICP tidak ada investigasi yang dilakukan karena militer mengklaim para korban terkait dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB – OPM). Intensitas konflik yang sedang berlangsung kemungkinan akan semakin parah karena Jakarta terus mengerahkan pasukan non-organik tambahan ke Papua Barat.

Berdasarkan catatan ICP, pasukan yang dikirim ke Papua setidaknya sebanyak 1.800 personel militer dan 100 anggota pasukan khusus polisi pada kuartal pertama 2021 untuk melawan TPN PB. Termasuk menjaga ketertiban umum, dan mengamankan kepentingan pemerintah dan militer.

Baca Juga:  Stop Kriminalisasi dan Pengalihan Isu Pemerkosaan dan Pembakaran Rumah Warga!

Pemerintah Indonesia terus mencari solusi kekerasan untuk konflik tersebut. Pada Maret 2021, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencananya untuk memasukan organisasi TPN PB ke dalam daftar organisasi teroris.

Tindakan ini akan membuat pembicaraan damai antara pihak-pihak yang berkonflik menjadi lebih tidak mungkin.

Pengerahan pasukan keamanan non-organik dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung akan merugikan masyarakat adat di daerah konflik. Kekerasan bersenjata di Kabupaten Intan Jaya menyebabkan sedikitnya 3.600 orang asli Papua mengungsi ke sejumlah daerah.

ICP juga menyatakan dalam laporannya itu bahwa kebebasan berkumpul dan berekspresi secara damai sangat dibatasi oleh anggota pasukan keamanan di tanah Papua, terutama dengan dalih menegakkan protokol kesehatan Covid-19.

“Jika protes damai dan acara publik tentang Papua Barat direncanakan atau terjadi, peserta atau pengunjukrasa dihalangi atau segera dibubarkan oleh pasukan keamanan. Beberapa pembubaran disertai dengan penangkapan sewenang-wenang dan penahanan,” tulis ICP.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

Lembaga penegak hukum terus melawan keterlibatan apa pun dalam kegiatan politik tentang kemerdekaan Papua Barat dengan tindakan hukum penuh. Pola penuntutan untuk membungkam aktivis telah meluas dan mencakup dakwaan karena membantu dan bersekongkol dengan pembunuhan, penyerangan fisik atau pelanggaran undang-undang darurat terkait senjata api ilegal.

Selama kuartal ini, tim dari sekretariat ICP telah mendokumentasikan setidaknya empat persidangan, di mana hakim menyatakan terdakwa bersalah, sementara pengacara berpendapat bahwa keterlibatan kriminal tidak terbukti di pengadilan.

Seorang hakim di Merauke menolak tantangan legalitas penangkapan 13 aktivis, yang ditangkap tanpa surat perintah dan disiksa selama penahanan polisi. Polisi dan jaksa penuntut umum cenderung mendorong proses persidangan, meskipun kurangnya bukti – sebuah strategi yang sering diterapkan oleh lembaga penegak hukum untuk membungkam aktivis pro-kemerdekaan dan kritikus pemerintah.

Menyusutnya ruang publik di Papua Barat juga menghambat wacana publik yang bebas tentang amandemen UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua, menyusul debat parlemen Indonesia tentang revisi UU Otsus Papua pada Januari 2021.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Rancangan amandemen tersebut menyangkut Pasal 76 yang mengatur tentang pembentukan daerah otonomi baru, pasal 76 tentang usul perubahan UU Otsus oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP ke DPR RI dan pemerintah pusat, serta pasal 34 (3) e tentang alokasi dana otonomi. Khususnya, usulan amandemen Pasal 76 dan 77 undang-undang tersebut secara sistematis bertujuan untuk melemahkan amanat DPRP dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Berbagai demonstrasi menentang pembentukan provinsi baru dan perpanjangan Otonomi Khusus Papua menggambarkan penolakan yang meluas terhadap rencana Jakarta.

MRP dan DPRP secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap revisi UU secara sepihak. Elit politik kecil dan kelompok nasionalis mendorong perpanjangan otonomi khusus dan pemekaran Provinsi Papua menjadi lima provinsi.

 

Editor: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Anggota DPRP Usulkan Beberapa Rute Penerbangan Perintis di Papua Tengah

0
"Sesuai dengan pemantauan kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi perintis, saya menemui Direktorat Angkutan Udara di Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI, demi mendorong adanya trayek baru dengan titik operasional dari Nabire untuk penerbangan perintis pada tahun 2025," kata ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.