Feki Mobalen: Masyarakat Adat Hidup Sengsara di Tanah Mereka

0
1367

AIMAS, SUARAPAPUA.com — Feki Wilson Mobalen  Ketua Aliansi Masyarakat Adat Sorong Raya (AMAN SR) menilai pengakuan atas hak masyarakat adat hanya sebatas teori hukum di atas kertas tanpa implementasi yang jelas  di lapangan. Akibatnya masyarakat adat hidup sengsara di atas tanah mereka.

Pernyataan ini disampaikan Feki Mobalen pada 16 Agustus lalu di Sekretariat Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Papua Barat.

Mubalen menjelaskan, sejak tahun 1900-an, Sorong Raya yang mencakup  Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, dan Raja Ampat di Papua Barat sudah melewati tiga era industri. Era pertama adalah zaman Minyak Bumi, yang dimulai 1935, ketika maskapai minyak Belanda mengebor minyak di Sorong. Era kedua adalah Zaman Minyak Sawit mulai tahun 2000an. Era ketiga, yang terbaru, adalah zaman Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diresmikan pada 2016.

KEK berada di Distrik Mayamuk,  Kabupaten Sorong, dengan luasnya 500 hektare dan diperuntukkan bagi suplai logistik, pertambangan, hingga perkebunan.

Baca Juga:  Pleno Rekapitulasi Hasil Pemilu di PBD Resmi Dimulai

Menurutnya dengan sumber daya alam yang berlimpah di wilayah Sorong Raya itu tidak menjamin kesejaterah, kemakmuran bagi komunitas masyarakat Adat sebagai pemilik kawasan/wilayah adat tempat semua industri itu berdiri.

ads

“Sampai hari ini bisa di hitung berapa banyak profesor, doktor? Berapa S1, berapa S2, berapa dosen, berapa guru? Berapa  banyak fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses secara gratis oleh komunitas adat dan marga yang wilayahnya sudah dikuasai oleh industri. Tidak ada. Semua hanya dieksploitasi. Tidak ada keadilan dan tidak memberikan dampak yang baik untuk masyarakat adat di Sorong Raya,” tegas Feki Mubalen  di sekertariat AMAN SR pada 16 Agustus lalu.

Dijelaskan, kontribusi yang telah diberikan oleh masyarakat adat tak selaras dengan perlakuan negara terhadap masyarakat adat. Sepanjang dua dekade pula, masyarakat adat masih terus menghadapi beragam agresi pembangunan.

“Pengabaian, kriminalisasi hingga perampasan wilayah adat terus terjadi. Perlindungan dan penghormatan atas hak konstitusional masyarakat adat hingga kini masih jauh dari yang diharapkan,” katanya.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Mobalen menerangkan, bahwa kawasan-kawasan ini adalah wilayah memiliki alas hukum yang kokoh dikuasi turun temurun sebelum adanya negara hingga kelahiran negara. UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 Amandemen kedua, telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.

UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bab XI, tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, yang diperkuat Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan kembali bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat bukan lagi sebagai hutan Negara.

Lalu ada Perdasus Nomor  21, 22, 23 tahun 2018 yang menyatakan wilayah Papua adalah wilayah adat. Adapun di Kabupaten Sorong ada regulasi khusus, yaitu Perda No.10 tahun  2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong.

Feki Mubalen juga menambahkan, pengakuan atas hak masyarakat adat hanya sebatas teori hukum di atas kertas, karena implementasinya di lapangan lain. Awalnya mereka berjanji untuk membuat komunitas adat dan marga sejahtera, tetapi kenyataanya masyarakat adat menjadi sengsara di wilayah adat mereka sendiri.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

“Generasi dan Gerakan Masyarakat Adat adalah penentu. Kita mati, musnah atau bangkit lawan. Kita menang itu pilihan dan pilihan itu ada di atas tangan kita. Juga masa depan wilayah adat ada di atas pundak generasi hari ini untuk membawa dan memperjuangkan kebenaran akan memerdekakan masyarakat adat Papua,” pungkasnya.

Sebelumnya Zakaria Horota pelaksana tugas ketua DAP Wilayah III dalam konfrensi Pemuda Adat Papua Wilayah III Domberai mengatakan pemuda adat diharapkan terus bekerja, mengadvokasi semua hal yang berkaitan kepentingan masyarakat adat Papua. Karena itu, minta kepetingan masyarakat adat Papua itu tugas pemuda adat Papua.

“Konsep pemikiran baru di era modern harus di dorong ke pemerintah,menyakut apa yang menjadi hak wajib dan patut dihargai oleh siapapun,” kata Horota.

Pewarta: Reiner Brabar

Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaBupati Nawipa: Paniai sedang Menuju Era Baru
Artikel berikutnyaPemuda Baptis Papua Minta Victor Yeimo Dibebaskan Tanpa Syarat