Rektor Unipa Minta Maaf Tak Bermaksud Rasis, Aloysius Lapor Polisi

0
1337

MANOKWARI, SUARAPAPUA.com — Rektor Universitas Papua (Unipa) mengklarifikasi pernyataannya yang menyebut mahasiswa Wamena dalam laporan polisi terkait aksi anarkis berujung pengrusakan dan penganiayaan, Rabu (21/7/2021).

Dalam surat permintaan pengamanan yang ditujukan ke Kepolisian Resort Manokwari berlogo Unipa dan stempel basah berikut tanda tangan Rektor Unipa, Dr. Meky Sagrim, ditulis dalam tanda petik “sekelompok mahasiswa asal Wamena melakukan tindakan anarkis di Kampus Unipa”.

Diuraikan dalam surat itu, sekelompok mahasiswa Wamena berjumlah 80 orang melakukan aksi demo dengan membakar ban bekas dan memalang semua pintu masuk dalam kampus mulai hari Senin (19/7/2021) bahkan dilanjutkan hari Selasa (20/7/2021) yang bertepatan dengan hari raya idul Adha, namun dilakukan aksi pemalangan dan pembakaran ban bekas.

“Saat itu saya hubungi Kapolres Manokwari dan minta pengamanan, tapi Kapolres sampaikan harus ada surat dulu, maka surat itu kita buat dalam situasi yang benar-benar mendesak,” ujar Sagrim.

Kapolres Manokwari AKBP Dadang Kurniawan Wijaya dikonfirmasi wartawan membenarkan adanya laporan masuk tersebut.

ads

“Ya, benar,” singkatnya, dilansir linkpapua.com.

Saat jumpa pers di depan kampus Unipa, Jumat (6/8/2021) pagi, Rektor Dr. Meky Sagrim menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para kepala suku besar wilayah Laapago, kepala suku besar wilayah Meepago, keluarga besar/ikatan/kerukunan masyarakat Wamena, Ikatan Mahasiswa Kabupaten Jayawijaya, serta pemerintah daerah Jayawijaya.

“Pada kesempatan ini, saya sebagai Rektor Universitas Papua menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya atas kekeliruan dan tindakan pernyataan tersebut,” kata Sagrim.

Baca Juga:  Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024
Surat permohonan maaf oleh Rektor Unipa Dr. Meky Sagrim, Jumat (5/8/2021). (Charles Maniani – SP)

Rektor Unipa mengaku tak bermaksud mendiskreditkan suku atau kelompok sosial masyarakat Wamena dengan surat tersebut.

Menurutnya, pernyataan itu juga sama sekali tak bermaksud untuk melakukan intimidasi sebagaimana yang disebutkan dalam surat sebelumnya.

Sagrim menjelaskan, surat itu dibuat dengan dugaan sementara dan dalam keadaan mendesak pada situasi tensi yang cukup tinggi sebagai rasa emosional dan kekecewaan atas tindakan anarkis perusakan fasilitas milik negara yang berada di kampus Unipa, juga tindakan penganiayaan terhadap Kepala Biro Administrasi dan Kepegawaian Unipa yang sempat dilarikan ke rumah sakit akibat terluka parah.

Surat itu ia sampaikan juga ke Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Sekjen Kemendikbudristek, Dirjen Dikti, Gubernur Papua Barat, Kapolda Papua Barat, Pengdam XVIII Kasuari, Kapolres Manokwari, para Wakil Rektor, Kapolsek, dan Dekan.

Sagrim menambahkan, hal yang dikedepankan Unipa adalah selalu menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi. Salah satunya, ilmu untuk kemanusiaan. Karena itu, tak ada perlakuan rasis di kampus Unipa.

Untuk itu, Sagrim mengajak masyarakat khususnya OAP untuk berpikir positif, terutama dalam membangun sumber daya manusia Papua agar mampu bersaing dan berdaya guna.

Sebelumnya, merespons surat Rektor Unipa yang beredar di media sosial, Aloysius Paulus Siep, intelektual asal Jawijaya melaporkan Dr. Meky Sagrim selaku rektor Unipa ke Polres Manokwari dengan dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KHUP.

Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

Laporan ke Polres Manokwari dengan nomor LP/B/439/VIII/2021/SPKT/Polres Manokwari/Polda Papua Barat tanggal 3 Agustus 2021.

“Sebagai senior dan juga alumni Unipa, saya intelektual asal pegunungan tengah Jayawijaya, Wamena, terkait dengan beberapa waktu lalu ada aksi di Unipa, ada surat dari rektor bahwa yang melakukan aksi adalah sekelompok mahasiswa Wamena. Jelas aksi demo itu mahasiswa Unipa yang berasal dari berbagai daerah,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima suarapapua.com.

Mantan presiden mahasiswa (Presma) Unipa itu menyayangkan pernyataan rektor Unipa yang menyebut suku tertentu. Kata Siep, penyebutan itu seolah pelaku demo rusuh di kampus Unipa adalah mahasiswa asal Wamena.

“Saya menilai ada kesan bahwa kerusakan dan penganiayaan yang terjadi itu dalangnya adalah kami anak-anak Wamena. Bagian ini yang saya kira sangat tidak tepat. Perlu diketahui, Wamena atau tepatnya kabupaten Jayawijaya merupakan kota tua yang melahirkan 16 kabupaten di wilahah pegunungan tengah. Jangan orang lain yang bikin baru semua tudingan ke anak-anak Wamena, ini yang perlu diperhatikan baik,” ujarnya.

Siep menyatakan, pelabelan seperti itu tak dapat dibenarkan.

“Aksi demo damai yang dilakukan adik-adik mahasiswa Unipa pada beberapa waktu lalu yang berujung anarkis itu ada sebab akibatnya. Itu tidak saya persoalkan. Yang saya minta, pak rektor harus pertanggungjawabkan penyebutan nama suku Wamena dalam suratnya ke Polres,” ujar anggota DPRD Manokwari itu.

Baca Juga:  Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

Diketahui, aksi anarkis terjadi lantaran aspirasi mahasiswa tak direspons pimpinan Unipa dalam mengakomodir 39 calon mahasiswa yang dinyatakan tak lulus seleksi lokal tahap pertama.

Setelah laporan mahasiswa ke polisi dan sebelum diadukan Aloysius Paulus Siep, mahasiswa telah menjelaskan hal tersebut ke Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) agar ada upaya mediasi.

Terpisah, Maxi Nelson Ahoren, ketua MRPB, mengatakan, pasca insiden di kampus Unipa, pihaknya telah menyurati rektor Unipa, Ombudsman RI perwakilan Papua Barat, dan mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi.

“Kami menyurat dengan tujuan untuk mencari solusi alternatif tanpa menempuh jalur hukum oleh kedua bela pihak. Tetapi yang hadiri undangan hanya Ombudsman dan mahasiswa. Pihak Unipa tidak hadir, hanya kirim surat yang memuat beberapa poin, diantaranya masalah ini sudah diproses secara hukum,” kata Maxi saat diwawancarai wartawan.

“Yang kita harapkan, bicara secara kekeluargaan. Yang bikin rusak kan anak-anak Papua. Yang bikin kacau, anak-anak Papua. Jadi, perlu kita duduk bicara sebagai anak adat dan sebagai anak Papua,” pungkasnya.

Ketua MRPB berharap persoalan bisa diselesaikan dengan baik. Baginya, bila ada sanksi, cukup diberikan sanksi adat.

“Saya yakin, mereka akan taat, tidak berbuat seperti itu lagi. Kalau ini dibawa ke rana hukum, jangan sampe masalah terus berkembang. Kalau bisa, diselesaikan secara kekeluargaan. Ayo, kita duduk dan bicara,” harap Maxi.

Pewarta: Charles Maniani
Editor: Markus You

Artikel sebelumnyaIPPM Yedopa Adakan Seminar, Ini Harapan Ketua Komisi A DPRD Dogiyai
Artikel berikutnyaInilah 10 Film Terbaik yang Lolos FFP ke-IV