Persepsi Anak-anak Papua Non-Islam tentang Bulan Puasa

0
1161

Oleh: Yosef Rumaseb)*
)*Penulis adalah anak kampung. Tinggal di Biak.

Umumnya, persepsi anak Papua Non-Islam di wilayah mayoritas Kristen tentang Bulan Puasa berpusat di akhir bulan Ramadhan. Bersama rekan-rekannya yang beragama Islam meramaikan Malam Takbiran. Lalu, apalagi, besoknya saat Hari Raya Lebaran membentuk Pasukan PETA (Pegang Tangan) dan bersalaman dari rumah ke rumah keluarga Muslim dengan kantong plastik di tangan. Pasukan PETA pulang dengan wajah gembira membawa banyak minuman ringan, kue-kue, cemilan.

Banyak kisah lucu dari Pasukan PETA ini. Puluhan tahun lalu, tahun 1970-an, saya juga anggota Pasukan PETA. Kami “serbu” satu rumah. Banyak kue dihidangkan. Dari situ kami ke rumah lain tapi kue kurang. Kami balik lagi ke rumah pertama, tapi tuan rumah berkata, “Mohon maaf, kue habis!”. Kami mundur dengan teratur.

Ada kisah lain. Sekelompok anak mendatangi rumah keluarga Muslim. Mereka lupa kata “asalamu alaikum, slamat Hari Lebaran”. Jadi mereka serempak koor, “Syalom, slamat natal Islam!”.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Hampir 20 tahun saya berkelana di wilayah Teluk Bintuni dan Fakfak. Di sana, banyak OAP menganut agama Islam. Kerukunan umat beragama di sana bahkan melampaui konsep “toleransi”. Kerukunan di sana berbasis “agama keluarga” satu tungku tiga batu. Dalam satu keluarga dpt terdapat penganut tiga agama yang hidup rukun : Islam, Katolik, Protestan.

ads

Dalam komunitas itu, Bulan Puasa adalah Bulan Suci Bersama. Baik sebelum, selama dan sesudahnya. Ada tradisi keluarga di mana tiga hari sebelum Puasa, bersama nyekar dan membersihkan kuburan leluhur. Ada ramah tama dan doa bersama. Saat puasa, seluruh penduduk kampung ikut jaga suasana bulan puasa. Tidak jarang anak-anak keluarga Kristen pun ikut puasa. Dan pasca bulan puasa, Hari Lebaran dirayakan sebagai Hari Kemenangan Bersama. Bukan hal aneh jika kita dapati Panitia Perayaan Halal Bil Halal diketuai seorang Kristen.

Baca Juga:  Perjuangan Papua Untuk Membela Diri

Tahun 2020, seorang kawan saya yang beragama Islam terjebak di satu kota. Dia tinggal di rumah seorang Pendeta — rekan kerjanya. Ibu Pdt. itu dan keluarganya dengan setia menyediakan menu buka puasa dan membangunkan dia pada waktunya untuk berbuka puasa dan menjalankan ibadahnya di rumah Ibu Pendeta.

Hari ini, saya belajar toleransi dari sudut pandang anak-anak Kristen. Sudut pandang menyambut Bulan Puasa di awal Ramadhan. Bukan di akhir Ramadhan.

Umat Kristen baru saja merayakan Paskah. Untuk sambut Paskah, banyak pondok didirikan di mana-mana dilakukan Pendalaman Isi Alkitab, menyanyikan puji-pujian dan doa. Konsep “sambut Paskah” ini melekat dalam persepsi anak-anak.

Si kecil dalam keluarga kami, Eben, berpikir bahwa Puasa adalah Paskah Islam. Jadi, dengan konsep Eben tentang “Awal Puasa seperti Awal Paskah” lalu dia ajak teman-temannya “sambut Puasa seperti sambut Paskah”. Bikin pondok.

Baca Juga:  Hari Noken dan HAM: Pemajuan Budaya

Saya datangi mereka dan kami diskusi tentang Puasa dari perspektif tradisi-tradisi umat Islam di Tanah Papua : (pra-puasa : nyekar, keluarga kumpul dan ibadah bareng dan buka puasa dengan menu khusus seperti di Fakfak dan Teluk Bintuni, tradisi selama puasa seperti bukber, dan tradisi pasca puasa seperti pasukan peta di hari lebaran), makna puasa (antara syariat dan hakekat) dan terminologi-terminologi saat puasa (kultum, bukber). Diskusi dalam kosakata anak-anak.

Dengan cara itulah mereka menyampaikan selamat menjalankan ibadah puasa bagi saudara-saudara beragama Islam. Dan moga-moga nanti mereka pun akan menyambut Hari Lebaran sebagai Pasukan PETA.

Itulah Papua! (*)

 

Artikel sebelumnyaMedia Nasional Turut Menjadi Aktor Rasisme dan Perparah Stigma pada Orang Papua
Artikel berikutnyaLekagak Akui TPNPB Tembak Mati Siswa SMA di Puncak Papua