Militer Indonesia: Wajah Kapitalis dan Pemerintah

0
3726

Terdapat sebuah hipotesa bahwa, daerah yang penuh dengan sumber daya alam adalah daerah konflik, belajar dari sejumlah pengalaman yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia bahwa hipotesis tersebut hampir pasti menjadi sebuah teori.

Kolonialisme kebanyakan dilakukan  oleh  negara-negara yang memiliki kekuatan militer yang kuat seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda. Negara-negara tersebut berhasil  menguasai negara-negara lainya di belahan bumi ini yakni Benua Afrika, Amerika dan Asia.

Di benua Afrika, Sierra Leone yang kaya akan berlian, Ethiopia yang kaya akan emas, telah menjadi daerah miskin karena kekayaan mereka di keruk habis, masyarakat hidup dalam konflik antara suku dan etnis.

Situasi itu menyebabkan tidak ada waktu untuk berkembang lebih maju dalam pembangunan, sehingga tidak ada pertumbuhan tenaga produktif masyarakat.

Standar kelayakan operasi perusahaan lemah seperti perlindungan lingkungan dan masyarakat, transaksi tidak perna teransparan, tanpa sosialisasi yang jelas, lapangan kerja dan pembagian manfaat bagi masyarakat setempat.

ads

Operasi Militer di Papua Dalam Upaya Memagari Koorporasi

Imperialisme Amerika terhadap Indonesia dengan tujuan menguasai seluruh kehidupan politik, menguasai sector perekonomian, menguasai nilai-nilai kebudayaan dan untuk menguasai karena dianggap memiliki wilayah strategis yang harus direbut dan dipertahankan.

Pemerintah rezim Orde Baru percaya, bahwa ideologi kapitalisme yang ditandai dengan masuknya korporasi modal asing ke Indonesia merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki situasi ekonomi dalam negeri yang saat itu sedang memburuk.

Wujudnya, Freeport McMoran Copper and Gold, Inc. melakukan operasi pertambangan tembaga dan emas di Papua Lewat Indonesia dengan menggunakan bendera Freeport Indonesia.

Sebelum exploitasi emas dan tambang di Papua, pemerintah Indonesia didukung oleh Amerika, lebih dulu lakukan upaya diplomasi dan ekspansi ABRI terutama Angkatan darat ke wilayah Papua untuk berkuasa secara politik melalui Pepera 1969.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Dalam prosesnya, militer ambil bagian untuk memata-matahi, mengendalikan, dan  memukul gerakan-gerakan perlawanan rakyat anti Indonesia dan perjuangan politik Papua Merdeka.

Dalam kontrak karya pertama, prinsip-prinsip seperti adanya informasi memadai, kesempatan waktu untuk berkonsultasi, kebebasan untuk bermusyawarah dan menentukan keputusan, persetujuan diawal sebelum ada aktivitas tak perna dilakukan dan sepihak.

Sebelum Pepera 1969, Pembindahan masyararakat Amungme yang hidup di dararan tinggi (gunung Nemangkawi) dipindahkan ke dataran rendah di Akimuga. Pimindahan dilakukan secara bertahap pada tahun (1960, 1962 dan 1963).

Strategi saat itu melalui pendekatan gereja dan pemerintah dengan alasan mempermuda akses pelayanan gereja dan pemerintah. Namun taktik menciptakan konflik untuk antar masyarakat juga turut dilakukan secara tersistimatis.

Kehadiran Freeport sejak awal memang tidak dikehendaki oleh warga suku Amungme. Penolakan dan perlawanan yang dilakukan oleh warga suku Amungme kemudian berubah menjadi konflik yang berkepanjangan antara mereka dengan Freeport yang didukung Negara yang kehadirannya diwakili oleh pemerintah dan militer.

Namun dalam hal pemindahan penduduk asli ke tempat lain, saat ini dianggap sulit digunakan seperti dulu, perusahaan dan pemerintah tahu bahwa masyarakat Papua sadar dan mengerti dari pengalaman-pengalaman masa lalu.

Misalnya, mengelolah Blok Wabu di wilayah intan Jaya, dimana hubungan produksi belum tampak, tetapi yang paling menonjol adalah Militer dikerahkan  dalam proses memagari (proses enclosure) dan melicinkan jalan penambangan Blok wabu yang diprediksi memiliki sumber daya emas 8,1 miliar ton di wilayah itu .

Secara umum, strategi gunakan militer hampir sama dengan merebut wilayah Papua, namun secara khusus dalam pemindahan masyarakat pemilik ulayat yakni suku Migani di Intan Jaya, gunakan kekuatan militer  agar memaksa masyarakat setempat meningggalkan wilayah mereka dan pindah ke tempat lain.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Disisi lain, militer juga menciptakan konflik antar masyarakat, seperti bentuk milisi-milisi dan mata-mata TNI dan Polri, sehingga terjadi saling curiga, saling tidak percaya, dan terpecah belah antar masyarakat. Bunuh tokoh gereja seperti pendeta dan Katekis agar umatnya takut dan tercerai berai.

Dalam kondisi itu, wilayah itu sedang berusaha untuk dinyatakan aman, agar perusahaan Aneka Tambang (ANTAM) masuk dan mulai operasi. Namun masyarakat sulit berjuang untuk mempertahankan wilayah tradisional mereka.

Pergerakan TNI dalam konflik-konflik berdimensi ekspansi modal agar terus berlanjut, doktrin bahaya Gerakan separatis, terus menerus melakukan propaganda untuk giring TPN OPM sebagai organisasi teroris.

Jika ada masyarakat yang menolak perusahaan, sesalu dituduh separatis, anti pembangunan dan TPN dianggap kelompok criminal yang mengganggu jalannya pembangunan di Papua. Hal ini juga diikuti dengan, cenderung penempatan pasukan-pasukan tempur wilayah-wilayah dimana  kegiatan pengerukan sumber daya alam  meningkat tajam.

Kendati dimanipulasi dengan alasan-alasan keamanan, seperti melindungi instalasi-instalasi vital dan strategis, kerusuhan, dan konflik-konflik bersenjata seperti di Papua. Hal ini juga diikuti dengan, cenderung penempatan pasukan-pasukan tempur wilayah-wilayah dimana  kegiatan pengerukan sumber daya alam  meningkat tajam.

Keberpihakan Pemerintah terhadap Koorporasi

Kendati dimanipulasi dengan alasan-alasan keamanan, seperti melindungi instalasi-instalasi vital dan strategis, kerusuhan, pembangunan insfrastruktur, Freeport membiayai jutaan dolar dan pemerintah menganggarkan uang rakyat untuk kepentingan keamanan investasi di Papua.

Intervensi pihak Freeport dalam membentuk badan lembaga adat, dan sekaligus duduk sebagai donator tetap, dengan demikian arah berfikir dapat di kontrol, sekaligus menjadi agen kesadaran semu, yang kemudian mematikan semangat juang akan kesadaran hak atas tanah.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Masuknya coorporasi tersebut di percepat dengan adanya kebijakan nasional Otonomi daerah dan otonomi khusus yang mewajibkan daerah harus mandiri dan mencari pembiayaan sendiri.

Masing masing daerah mulai berlomba mencari investor tampa memperdulikan imbas terhadap masyarakat. Dalam hal ini ada beberapa cara yang kerap di lakukan oleh pemerintah daerah yakni, pemerintah membuka pintu seluas mungkin bagi masuknya investasi, dalam rangka itu juga sejumlah hal yang di anggap sebagai penghalang di bersihkan terlebih dahulu.

Cara-raca yang digunakan oleh perusahaan, seperti membayar sejumlah kepala suku atau tua adat, kadang juga pimpinan gereja, atau siapa saja yang kemudian dapat mempengaruhi opini dalam masyarakat.

Koorporasi pertambangan di Indonesia yakni Mining Industry Indonesia (MIND ID) beranggotakan PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero), dan PT Timah Tbk gunakan taktik dengan menggandeng perusahaan local atau melibatkan pemerintah Provinsi tanam saham, yang pada umumnya di pimpin oleh keluarga dekat lingkaran pimpinan daerah mengatasnamakan rakyat.

Pemerintah merasa berkuasa atas tanah dan sumber saya alam, dengan seenaknnya memberikan surat ijin kepada perusahaan. Keberpihakan pemerintah pusat hingga daerah lebih memilih dan lebih menjaga kepentingan pihak pemodal di banding masyarakat Papua yang harus di lindungi.

Dengan demikian musuh rakyat tidak hanya pihak invetor tetapi juga pemerintah yang melanggar hak kepemilikan rakyat atas sumber daya, dan militer indonesia penjaga investasi mesin pembunuh rakyat.

Tim Riset Suara Papua

Artikel sebelumnyaAWPA condemns statements from Indonesian officials on situation in West Papua
Artikel berikutnyaPartai Hijau Australia Desak Pemerintah Indonesia Tarik Militer dari Papua