Sejarah Otonomi Daerah hingga rumusan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

0
2238

Oleh : Samuel Womsiwor)*
)* Aktifis HAM dan Demokrasi di Tanah Papua

Memahami sejarah dan dinamika Otonomi Daerah di Indonesia adalah jalan pikiran yang tepat untuk memahami keberadaan Otonomi Khusus dan konstelasinya di Tanah Papua. Pemahaman tersebut tentu akan sangat berarti terhadap setiap konsekuensi yang akan diambil atau dipilih oleh rakyat kedepannya, demi terwujudnya syarat adil di Tanah Papua.

Berikut akan diuraikan sejarahnya.

Bagian I

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

ads

Otonomi Daerah dalam perkembangannya di Indonesia, dimulai sejak Kemerdekaan Indonesia, yakni ketika diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Namun sejalan dengan perubahan konstelasi politik Negara Kesatuan Republik Indonesia dari sistem Presidensiil menjadi parlementer, disamping anggapan bahwa Undang-Undang tersebut dianggap tidak akomodatif dengan tuntutan dinamika masyarakat, sehingga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Tentang Pemerintahan Daerah.

Sejalan dengan itu dengan adanya perubahan bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai akibat pemberlakuan Konstitusi RIS 1945, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam perjalanannya, bentuk negara RIS ini hanya bertahan hingga tahun 1950, dan oleh kesepakatan elit politik Indonesia, maka bentuk negara RIS dibubarkan sehingga Undang-Undang Nomor 22 1948 diberlakukan kembali. Namun ketika Undang-Undang tersebut dianggap tidak relevan dengan perkembangan masyarakat maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dicanangkan sebagai gantinya. Setelah ± 9 (Sembilan) tahun proses berbangsa dan bernegara di dasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS-1950), lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali.

Sehingga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerahpun tidak berlaku lagi dan disempurnakan dengan Penpres RI No. 6 Tahun 1959, tentang Pemerintahan Daerah  yang sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Namun dengan berjalannya waktu Penpre RI No. 6 Tahun 1959 dianggap tidak memadai lagi sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ditandai dengan dicabutnya UU No. 1 Tahun 1957, Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No. 2 Tahun serta No 5 Tahun 1960, juga Penpres No. 7 Tahun 1965. (Musa’ad, 2005: 37–45). Demikian rumusan Undang-Undang Pemerintahan Daerah selama pemerintahan rezim Orde Lama.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Kemudian setelah Rezim Orde Lama digulingkan, maka Orde Barupun dimulai, dan dalam pemberlakuan Otonomi Daerah, digulirkanlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 (tentang Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah) oleh Pemerintahan Orde Baru, yang berprinsip pada Otonomi Yang Nyata dan Bertanggung Jawab.

Namun regulasi tersebut tak dapat berjalan secara maksimal akibat pola kontrol  pusat kepada daerah yang terlalu dominan hingga berdampak pada penyelewengan prinsip Desentralisasi, sebab pola desentralisasi hanya dianggap sebagai penyerahan urusan bukan kewenangan, dalam hal tersebut menggambarkan bahwa pemerintahan daerah hanya sebagai alat untuk  mempertahankan status quo Pemerintah Pusat. Dampak tersebut menyebabkan ketergantungan yang berlebihan dari daerah kepada pusat, juga berdampak pada dieksploitasinya sumber daya alam daerah untuk kepentingan Pemerintah Pusat.

Kemudian mengakibatkan ketidakpuasaan bermunculan diberbagai daerah akibat pola pemerintahan yang demikian, hingga berdampak pada sikap disintegrasi masing-masing daerah, yang mencapai puncak pada tahun 1998, ketika rezim orde baru di turunkan kekuatan rakyat.

Angin reformasipun tercipta, dan peralihan pemerintahan B. J. Habibie segera menggantikan pola Desentralisasi semu (UU No. 5 Tahun 1974) tersebut dengan Undang-undang yang lebih memberi ruang bagi semua daerah untuk mengembangkan dan mengurus daerahnya dengan lebih luas lagi.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

Diawali dengan lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 Tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara; Kemudian Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan (Kumolo, 2017: 13), serta diberlakukannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang berasas pada: Dekonsentrasi (Pelimpahan) dan Penyerahan (Penyerahan) Kewenangan serta Tugas Pembantuan juga Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dan pada tahun 2000, dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Perjalanan Desentralisasi sejak penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah mengalami pasang surut sesuai dinamika politik, ekonomi dan sosial. Dalam Undang-Undang ini, pembagian urusan dalam desentralisasi mengikuti prinsip yang lebih umum, dimana kabupaten/kota memiliki kewenangan luas yang mencakup semua urusan, yang tidak ditentukan dalam peraturan perundangan sebagai urusan pemerintahan dan provinsi.

Undang-Undang ini menjadikan DPRD sebagai lembaga parlemen daerah dengan kewenangan yang sangat luas, termasuk melakukan pemilihan dan pemakzulan kepala daerah (Kumolo, 2017: 14). Selain itu juga, pola desentralisasi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengakibatkan sulitnya kordinasi, munculnya sifat primodial, hingga pertentangan kewenangan, dan konflik-konflik system politik lainnya antara masing-masing Daerah dan Pusat, Kabupaten/Kota dengan Provinsi, dan sesama Kabupaten/Kota dalam suatu Provinsi. Kesadaran tersebut mengakumulasi untuk diparipurnakan Undang-undang no. 22 Tahun 1999 tersebut menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004  yang berprinsip pada Otonomi yang Nyata, yakni pembagian urusan antara urusan wajib dan urusan pilihan bagi provinsi dan kabupaten/kota serta daerah Bertanggung Jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Selain itu DPRD yang sebelumnya memiliki kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap kepala daerah kini memiliki kedudukan yang setara dan menjadi mitra kepala daerah. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berhasil menyelesaikan beberapa masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam pelaksanaannya masih ada kelemahan yang memicu lahirnya masalah baru, yaitu permasalahan persepsi dalam pembagian urusan, terjadinya tumpeng tindih kepentingan, kurangnya SDM ditingkat daerah, serta menignkatnya konflik elit politik.

Untuk perbaikan system desentralisasi yang telah berjalan sekaligus sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terbitlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah secara lebih detail dan terperinci, diantaranya pembagian urusan pemerintahan dan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB). Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut melandasi pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia hingga sekarang ini dan diharapkan mampu menjawab persoalan desentralisasi yang selama ini menjadi dilema ekonomi politik negara Indonesia. (*)

Referensi:

  1.  Musaad, Mohammad Abud, (2003). “Menguak Tabir Otonomi Khusus Papua”. Bandung: ITB Press.
  2. Musaad, Mohammad Abud, (2012).“Quo Vadis Otsus Papua – Diantara Tuntutan Rekonstruksi dan Referendum”. Yogyakarta: Thafa Media.
  3. Salossa Perviddya J. (2006). “Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  4. Sumule Agus. (2003). “Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
  5. UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;

Catatan: Artikel ini sebelumnya telah ditayang di petisirakyatpapua.org

 

Artikel sebelumnyaKonferensi BPL Tahunan di Tolikara Resmi Ditunda, Ini Alasannya
Artikel berikutnyaDalam Empat Hari Ditemukan Dua Pria Tak Bernyawa di Wamena